Senin, 14 September 2015

Karena Cinta tak Melupakanmu (5)



LIMA
Aku sampai di rumah dengan langsung menemui ibu yang sudah sedari tadi menungguku bersama ayah yang sudah begitu senja usianya. Beliau tetap gagah dengan karakternya yang tegas sejak dulu dan kini. Lain ayah, lain pula ibu. Ibu yang selalu menuntut, bahkan terlalu protek atas anak-anaknya tetaplah ibuku.
“Itu yang kamu harapkan, Yu?” Selidik Ibu sesaat setelah kukecup punggung tangannya. Aku pikir berlalunya waktu, ibu mampu menerima Nirwana menjadi menantunya. Tapi, teryata ibu banyak diamnya saat bertemu Nirwana dulu, semasa sehatnya karena ayah yang memintanya bersikap baik pada Nirwana.
“Bu, Bayu tidak pernah berharap Nirwana akan seperti ini. Semuanya ujian bu..”
“Ujian karena kamu tidak menerima calon yang ibu berikan. Coba lihat, Diandra bahkan sudah menjadi dokter terkenal…” ibu mulai membanding-bandingkan Nirwana dengan calon ibu dulu yang akhirnya kuketahui bernama Diandra.
“Bayu tidak memerlukan istri yang terkenal, lalu dikenal semua orang. Sibuk untuk orang lain, bukan untuk keluarganya. Cukuplah Nirwana dikenal sebagai wanita sholihah yang insyaAllah terkenal di syurga bu. Tidak dikenal oleh dunia, tapi dikenal oleh langit..” Aku mulai memberikan penegasan pada ibu lewat bahasaku. Kulihat Ayah melirikku, memintaku mengalah dari sosok ibu.
“Kamu itu ya…sama orang tua…”
“Bu, Bayu minta maaf. Sebaiknya ibu istirahat dulu ya..” Aku membimbing ibu melangkah menuju kamar tamu yang bersebelahan dengan ruang dimana Cinta sedang istirahat. Ibu mengikuti meski bibirnya manyun karena aku yang keras kepala tetap memegang pendirianku, untuk tetap menjaga Cintaku.
Selepas mengantar ibu dan ayah untuk beristirahat, aku mampir ke kamar Cinta. Menjenguknya yang ternyata sudah terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap saat aku menepi kesisi pembaringannya. Duduk disana, melemparkan senyum untuknya. Menyapanya.
“Assalamu `alaikum, Cinta…”
“Cin…ta..”
“Yah, panggilanku untukmu…”
Cinta menarik senyumnya. Senyum pelangi yang berpendar disana seolah membawa pergi letihku, takutku akan penyakit ini. Penyakit yang luar biasa menyita pikiranku.
“Ka-mu?”
Aku mengambil post it kuning yang diletakkan suster Rita di dekat meja. Disana ada beberapa tulisan tangan suster Rita yang menuliskan pesan untuk Cinta.
“Ba-yu”
Cinta mengeja namaku, bergantian ia menatap kertas bertulis namaku dan menatap wajahku lama. Tepatnya meneliti baik-baik. Tiba-tiba Cinta menarik senyumnya kembali. Tawa kecilnya pun berderai merdu. Suster Rita yang melihat tawa Cinta saat melangkah masuk membawa air minum berbisik padaku.
“Ini kemajuan Mas Bayu..”
“Maksudnya?”
“Tetap berikan cinta kenangan selama berapa tahun kebersamaan mas. Pelan-pelan saja. InsyaAllah, Allah akan memberikan jalan saat kesabaran kita menjadi pondasinya, ditopang dengan shalat kita sebagai akarnya..” Suster Rita mulai berfilosofi.
“Ba-yu…”
“Ya…” aku mengalihkan pandanganku. Focus kembali pada mata gemintang Cinta yang mengerjap cantik.
“Ki-ta sha-lat magh-rib?”
“Ya!” Aku mengangguk. Ada bias airmata dipelupuk mataku. Sedikit lagi dia akan jatuh. Namun cepat kuhalau segera, sebelum Cinta menemukan tetesnya. Aku merasa bahagia karena cintaku masih mengingat TuhanNya. Ternyata Alzhemeir tidak mengambil ingatannya akan TuhanNya.
“Yaa, Allah aku ridho ia tak mengingatku, asal ia mengingatMu..” entah mengapa lisanku, hatiku, pikirku bergumam seperti ini. Ada gelombang ikhlas yang tiba-tiba deras mengalir pada hatiku, hingga lega itu menggantikan sesak yang ada sejak vonis dokter mengatakan cintaku menderita alzhemeir. Sesak yang menjadi temanku selama beberapa tahun, tiba-tiba hilang…
“Aku akan bacakan surah cinta buatmu…” ucapku, menggengam tangannya. Membantunya melangkah menuju tempat wudhu. Saat langkahku sampai dipintu. Ibu secara bersamaan keluar dari kamarnya. Ibu menatap cinta dalam. Aku berharap ibu tidak berkata apapun pada cinta.
“Mau kemana?” Tanya ibu. Cinta memberikan reaksinya. Ia berhenti secara reflex di depan ibu. Menarik senyumnya. Mengambil tangan ibu, menciumnya.
“Ke-ma-na?” saat cinta mengangkat wajahnya, ia berbalik menatapku. Bertanya mau kemana. Ia sudah lupa tujuan kemana kami akan melangkah.
“Wud-hu..”
Kepala cinta menggeleng pendek.
Aku tetap menggengam tangannya, melangkah mengambil wudhu. Selepas membimbingnya untuk berwudhu, aku segera membantunya mengenakan mukena shalatnya, meski ia bisa melakukannya. Kulihat ibu terus memperhatikanku dan cinta. Ada ayah disana yang lebih banyak menarik senyumnya, juga memperhatikanku.
“Bu, seharusnya ibu bangga punya anak yang begitu menjaga cintanya..” kudengar ayah meledek ibu. Ibu tak memberikan responnya, selain lirikan kecilnya yang “mematikan” setidaknya bagiku dan kakak-kakakku.
Aku mendekati ayah-dan ibu, meminta mereka ikut bersamaku melakukan shalat berjama`ah. Ayah menyetujui. Lain ayah, lain pula ibu seperti  yang kukatakan tadi, pasti ada balasan kalimat yang akan ibu lontarkan.
“Bukannya kamu wajib shalat di masjid, berjama`ah?” ledek ibu. Aku membenarkan ucapan ibu. Namun kali ini pembenaran kata ibu sekalian menyampaikan pada ibu tentang kondisi Cinta yang membutuhkanku menjadi imamnya.
“Bu, seorang laki-laki adalah imam bagi istrinya. Saat ini aku ingin meng-imami Nirwana karena Nirwana membutuhkanku ada disini, saat ini..”
          Ibu melangkah pergi.
          Aku menghela nafas, kembali menuju tempat dimana cinta menungguku sambil duduk di atas sajadahnya. Suster Rita ternyata sudah siap disampingnya. Mengajak cintaku berdiri segera, karena ayah sudah mengumandangkan iqamahnya.
          Dengan bismillah kuangkat takbirku tinggi dengan penuh harap padaNya. Kusampaikan bahasa cintaku padaNya lewat Ar-Rahman. MemintaNya untuk tetap menyimpan memory hafalan Cinta meski alzhemeir memangkas seluruh ingatnya. Karena dengan wasilah surah inilah cinta terkadang mengingatku dengan baik, meski hanya hitungan beberapa menit. Menit berharga yang kuartikan sebagai bonus dariNya.
          “Assalamu alaikum warahmatullah…”
          “Assalamu alaikum warahmatullah wabarakaatuh…”
          AKU memutar kepalaku, mengucapkan salam. Selepas itu aku membalikkan badanku, menyodorkan tanganku pada cinta. Sejenak cinta terlihat bingung. Suster Rita mengambil tangan cinta, lalu menciumnya. Mengajarkannya dengan sabar sekali. Setelah melihat dan merasakan apa yang barusan suster Rita peragakan, Cinta mengambil tanganku, mencium tepat dipunggung tanganku. Ada haru yang menyelinap masuk pada hatiku. Aku ingin merengkuh cinta, tapi…
          “Cinta butuh waktu. Mengingatkannya pun butuh kesabaran, meski sentuhan fisik seperti memeluknya atau mencium keningnya semua harus dilakukan perlahan tanpa meninggalkan rasa takut baginya.”
          Pesan dokter Ehsan membuatku menahannya. Aku hanya mampu mengelus kepalanya lalu memberikannya senyuman. Saat aku memalingkan wajahku, kulihat ibu menatapku tajam.
          “Apa gunanya kalau dia sakit, Yu?” ucap ibu cukup membuatku tersentak. Dengan intruksi perlahan kupinta suster Rita membawa Cinta kekamar. Aku harus bicara dengan ibu, sekarang!
          “Bu, Nirwana istriku. Tolong hargai perasaannya…”
          “Emangnya dia tahu apa itu perasaan sekarang? Kenal kamu aja nggak!” Jawab ibu tanpa memikirkan perasaanku yang terluka. Ibuku tetaplah ibuku. Hanya helaan nafas yang keluar beradu. Ayah seperti biasa mengambil posisi menengahi.
          “Sudahlah bu..sesekali biarkan Bayu mengurus sendiri perjalanan rumah tangganya. Bukan tugas kita lagi untuk mengurusnya…”
          “Maafkan Bayu bu…”
          “Daripada sulit tidak ada yang mengurus kamu, kenapa tidak menikah aja sama suster Rita…” Sambung ibu lagi.
          “Ibu!!!!” Suara ayah meninggi.
         Ibu berlalu dengan wajah angkuh
          Aku beristigfar lama. Ayah mengelus pundakku, lalu menyusul ibu. Saat aku menoleh kudapati suster Rita berdiri di pintu dengan wajah santai, seperti tak ada apa-apa.
          “Mas, saya pulang…”
          “Ya…iya…” Anggukku diterpa bingung.
          Perkataan ibu membuatku takut, takut menghianati cintaku atas Cinta.
          “Nikah? Lagi?”
          Aku menggeleng cepat, melangkah menuju kamar-giliranku menjaga Cinta malam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar