Sabtu, 19 September 2015

(Novel) Gw Bilang Cinta - (1)



SATU
Ashila  menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lantaran bingung antara harus menjawab ya atau tidak terhadap amanah yang langsung dialamatkan padanya. Ashila diminta untuk mewawancarai langsung tim basket putra yang telah menjadi jawara olimpiade olahraga antar sekolah kemarin atas kepiawaian Riqz sebagai kapten yang dimata Ashila sombong Begete!
“Bukan karena Rizq ada, hingga tim basket kita menang! itu semua karena Allah yang sudah mengaturnya”. Ucap Ashila saat itu, mencoba meluruskan paradigma keliru yang dilontarkan ketua pelaksana bulletin skullBasket dapat menjadi seperti itu karena peran Rizq..”. Semua anggota rapat hanya meliriknya sebentar. Tak menggubris sedikit pun apa yang ia suarakan.
            Mungkin kebanyakan cewek-cewek aliran handsomeisme histeris dengan tampangnya yang tampan sekelas wajah-wajah coverboy majalah berkelas negeri atau majalah lain, tapi tidak untuk Ashila. Bagi Ashila, Rizq adalah manusia  paling menyebalkan yang ada di muka bumi. Bukan itu saja, Ashila menganggap Rizq adalah makhluq langka yang harus segera dimusiumkan! Yah inilah pikiran Ashila untuk manusia  bernama Rizq ini, sebelum ia punah!
            Saat ini Muhammad Rizq Fahreza duduk dibangku kelas 3 IPA, sedang dirinya tercatat sebagai adik kelas di 1 IPA. Ashila ingat ketika awal masuk menjadi salah satu dari ratusan Siswa SMA Real Generation sebelas bulan lalu, ia dan rekannya yang menjadi sahabat saat ini menjadi bulan-bulanan masa MOS, yang dipimpin oleh Rizq dan para pengawalnya.
              Hari itu, Ashila telat lima menit karena membantu Bunda membereskan barang baru yang masuk ke butik. Ketika Ashila tiba di Sekolah, di depan lapangan tempat berkumpulnya siswa baru yang mengikuti MOS, Rizq tersenyum sinis dengan topi pet yang menghiasi batok kepalanya, menghalau panas yang seketika panasnya membuat kepala setiap orang ingin segera berteduh. Sesegera mungkin!
              “Hei, kenapa telat!?” tunjuknya pada Ashila. Ashila menautkan alis menatap jam ditangan kirinya yang melingkar manis. “Gue kan udah izin…” pikir Ashila ganti memicingkan mata menatap Rizq yang melangkah tegap menujunya. Heran!
              “Sini!” intonasi tegas itu terdengar memintanya untuk segera menghadap. Ashila menggigit bibirnya menatap Rizq tak berkedip, melangkah dengan langkah yang tak kalah tegapnya menuju Rizq dengan dikawal panitia MOS yang lain, persis bos dengan gaya nge~bosy yang menyebalkan!
              “Kenapa telat, Ashila Ainnazwa!”. Lengkap nama itu disebutkan dari mulutnya. Pertanda marahnya berada di atas rata-rata atau lebih dari itu. Andai marah dapat diukur dengan benda sejenis thermometer, mungkin dia berada di atas 100 derajat celcius. (he…he)
              “Privasi!” ucap Ashila cuek dengan nada yang sama. Ashila merasa ini wajar ia lakukan, sebab Ashila tak merasa dirinya melakukan kesalahan.
              “Lo bilang apa?” Alisnya bertaut. “Privasi?” Sambungnya melotot tajam dengan senyum mengejek, mengelilingi Ashila sebagai terdakwa. Ashila yakin kali ini ia akan menjadi bahan “Iseng” panitia MOS. Satu-satunya jalan yang Ashila ambil adalah cuek juga pasrah. Inilah taqdir pertamanya untuk mendapatkan label siswa Real Generation. Taqdir yang membuat Ashila muak jika harus berurusan dengan Rizq kembali, juga takdir yang mempertemukannya dengan Zihan juga Zora.
              “Nggak dengar atau…..” Balas Ashila menatap mata Rizq cuek, membuat muka Rizq merah padam.
              “Lo tau, sekarang berhadapan dengan siapa?”. Lototnya garang. Ashila mengangguk. Tetap dengan mempertahankan sisi~cuek dirinya, karena memang dirinya tahu siapa Rizq. Ashila melirik wajah Rizq. Disana nampak kerutan di dahinya yang bercampur dengan keringat. Huuh, jijay!
              “Muhammad Rizq Fahreza al-Faqih!”. Satu kosong! Nama ini pun keluar dari bibir Ashila. Rizq menghembuskan nafas kesal. Kali pertama ia diperlakukan tak biasanya oleh seorang perempuan. Jika dirinya sering menemukan senyuman pada setiap wajah perempuan padanya dengan nada genit, maka lain dengan wajah dibalut jilbab putih di depannya. Rizq benar-benar dibuat salah tingkah di depan teman-temannya sendiri.
              “Lo berani nantang Gue?” Langkah Rizq mendekat.
              “Gue berani karena Gue nggak mengaku salah! Gue sudah izin lima menit sebelum Gue kesini! Anggota Lo aja kali yang sengaja mencari celah untuk mencari korban ”iseng” MOS.” Bela Ashila mengernyitkan dahinya, menghalau sengatan matahari yang menyentuh pipinya dan menghalau sinar matanya.
              “Lo!” Mata Rizq menatap tajam,
              “Apa!?”. Tantang Ashila yang semakin gerah di bawah terik matahari yang seolah menguliti kulit wajah dan kepalanya.
              Rizq mundur beberapa langkah. Lalu ….
              “Zaldy! Bawa manusia ini ke ruang OSIS!” Perintahnya meninggalkan Ashila yang segera mengekor di belakang Zaldy menuju ruang OSIS tanpa dipinta untuk kali kedua. Rizq malas berurusan lama dengannya. Ashila tahu, Rizq juga ingin segera menghindar dari teriknya matahari yang membuat keringat sebesar butir jagung itu meleleh dari balik topi petnya, persis es krim tatkala meleleh jika terkena panas.
               Di tengah langkah itulah, Ashila tersenyum, senyum karena teriknya matahari tidak melahapnya lagi. Ashila terus mengikuti langkah Zaldy menuju kantor OSIS yang letaknya di belakang gedung kesehatan sekolah. Mengekor layaknya bebek mengikuti induknya. Kemana ia pergi juga berhenti, disanalah sang anak bebek terus mengikuti.
              “Kamu disini, sampai  ada yang menjemput.…” Ucap Zaldy begitu pintu OSIS telah terbuka. Begitu Ashila masuk, pintu itu segera di tutup kembali oleh Zaldy  sang ketua ROHIS  yang juga merupakan salah satu dari panitia MOS di bawah kepemimpinan Rizq.
              “Terimakasih…” Balas Ashila.
              Begitu Ashila berbalik telah ada dua gadis seusianya yang lebih dulu masuk ke ruang OSIS. Keduanya tersenyum menyambut Ashila.
              “Kamu korban juga? Aku Zihan!” Senyumnya manis dibalik balut jilbab putihnya, menghampiri Ashila tanpa lupa mengulurkan tangan kanan. Ashila menyambutnya ramah. Zihan tipikal manusia to the point. Inilah gambaran Ashila pada kesan pertama pertemuannya.
              “Ashila Ainnazwa...” Senyum Ashila mengukir cantik.
              “Hei… jangan lupa ama Gue dunk! Gue Zora!” Gadis tinggi semampai dengan lesung pipi cantik itu tak mau kalah, melompat turun dari bangku yang ia duduki, memperkenalkan dirinya dan tanpa basa-basi langsung mengambil tangan Ashila, menggenggamnya erat. Zora tipikal manusia cuek berhati mulia. Inilah gambaran Ashila terhadap kesan pertama yang tak jauh berbeda dengan tipikal Zihan. Care!
              “Ashila Ainnazwa!” ulang Ashila kembali, dengan senyum cerah.
              “Gue ada disini karena Gue lupa membawa papan baliho nama Gue…ya biasalah, memang tuh orang nggak suka aja liat kita happy.” Ucap Zora lucu, menyebut tanda pengenal dengan sebutan papan baliho. “Bukannya itu papan ukuran besar yang bertengger dipinggir jalan khusus untuk iklan?” pikir Ashila lucu.
              Ashila tersenyum menatap kedua teman barunya bergantian. Sungguh perjalanan taqdir ini telah mengantar Shila bertemu teman-teman ajaib yang mempunyai jiwa besar.
              “Aku karena nggak mau disuruh menirukan gaya monkey keliling lapangan, makanya ada disini. Tapi untung juga sih, aku jadi punya teman baru yang asyik!” ucap Zihan dengan mata mengedip, husnuzzon[1] dengan apa yang menimpanya. Alis matanya yang tebal membuat wajah itu begitu manis. Zihan gadis indo keturunan Arab-Sunda yang pindah dari sebuah pesantren karena mengikuti orang-tuanya  bertugas. Dulunya ia sempat tinggal di Damaskus mengikuti ayahnya yang menjadi duta Indonesia untuk Damaskus. Ia sempat belajar di sebuah ma`had tahfidz selama 2 tahun disana. “Aku hanya mengambil ilmu agamanya aja, tapi untuk hafalan aku hanya mengikutinya sesekali tanpa ikut programnya. Tapi dengan itu, aku sedikitnya hafal 5 juz”. Ucapnya saat ada yang bertanya.
 5 juz? wow!
              “Kalau Lo napa Shila?” Tatap Zora meminta penjelasan dengan memotong namanya begitu saja tanpa izin. “Emang napa Shil harus pake izin segala? orang yang ada di atas pemerintahan aja terkadang asal comot hak orang gak pake izin!”. Belanya dengan senyum yang lucu. Ngeledek cerdas kata Ashila. Ashila menarik nafas kecil sebelum menjawab.
              “Karena  telat lima menit dari jadwal yang ada, itulah mengapa aku ada disini. Fikiranku masih sama, tentang bangsa Indonesia yang  kebiasaan lelet dalam artian masih always setia dengan gelar jam karetnya, jadi aku lebih semangat ketika Bunda meminta tolong.  Ternyata bangsa kita sudah punya kemajuan dalam menghargai waktu. Tapi yang ngebuat aku nggak terima, karena aku udah izin sebelumnya ama sekretarisnya akan terlambat, tapi sekretarisnya aja kali yang nggak nyampein ama si Fir`aun tuh!”
              “He…he….Lo nyebut dia Fir`aun? Gue setuju!” senyum Zora disertai tawa kecil. Zihan terlihat hanya mangut-mangut kecil mendengar omongan Zora, walau beberapa menit kemudian dalam curhat kecil menunggu pembebasan tanpa syarat, ia melemparkan pertanyaan.
              “Kalau kalian berdua ketemu dengan orang yang memanggil nama kalian aneh, misalnya aja neh Zora jadi Zorapah, gimana?” liriknya santai       “Gue ngamuk, dan sudah pasti Gue ngebela diri…” Jawab Zora ceplos dengan santainya. Zihan mengangguk-anggukan kepalanya pelan disertai senyum kecil. Shila meliriknya dengan tarikan senyum kecil pula. Pada sudut bibirnya, Ashila tahu ini sindiran Samar. Lagi-lagi sindiran cerdas untuknya dan Zora yang terlihat mengangguk kecil tanda ia faham akan arah tanya Zihan.
              Setengah jam dengan kondisi seperti ini, bukan hal yang membosankan menurut Ashila, karena Ashila menemukan dua makhluq “keren” di sini, di sekolah yang belum pernah ia masuki. Ashila masuk ke Real Generation karena Bunda harus membuka cabang dari  butiknya. So, karena itulah, Ashila ada disini, ditakdirkan bertemu dengan dua makhluq yang akan mewarnai harinya dengan warna-warni cerah. Warna pelangi.





[1] Berbaik sangka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar