Senin, 03 September 2018

PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER




Pendidikan karakter sejatinya memang di ajarkan sejak usia dini agar membekas pada prilaku anak-anak. Semua dimulai dari rumah lalu membangun kerjasama dengan sekolah. Sekolah tak bisa membangun karakter sendiri tanpa bantuan dari rumah dikarenakan anak-anak banyak menghabiskan waktunya di rumah, sekolah, dan lingkungannya.
Jika karakter baru dibangun saat anak-anak menginjak usia dewasa banyak hal yang mewarnai mereka diluar sana dan mereka sudah terlalu pintar untuk bisa menjadi pengikut zaman. Maka akan berbeda saat karakter diperkenalkan kepada anak diusia dini.
Tahun 2003 pemerintah Indonesia menyadari tantangan dan kekeliruan  dalam penyelenggaraan pendidikan di negara kita. Maka pemerintah mengambil kebijakan untuk menggalakkan pendidikan karakter dalam sistem pendidikan nasional. Namun nyatanya terlalu sulit untuk menerapkan budaya karakter ini pada pendidikan kita. Lalu apa yang salah? Bahkan dalam kurikulum 2013 pun karakter tetap menjadi paket untuk dilaksanakan disetiap ruang kelas. Nyatanya karakter bangsa kita tetap saja begitu-begitu saja meski tahun 2003 sudah berlalu berapa dasawarsa-pendidikan karakter masih menjadi pekerjaan rumah bagi negera ini.
Sebuah kesempatan yang merupakan wujud penasaran mengantar langkah saya sampai ke Jepang. Kita belajar dari sebuah negara yang saat ini berkembang pesat di asia. Jepang. Negara yang berhasil membangun budaya berkarakter bagi negaranya. Ternyata semua tak lantas dibangun dalam hitungan sekejap. Pemerintah Jepang butuh formula bagaimana membuat Jepang mampu membangun dirinya menjadi negara yang diperhitungkan di asia. Jepang membangun karakter dimulai dari generasinya yaitu sekolah dasarnya bahkan usia PAUD.
Jepang memulai dengan membangun persamaan persepsi antara pentingnya pendidikan dengan masyarakatnya. Semua pihak di Jepang mengerti arah tujuan pendidikan mereka adalah untuk mencapai kemajuan atas negerinya, maka semua dimulai dari membangun karakter yang berjangka panjang.
Selain itu kurikulum sekolah mereka dibangun sedemikian rupa untuk pembentukan dan pengembangan karakternya. Maka kita mengenal Jepang sebagai negara yang budaya antrinya sangat terjaga, kebersihan menjadi tanggung jawab seluruh penduduk kotanya, maka bisa dikatakan kita tidak menemukan sampah berserakan di sekitar jalan. Pengaturan pembuangan sampah pun teratur dengan baik. Maka semua tak terlepas dari budaya karakter negara ini yang sukses terbangun.
Bahkan jauh sebelum Jepang membentuk karakter negaranya, Islam sudah lebih dahulu mengajarkan pentingnya membangun karakter di usia dini. Kita tahu bagaimana seorang Lukman memberikan hikmah besar bagi anaknya hingga diabadikan dalam qur`an yang dijadikan sumber rujukan sampai saat ini. Ini bukan lain semua berbicara adab atau karakter. masyaAllah, sungguh agama kita jauh lebih peduli terhadap perkara ini, maka kewajiban kita bersama-sama mengantar anak-anak kita menjadi pribadi yang memiliki karakter yang sesuai dengan ajaran Islam, sesuai pula dengan zaman dimana mereka tumbuh, yang tantangannya semakin besar.
Pertanyaannya, apakah kita mau mengambil peran ini bersama? Yah wajib bagi setiap orang untuk saling menopang dalam kebaikan. InsyaAllah akan ringan jika semuanya saling bahu-membahu demi terbangunnya kekuatan karakter di sekolah kita, sekolah dasar khususnya. Lalu bagaimana memulainya? Mulailah dari yang paling kecil, kemudian dimulai secara terus menerus baik di sekolah ataupun rumah. Kita tidak lantas menerapkan banyak karakter demi suksesnya harapan kita, sebab dengan begitu fokus kita akan terpecah. Maka bismillah mulainya dari hal terkecil. Jika hal itu sukses diterapkan InsyaAllah akan menjadi pembiasaan yang baik.



SYURGA YANG KUINGINKAN



            Gerah itu masih terasa, meski aku sudah meneguk dua gelas air dingin. Gerah yang tercipta karena matahari yang bersinar lebih garang dari sebelumnya. Aku masih ditemani segelas air dingin duduk di taman kecil yang kau buat. Taman yang kau hadiahkan padaku tepat setelah kelahiran putra pertama kita. Tiba-tiba dihela nafas, semilir angin yang tiba-tiba sejuk-membuatku terkenang atas pertanyaan sederhana yang kau ajukan dahulu. “syurga yang seperti apa yang kamu butuhkan?” pertanyaan yang sampai hari ini belum mampu kujawab, meski usia Saka sudah tujuh tahun. Delapan tahun kau menanti jawaban itu, delapan tahun pula aku mencoba menemukan jawabannya. Jawaban sederhana tapi cukup membuatmu lega.
            “Bunda sudah datang?” ah suaramu tiba-tiba membuatku berpaling. Melemparkan senyum yang juga spontan terbentuk untukmu.
            Kau duduk disampingku, menggengam erat tanganku. Sejenak aku memutar arah mataku, terpaku pada gemintang matamu yang tetap sama seperti hari pertama matamu bertemu pandang dengan mataku.
            “Abi ingat pertanyaan abi dulu untukku?” aku tiba-tiba ingin sekali mengenang pertanyaan itu kembali menepi-kau suarakan untukku. Kau mengernyitkan dahimu. Matamu berputar mencoba menemukannya.
            “Pertanyaan yang mana? Bukannya pertanyaan Abi selalu berubah-ubah?”
            “Yah, pertanyaan serupa setiap harinya. “bunda, dimana kunci mobil? Bunda, handuk Ayah mana? Bunda, dasi ayah mana? Bunda, lihat polpen ayah, tidak?” aku mengulang semua pertanyaanmu, kau tertawa kecil.
            “Itu pertanyaan yang nggak harus dikenang, bunda. Itu jenis pertanyaan Abi yang ingin selalu mendengar suara bunda..” kau mulai membuat hidungku kempas-kempis malu, lalu mataku berkedip-kau selalu pintar menciptakan ruang yang mampu membuatmu merasa dicintai selalu dan tentunya istimewa.
            “Abi ingat dan selalu menanti jawaban itu, kalau memang sudah ditemukan” kau melirikku lengkap dengan senyummu.
            Inilah pernikahan kita-selalu memberikan kesempatan untuk berbicara santai ditemani minuman dingin tanpa Saka yang kebetulan di “ambil” oleh neneknya yang begitu berlebihan dalam menumpahkan cinta pada cucunya yang comel.
            Aku menghela nafas-gerah itu sudah pergi. Aku tak tahu pasti, kapan aku melupakan gerah yang tercipta cukup lama. Yang kutahu, gerah itu sepertinya pergi sendiri sejak kau hadir, duduk bersamaku-mengengam tanganku erat. Gerah yang mungkin cemburu pada kita yang selalu punya cinta bahkan memilikinya setiap hari kita.
            “Pernikahan itu bukan seperti drama. Pernikahan bisa melebihi drama jika memang niatnya seperti itu. Saya tak meminta cinta yang lebih. Saya hanya meminta jeda atas setiap hari kita.” rasanya baru beberapa jam lalu kau menyampaikan kalimat ini-kalimat yang membuat ayahmu terbius-aku menitikkan airmata haru. Kau memintaku pada ayahku bukan karena berharap pernikahan itu seindah drama yang dipenuhi gelembung cinta. Kau hanya butuh waktu “me time” berdua, yang menurutku mampu memberikan cinta yang lebih bagiku dan bagimu.
            “Kita jemput Saka..” kau tiba-tiba berdiri. Aku menghela nafas-bukan tak suka. Aku hanya tak suka saat aku mengenang masa itu kau mengalihkan semuanya.
            “Hela apa itu?” kau bertanya-seperti biasa tak tahu apa-apa tentang helaku.
            “Kapan abi terakhir marah sama aku?” aku memicingkan mata-mengejar langkahnya. Aku penasaran kapan aku terakhir marah padamu atau kau marah padaku. Karena kita selalu belajar bagaimana caranya agar “marah” tak ada dalam sejarah hidup kita. Kau berhenti! Memutar tubuhmu yang tingginya membuatku sedikit mendongakkan kepala. Kau memberikan respon padaku atas pertanyaan spontanku.
            “Saat bunda menunda shalat karena pekerjaan bunda. Ingat?” aku tertawa. Yah itulah kau yang marah jika urusanku dengan Tuhan dinomor duakan. Kau imam sekaligus reminder buatku untuk menempatkan Tuhan pada posisi pertama dalam hidup. Bukan kau bukan pula Saka. TUHAN!
            “Yuk, keburu sore sampai di rumah ibu...” kau lebih dulu melangkah dengan lebar menuju mobil. Aku sampai mengejar langkahmu tertatih. Kau hanya tersenyum dibalik kemudi saat aku duduk disampingmu. Bahkan senyummu membuatku jatuh cinta setiap harinya.
****
Aku sedang menikmati peranku sebagai istri sekaligus ibu. Mempersiapkan makan siangmu di weekend ini. Aku senang dengan peranku yang satu ini, Menghadirkan senyum pada bibirmu dan tawa pada wajah Saka yang menggemaskan. Entah mengapa kau duduk di balik meja, sedang aku membelakangimu tanpa sengaja karena aku sedang mengolah makan siang kita. Kau seperti biasa membacakanku artikel pendidikan terbaru dan artikel lain yang semuanya berisi pengetahuan penting bagiku. Sebagai seorang ibu, istri, juga sebagai hamba. Ini sarana belajar bagiku-bagimu.
            “Jangan pernah berhenti untuk belajar, meskipun sibuk memasak.” Itulah katamu saat aku protes tentang kebiasaanmu disaat weekend bersama. Jawaban yang tak akan pernah kutanyakan lagi sampai nanti. Aku selalu menemukan cintamu meski sesederhana hari ini, diweekend ini. Menemaniku memasak sambil menjadi `guru` bagiku.
            “Bunda, temenin Saka ya . . .”
            Saka muncul dengan langkahnya yang tak terdengar. Diselaku dan kamu yang masih membaca untukku. Saka memintaku menemaninya.
            “Temenin kemana?” Jawabku tanpa menoleh pada Saka. Kau berdehem. Deheman pertama aku tak memberikan tanggapan, selain sibuk mengaduk makanan.           “Saka punya tugas gambar, Bunda . .”
            “Oke, setelah makan siang, Ya…” Jawabku, jawaban yang melahirkan deheman kedua. Aku menoleh padamu. Kulihat raut wajahmu sudah berubah dari sebelumnya. Majalah yang kau baca sudah berpindah tempat. Aku menautkan alisku, berfikir, menemukan apa salahku yang membuat raut wajahmy berubah. Saka sudah pergi sambil membawa crayon pada tangannya yang mungil.
            “Kamu tahu, apa salahmu?” Suaramu yang tadinya ringan kini berubah intonasinya. Kau melangkah mendekatiku.
            “Eh?” 
            “Saka butuh cinta.”
            “Ya, aku tahu..” Anggukku memberikan jawaban.
            “Saat Saka berbicara denganmu, dengan kita tolong luangkan waktu untuknya. Tatap dia bukan membelakanginya seperti tadi. Itulah cinta.” Kau menyampaikan itu sambil membuka celemekku. Menarik lenganku perlahan, lalu mendudukkanku di kursi yang telah kau duduki tadi.
            Aku mengerti kini, mengapa suaramu berubah, raut wajahmu berubah. Kau memikirkan kelangsungan buah hati kita. Saka.
            “Kamu mengerti sekarang?”
            Aku mengangguk.
            Kau kini menarik senyummu. Raut wajahmu kembali berubah. Marahmu selalu berupa teguran bagiku. Marah yang membuat detak jantungku semakin tinggi, karena takut pada perubahanmu.
            “Kita makan…” Ajakmu sambil menata meja. Kau kembali mengambil peranku sempurna di akhir. Menata meja makan dengan cepat. Tanpa memintaku kaupun menjemput Saka di luar, tidak meneriakinya sama sekali. Ketika kau datang bersama Saka, kulihat Saka berada dalam gendonganmu. Ia merasa aman dan nyaman bersamamu.
            “Saka, bunda minta maaf, Ya…” ucapku spontan. Kau menoleh, lalu menarik senyummu hingga lengkung pada pipimu terlihat. Saka dengan binar matanya hanya mengerjap melihatku. Sepertinya aku menemukan jawaban dari apa yang pernah kau tanyakan padaku beberapa tahun lalu. Jawaban yang kutemukan disela senyummu dan kerjap mata Saka.
            Ada airmata yang siap tumpah-dan tangan mungil Saka yang menyodorkanku tisu. Saka tertawa hingga giginya terlihat.
            “Bunda pedas..” ucapnya.
            Langkah kita baru saja tiba di kamar, selepas mengantar Saka terlelap dalam dongeng yang kita bacakan. Seperti kebiasaan sebelumnya, selepas lelap kita maka kau mengajakku mengikhlaskan semua kejadian yang terjadi hari ini. Aku melakukannya seperti apa yang kau ajarkan. Ada efek positif yang kutemukan saat aku melakukannya.
            “Sepertinya aku menemukan syurga yang kuinginkan…” aku berucap hati-hati, ucapan penutup kukira untuk malam ini. Kau yang tadinya ingin melepas kacamatamu menahannya. Menatapku dengan serius. Aku tahu kenapa reaksimu seperti ini, sebab jawaban ini sudah kau nantikan sekian waktu.
            “Lalu syurga seperti apa?” Kau bertanya penasaran.
            “Syurga itu sederhana-sesederhana kau mengajakku bermuhasabah, mengajakku menidurkan Saka, dan yang terpenting selalu mengajariku-membacakan aku pengetahuan saat aku memasak…” Balasku. Kau mendelikkan matamu yang lumayan sipit itu. Terlihat lucu dimataku.
            “Itulah syurga yang kuinginkan. Karena sejatinya cara sederhana kita dalam menjalani hari dengan kebersamaan dan cinta sedang mengarahkanku pada ketaataan padaNya semakin tinggi. Kau telah membangunnya. Aku baru menyadarinya…” sambungku. Kau terdiam cukup lama. Aku menatap wajahmu. Kali ini kacamata itu sudah berpindah ke bufet.
            “Syurgaku adalah ketaatanku padamu. Terimakasih.” Ucapku lagi. Ada lega saat aku mengucapkan ini, meski sisi melankolisku akhirnya bekerja malam ini. Aku menangis dan kau merengkuhku dalam pelukmu yang hangat-menentramkanku.
            “Untuk syurga yang kau inginkan, aku akan menyempurnakannya…” bisikmu. Aku menarik lengkung senyumku, disela rembesan airmata yang tetap mengalir. Pada akhirnya aku belajar banyak hal setelah melaluinya bersamamu-duka kita adalah kisah yang selalu bahagia. Bahagia kita adalah ungkapan paling Indah dari syukur kita untuk menjalani amanah hari yang semakin berat.
            Aku mencintaimu karena Allah
            Maka cukuplah hati kami yang mengaungkan kalimat ini, menyempurnakan setiap lelah kami untuk terlelap. Untukmu, syurga seperti apa yang kau inginkan?