Sabtu, 19 September 2015

(Novel) Gw Bilang Cinta - (2)



DUA
              “Kalian sudah bisa keluar dari sini, setelah menyelesaikan 30 soal ini!”
GLEK! Ketiganya, Ashila, Zora, dan Zihan meneguk ludah, menatap lembaran kertas dengan soal-soal yang membuat ketiganya melotot. Fisika, kimia, dan matematika menjadi satu!. Gado-gado ilmu pasti!
              “Benar-benar komplit tuh otak!” celetuk Ashila menatap jubir sang ketua dengan tatapan aneh nggak habis fikirnya, membalas tatapan sang jubir yang tengah menatap ketiganya bergantian.
              “Waktunya sampai kapan ya?” Tanya Zihan yang sedari tadi diam memperhatikan 30 soal yang luar biasa itu. Tatapannya tenang.
              “Kalau nggak, Gue punya stopwatch neh, yang bisa Lo beri ke ketua Lo itu, untuk waktu yang bakal kami abisin, ampe dia puas!”. Zora menyodorkan stopwatchnya yang biasa dia pakai untuk mengukur jadwal olahraganya. Zora adalah seorang atlit basket. Dulunya Zora pernah menjuarai lomba nasional bersama dengan tim basketnya.
              Setelah mengantar lembar soal itu, sang jubir dengan rambut ekor kudanya melangkah meninggalkan ketiganya, tanpa lupa untuk mengunci kantor OSIS itu kembali.
              “Huf…nggak kalah ama Hitler!”
              “Bukan Hitler fren, Fir`aun modern kalle.” Sambut Zora, mengeluarkan bolpoinnya, mulai mencari tempat untuk mengerjakan soal-soal itu.
              Tidak butuh waktu lama bagi ketiganya menyelesaikan 30 soal itu, dikarenakan ketiganya adalah orang-orang berpotensi dalam ketiga mata pelajaran yang diberikan. Mereka hanya butuh waktu satu jam untuk menuntaskan semua setuntas-tuntasnya.
              “Memangnya hanya orang yahudi doang yang bisa cerdas otaknya? okelah orang Yahudi boleh cerdas otaknya, tapi kita khan super double..cerdas intelektual, emosional, dan spiritual..” Kicau Zora menutup lembaran soalnya dari awal, meletakkannya di atas meja, disusul Zihan dan Shila.
              “Yap, walau lom sempurna, tapi kita punya usaha agar semua seimbang..” Sambut Shila kemudian. Belajar menyimpulkan semua dengan bijaksana.
              “Oke! dan tentunya prinsip tawazun[1] itu dapat kita usahakan step by step…” Tutup Zihan menatap keduanya dengan senyum manis.
               Mereka memang bukan orang jenius, tapi mereka adalah orang-orang yang dititipkan oleh Allah potensi berbeda dengan yang lain. Einsten? Mereka masih di bawah ilmuwan ini, namun mereka ingin mencoba menjadi yang terbaik.
              “Alhamdulillah!” seru puas Zihan kemudian, mengangkat kedua tangannya tinggi, membiarkan kaku kedua tangannya kembali normal.
              “Yes! Selesai Allah!” pekik Zora memutar kepalanya kiri ke kanan, hingga bunyinya terdengar keluar. Lega!
              “Alhamdulillah Rabb…Aku bisa!” seru Ashila berdiri, memperbaiki letak jilbabnya. Melangkah menuju jendela OSIS, mengedarkan pandangannya kesekitar penjuru area sekolah yang terjangkau pandangan matanya.
              Tepat ketika kepalanya mendongak keluar, menatap sekeliling yang asing dimatanya, Zaldy ketua ROHIS Real Generation itu lewat, membawa tiga botol air mineral dingin lengkap dengan tiga sedotan berwarna warni. Wajah teduhnya yang bersih begitu amazing dengan kontras hidungnya yang rada mancung.
              Ashila terus mengikuti langkah itu, yang ternyata berhenti tepat di depan pintu OSIS. “Maaf, Saya bawain air untuk kalian.” Santun ia berucap, menyodorkan tiga botol itu pada Zihan yang berdiri tepat didekat pintu masuk.
              “Eh maaf juga, tolong sampaikan kertas-kertas ini pada sang ketua ya…” sodor Ashila padanya dengan senyum mengembang. Zihan juga Zora mengacungkan tangan peace disertai senyum tak kalah cerah. Pada hati ketiganya berucap “Kami bukan orang idiot yang harus dites dengan soal-soal ini bro!”
              “InsyaAllah.” Zaldy mengambilnya, lalu segera meninggalkan ketiganya kembali, tanpa lupa mengunci pintu itu pastinya. Penjara? Persis!
              BENGONG!
Itulah ekspresi  wajah Ashila, Zora, dan Zihan. Ketiganya pikir dengan diantarnya tiga botol air mineral ini, itu berarti ketiganya sudah diperbolehkan untuk menghirup udara bebas. Ternyata??
              “Huah…bosen!” Zihan membentangkan tangan, mencoba mengusir rasa bosan yang menjelma.
              “Bete!” Sentak Ashila, menghempaskan tubuhnya di atas kursi yang keras, jauh dari kenyamanan.
              Nyebellin tawwa!” Zora memilih berdiri, berteriak ke luar jendela.
              Ketiganya kembali menunggu!
              Sepuluh menit menunggu, akhirnya, langkah-langkah kaki itu terdengar menuju ke ruang OSIS. Dentumannya seperti tentara Indonesia yang sedang berlatih di camp militer. Ketiganya saling tatap. Ada senyum disana!. Namun senyum itu kembali layu ketika….
              KREK..pintu terbuka. Dan tanpa salam atau ucapan basa-basi, sebuah titah baru kembali diberikan.
              “Kalian masih punya tugas untuk membersihkan halaman sekolah!”
GUBRAK!
              Ketiganya nyaris semaput mendengar ucapan tak bertanggung jawab sang fira`un, hitler, dan semua gelar buruk yang telah disebutkan Zora. Benar-benar gila! Apa nggak cukup 30 soal yang membuat kerja ketiganya exstra? Hu…uh…! Jika ketiganya adalah singa, mungkin auman itu sudah membuat semua pingsan!
              “Sebbel!!!”  Koor ketiganya.
              “Ashila, gimana? Lo keberatan?” Ketua bulletin RG menatap Ashila yang bengong. Ashila menarik napas dari kenangan MOS yang masih kuat melekat, membuatnya juga kedua sahabatnya nggak akur dengan makhluq satu itu, hingga hari ini.
              “Nggak keberatan sih, Cuma kalau ada yang lebih bisa, kenapa nggak?”
              “Sarah yang biasa menjadi reporter sakit. Jika menunggu dia, bulletin  bakal telat terbitnya, jika pekan ini kita gagal mencari hasil wawancara itu, kita akan kehilangan berita dan itu pertanda jika berita ini keluar ketika Sarah sembuh, ia bukan lagi berita yang up to date, soalnya bulan depan Rizq udah Ujian Sekolah. Itu berarti…,”
              “Oke! Aku coba!”. Angguk Ashila akhirnya, menoleh pada Zihan yang menarik senyum  manis yang selalu ada untuk memberi dukungan untuknya. “Kamu harus coba dulu baru nolak, itu baru pribadi yang optimis dan ciri seorang muslimah sejati” inilah arti senyum itu. Ashila hafal luar kepala, begitu pula Zora. Motivasi yang selalu keluar ketika bibit pesimis itu hadir menggerogoti percaya.
              That`s right!” senyum itu mengukir dari  bibir Rivanka mendengar jawaban Ashila. Dengan jawaban itu, otomatis rapat pekanan bulletin RG ditutup.
(GBC)
              Ashila menatap jam tangan pink dengan baground menara Eiffel yang melingkari tangannya. Jarum jam tepat  menunjukkan pukul 11:00. Dengan tarikan napas kecil, Ashila segera menuju mushola untuk dhuhanya yang tadi sempat terlewatkan karena rapat redaksi dadakan. Kakinya melangkah menuju musholla yang terletak di tengah sekolah yang berbentuk persegi panjang itu. Langkahnya cepat, takut waktu itu hilang dan pergi. Ketika kakinya sudah menyentuh pelataran musholla, Zihan muncul dengan senyumnya yang mengukir cantik.
              “Maaf, aku telat…” Ucapnya dengan nada penyesalan yang tergambar begitu jelas.
              “Yuk…ntar waktunya habis!” ajak Ashila mengenakan mukena shalatnya.
              Dhuha, waktu yang ditekankan bunda untuk dijaga, disana ada sedekah yang harus ditunaikan. Ketika Ashila menanyakan itu kepada Bunda, bunda hanya bilang, “sedekah untuk setiap ruas tubuh…” hm…Ashila akhirnya faham, ada suatu kejaiban  pada shalat ini, selain merupakan pintu keberkahan rizky-Nya. 
              “Kamu masih keberatan berhadapan dengan Rizq?” Tanya Zihan membuka wacana percakapan begitu dhuha telah ditunaikan. Ashila menarik senyum kecil, melipat mukenanya dengan posisi bersandar pada tembok mushola dan kedua kaki terjulur. Sebelum menjawab, Ashila terlihat mengatur nafasnya.
              “Bukan berat Han, entah kenapa aku enggan berurusan dengannya.” Jawab Ashila apa adanya, kembali mengingat kemasa-masa MOS yang menyebalkan. Membuat Shila berfikir kembali tentang kelakuan Rizq, seolah ialah pemilik tunggal sekolah Real Generation ini. Padahal menurut pemahaman Shila, sombong sedikit pun nggak ada baiknya. Bukan hanya dihadapan manusia, tapi juga Allah. Memangnya apa keuntungannya coba?
              Rizq? apakah ia masuk ketegori ini (Baca: sombong) dimata Shila? jawabannya banget!’
              “Robby… terik gini harus membersihkan halaman sekolah? Yang bener aja!” keluh Zihan menatap sinar matahari yang memancar kuat melebihi teriknya beberapa jam lalu. Melihat keadaan ini, Shila jadi membenarkan jika memang lapisan ozon telah bocor Karena ulah keserakahan manusia, dan pastinya, taqdir tentang kejadian-kejadian alam akhir-akhir ini semua pasti berpusat pada ulah manusia itu sendiri. Shila yakin…
              “Kalau begini, semut pun memilih berlindung, apalagi kita…”. Tarik napas Zora memandang area halaman sekolah yang luasnya hampir sama dengan lapangan sepak bola.
              “Kalau halaman ini seluas dan selebar 3x4, Gue nggak akan ngeluh, tapi ini? Lebih sadis!”. Gerutu Zora membayangkan apa jadinya ia di bawah terik matahari. Huah….
              “Ada caping[2] nggak ya?”. Longok Zihan mengitari sudut ruang OSIS tanpa ada yang terlewatkan. Zihan memilih untuk menghadapi dengan gentle women. “Emang Aku nggak bisa!?” Bathinnya cuek. Ashila yang melihat aktifitas kedua temannya terdiam sejenak memutar otak, sampai akhirnya ia pamit.
              “Kalian berdua tunggu disini, Aku ada perlu sepuluh menit dari sekarang”. Ucap Ashila, melangkah meninggalkan keduanya yang memasang wajah bertanya dengan tanda tanya besar pada setiap jidat. Keduanya ingin protes, namun Ashila sudah hilang tanpa bekas, seolah tak ingin keduanya melemparkan pertanyaan.
              “Tuh anak kenapa sih? baru juga berteman berapa jam dah pake ilmu jin…” Asal Zora berucap. Zihan menanggapi dengan bibir mencibir.
              Kemana Ashila?
              Ashila melangkah menyusuri setiap kelas dengan membaca setiap papan yang bergantung di samping setiap pintu kelas, mencari dimana letak ruang kelas 3 IPA. Ashila yakin disanalah Rizq bersama rekan-rekannya duduk istirahat, menikmati waktu sejenak dengan pongah tanpa melihat keadaan sekitarnya.
              Ups! Tuh dia!
              Senyum Ashila, melangkah lurus ke arah kelas 3 IPA yang terdengar riuh dengan suara tawa dan obrolan-obrolan santai. Dengan langah tegap tanpa ciut sedikit pun, Ashila mengetuk pintu tersebut, sehingga semua kepala menoleh tanpa komando ke arahnya. Kata bunda, selama itu benar, nggak perlu ragu apalagi takut. Inilah pegangan Shila saat ini, menghadapi Rizq.
              Rizq memicingkan mata, berhenti dari tawa yang sempat keluar dari pita suaranya. Memandang Ashila yang menarik napas kecil sebelum berucap. Berusaha menstabilkan emosi yang nyaris mengepul laksana asap.
              “Maaf, Gue kesini…”. Mengimbangi Rizq akhirnya Ashila ber~gue~lo tanpa kaku.
              “Yang meminta Lo ngomong siapa?” Celetuk Rizq santai. Ngebosy banget!
              Ashila tersenyum kecil. “Lo bukan president yang punya undang-undang paten larangan berbicara, jadi nggak ada haq Lo untuk melarang Gue!”
              “Lo…”. Rizq menoleh ke kiri dan kanannya, pada semua teman-temannya yang masuk dalam panitia MOS. Tak ada yang memberikannya pembelaan selain menatapnya kembali.
              “Maaf leader bosy…”
              “Lo….”. Pandangan Rizq kini beralih kepada Ashila.
              “Maaf…Gue hanya ingin bilang, jika Lo mempunyai hati, Lo pikir kembali apa yang Lo minta atas hukuman kami yang tidak berprikemanusiaan. Gue yakin ini bukan keputusan semua. Apa belum puas dengan soal njelimet tadi?. Yang nyaris mengalahkan olimpiade matematika sekali pun!? Lihat…”. Ucap Ashila mengangkat lembaran soal yang terongok pasrah nyaris tak bermakna di atas meja.
              “Apa Lo sudah memeriksa soal ini? Kalau Lo tidak bisa menyelesaikan kewajiban Lo satu persatu, jangan pernah berpindah pada kewajiban selanjutnya, itu kalau Lo mau durasi waktu Lo bermanfaat. Bukannya Rasulullah juga demikian menganjurkan kita Mr. Zaldy?”. Sindir Ashila melirik pada wajah ketua ROHIS. Zaldy menunduk. Rizq menatap tak berkedip, begitu pula yang lainnya, yang ada di kiri juga kanannya.
              “Bukan karena kami tak mentaati hingga Gue datang, tapi Gue hanya bilang kewibawaan kalian semua sebagai pemilik kebijakan merupakan perpanjangan tangan kepala sekolah yang harus Lo jaga. Ini penting untuk nafas kalian selanjutnya!. Lagian apa ini pantas? lupa sama sila pancasila ya, tentang keadilan? Atau  Lo semua  mengharap lahirnya do`a dari lisan kami yang merasa terzolimi yang bisa membuat Allah mendengar do`a kami? Maaf!”.
              Senyum Ashila kembali mengutarakan maafnya, lalu meninggalkan kelas yang senyap sesaat. Terhipnotis dengan lisan calon orator besar. Selepas dari aksinya menjambangi markas Rizq, Ashila kembali menemui kedua sahabatnya yang sudah bergerak ke tengah lapangan.
               Shila berhenti sejenak, melihat Zora juga Zihan yang sudah berada di tengah lapangan. Ada tangan sedang menyeka kening, ada tangan tengah menghalau matahari, dan ada tangan yang mengibas di wajah. Ashila menarik napas kembali, sejenak sebelum memutuskan  melangkah ketengah lapangan, bergabung dengan keduanya.
              “Darimana?”. Tanya Zihan dengan wajahnya yang sudah berubah warna.
              “Protes akan pelanggaran HAM!” asal Ashila. Zora mencibirkan bibir, penasaran dengan ucapan Shila barusan. Akibat rasa itu, kepala Zora kini memutar arah ke depan Shila, menatap mata Shila untuk keterangan selanjutnya tentang kepergiannya tadi.
              “Nggak usah dilanjutkan…!” sambung Ashila tegas.
              “Kenapa?”
              “Bukan tugas kita”. Pendek Ashila menjawab. Ashila tahu di atas sana, dari balik jendela “pembesar-pembesar” itu tengah menyaksikan aksinya. Maka dengan PD~nya Shila menarik tangan Zihan juga Zora menyingkir ke tempat yang tertutupi oleh matahari. “Maaf…ada saatnya pemimpin butuh ditegur…” bisik hati Ashila. Menggidikkan bahu, mencibirkan bibir.
              Diterima atau tidak, tak masalah, yang jelas seorang pemimpin butuh untuk selalu diingatkan akan kewajibannya, kapan pun itu. Tul ga?


[1] Keseimbangan
[2] Sejenis topi yang sering digunakan ketika di ladang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar