Sabtu, 19 September 2015

(Novel) Gw Bilang Cinta - (4)



EMPAT
              “Serius?”
              Mata Zora mendelik sangat lebar mendengar apa yang Ashila katakan, tentang insiden di lapangan basket tadi yang membuat Rizq menahan marahnya. Dalam pikiran Zora terbayang gunung yang siap meledak, memuntahkan magmanya, mempersiapkan waktunya untuk itu…dan Zora yakin seorang Rizq nggak akan kehilangan ide untuk yang satu itu. Ya!
              “Truz, ada yang lain nggak?” antusias Zora, menatap mata bening Ashila. Ashila melirik Zihan, tersenyum!.
              Nggak ada yang lain kok selain itu…” jawab Ashila, menyembunyikan identitasnya sebagai mantan basketer sejati
              “Menurut Gue, Rizq nggak akan diam ama ucapan Lo, Gue yakin!” cetusnya dengan analisis yang Ashila juga Zihan benarkan. Pada benak Ashila, wajah kearab-araban itu pasti tengah memikirkan semua itu, untuk balasannya. Dan Ashila menunggu saat itu!
              “Itu haq dia fren, sekarang kan Indonesia menjadi Negara Demokrasi, Gue menghargai dia sepenuhnya untuk berexspresi.”
              “Yee…kamu liat dulu dunk! Demokrasi sih iya, tapi tetap ada rambu-rambunya khan? Emang sih Negara neh udah mencetuskan itu, yang memberikan hak warganya untuk mengutarakan apa pun, tapi tetap aja aku nggak setuju dengan ini. Bayangin atas nama demokrasi, semua yang nggak pantas diexspos…gila nggak sih, padahal ini kan Negara yang Penghuni muslim terbesar…” Zihan angkat suara dengan gaya orator ulung yang memiliki semangat juang 45, membalas ucapan Ashila. Ashila menarik senyumnya!
              “Aku tau… ntar kalau dia membalas, Aku akan siapkan hal yang mendidik kok, tenang aja dech!” ashila mengedipkan matanya ke arah Zora juga Zihan yang masih ingin membuka mulutnya.
              “Tapi ingat, Aku nggak setuju kamu berdua atas nama demokrasi, jauh dari rambu-rambu akhlaq islami! Oke, kita hargai Indonesia yang bangga dengan sebutan itu!”
              “Oke boz!” ucap Zora meletakkan tangannya dikening, memberi hormat. Ada geli yang ia sembunyikan dari sana.
              Tapi…
              Iya sih, seharusnya atas nama demokrasi, Indonesia tambah baik dengan menerima segala kritik…, nggak melakukan exspansi besar-besaran dalam hal yang ngebuat mumet…!” pikir Ashila mangut-mangut. Zora menautkan alis melirik Zihan yang tersenyum. Mungkin dalam fikir Zora tentang Ashila “wah nih orang mulai serius neh!” wajar jika fikir itu hadir. Semua juga tahu, Ashila jarang mengutarakan pikirannya untuk hal-hal yang berbau serius, dan sekarang?
              “Ck…ck…Indonesia-indonesia, tambah mumet Gue!” hembus nafasnya berat. Zihan menahan geli melihat gelagatnya, begitu pula Zora. Ashila begitu beda hari ini!
              Napa Lo berdua ketawa-ketiwi?” alis cantik Ashila bertaut menatap Zora juga Zihan.
              “Aneh aja seh, Lo kan nggak biasanya begini.”
              “Korban demokrasi neh?” ucap Zora.
              “Yap! Aku mau menggagas demokrasi bersih dari unsur-unsur SARA! Nggak ada ucapan yang menyakitkan kaum yang pailit! Nggak mengorbitkan generasi dengan pornografi dan pornoaksi! Nggak membiarkan input output bacaan “nyeleneh” untuk generasi dan orang lain! Nggak membiarkan uang Negara diboxing KKN, nggak dan semua jenis nggak!. Aku ingin mengungkapkan cinta buat generasi Indonesia!” semangat Ashila, membuat kerut dahi Zora bertambah.
              “Solusinya?”
              “Kita ngadain brain storming dengan pisau sunnah dan al-Qur`an!” usul yang benar-benar membuat senyum Zihan berkembang.
              “Caranya?” pancing Zora bersemangat mendengar ide bening Ashila. Ashila pun bersemangat mengeluarkan semua yang ada pada benaknya.
              “Kita buka blog untuk mengumpulkan generasi yang ingin bercermin pada kebenaran yang sempurna, menyapa indahnya hidayah Allah….menjaga lisan untuk nggak sembarang berbicara!”
              “Nama blognya?”
              AshilaAinnazwa_MuslimahKaffah@Optimis.com
              “Yee….” Lidah Zora menjulur lucu. Zihan terkikik geli.
              “Canda fren! Nih mimpi aku, yang akan aku realisasikan nanti.”
              “Kok?” mata Zihan memicing menatap Ashila atas reaksi omongannya.”
              “Aku mo merevisi diri dulu, mendelete yang jelek dan merefresh semua sebelum akhirnya aku goalkan keluar, termasuk ke kalian berdua!”
              “Bahasa Lo tuh!”
              “Yap! Gue bilang cinta….He..he…” tawa itu pun terdengar mewarnai langkah tiga gadis ini menuju gerbang sekolah yang tinggal beberapa langkah. Ketiga gadis remaja yang kelak menjadi pribadi-pribadi mengagumkan yang berfilsafat pada hati dan berevolusi dengan realisasi al-Qur`an!
(GBC)
              Lelaki itu turun dari motor besarnya dengan gerakan gesit, menuju teras rumah, seusai mengucapkan salamnya, iapun masuk kedalam rumah besar berarsitektur gabungan modern dan tradisional.
              “Rizq, kamu sudah datang?” Mama dengan jilbab parisnya yang sepi dengan berbagai macam hiasan itu muncul. Lelaki yang ternyata Rizq itu melempar senyumnya untuk sang mama.
              “Ma, Rizq kesal Rizq ingin marah..”
              “Memangnya yang buat kamu seperti ini siapa?” Tatap mata mama kearah Rizq yang masih sibuk membuka kancing bajunya.
              “Rizq sudah berusaha memberikan contoh yang baik, tapi kenapa masih ada yang rese ma..”
              “Berarti kamu belum maksimal mengusahakan itu…, oh ya, ini apa?” tunjuk mama pada walkman dan kertas berisi pertanyaan yang diserahkan Ashila tadi.
              “Akhwat itu ma yang buat Rizq emosi, itu yang dia pinta dari Rizq…”
              “Apa yang buat kamu emosi? Kamu emosi atau karena memendam sesuatu, kagum misalnya atau kamu la..”
              “Ma Rizq juga nggak tahu, kenapa ia bisa menjadi akhwat yang begitu berani ma, bahkan pernah mengkritik system yang telah Rizq buat..” Ucap Rizq mulai melunak, kembali mengingat masa-masa MOS dulu.
              “Oke, hukuman kalian selesai, tapi ini semua Gue lakukan untuk kebaikan masa kepemimpinan Gue, nggak lebih..”
              “Terserah Lo, mau ada apa dibalik semua, yang jelas kami nggak punya urusan lagi sama Lo..” Jawab Zora menatap Rizq.
              “Syukron ya, ininih pemimpin yang berjiwa besar..” Acung jempol Zihan dengan senyum kecil yang Nampak pada wajah cantiknya.
              “Thanks kapten, Gue ada ditengah-tengah keduanya, nggak urus dan terimakasih, tapi Gue berharap Lo selalu seperti ini, gentleman dalam segala hal, memutuskan tanpa ada tendensi apapun, biar nggak ada pihak yang dirugikan dan terzolimi…”
              “Melamun Rizq? Ingat apa?” Tanya mama mengibaskan tangannya tepat didepan muka Rizq, Rizq terlonjak kaget.   
              “Ingat sedikit ma tentang masa MOS dulu…”
              “Oke, kamu makan siang dulu gih..” Ucap mama, berdiri melangkah menuju ruang tamu yang merupakan pintu utama menuju dapur yang eksotis dengan dinding kayu coklatnya. Rizq melangkah mengikuti langkah mama, sebelum terus menuju dapur, ia sejenak menuju istananya, meletakkan tasnya dan kembali menuju dapur, mama tengah menunggunya bersama papa pastinya yang hari ini resaint dari kantor. Sedikit tidak enak badan katanya.
              “Hei Assalamu `alaikum bro..” Sapa papa akrab, menutup korannya, menatap wajah Rizq yang sedikit aneh, efek dari kesalnya tadi.
              “Urusan sekolah, seharusnya nggak dibawa pulang sayang, professional mengolah semua, apalagi urusan hati..”
              “Papa…”
              “Papa pernah muda, dan papa mengalami saat-saat itu sayang saat mama membuat emosi papa melonjak..” Tebak papa, melirik mama yang hanya tersenyum kecil. Rizq hanya geleng-geleng kepala. Ashila Ainnazwa…..? bahunyapun terangkat, ogah membahas semuanya, apalagi berhubungan dengan Ashila, dengan tampangnya yang berani.
              “Sebenarnya sih nggak masalah buat Gue, dia juga benar, karena memang Gue sudah kelewatan. Huf..” Pikir Rizq dengan hembusan nafas kuat. Zaara membenarkan Shila.
              “Kenapa Rizq?”
              “Kenapa pa?” Rizq balik bertanya dengan kerut pada dahinya, heran dengan pertanyaan papa.
              “Kamu persis pemimpin yang bingung, seperti itutuh di TV, pasa sidang paripurna MPR karena banyak dari mereka yang ngantuk. Bagaimana mau mengurus rakyat kalau seperti itu, membuat rakyat bingung…” Ucap Papa, mengeluarkan opininya sendiri. Rizq hanya menarik senyum, melirik Mama yang juga faham kebiasaan papa.
              “Pemimpin itu seharusnya ti…”
              “Tidurnya sedikit, karena memikirkan yang terbaik untuk masyarakatnya, seperti mereka dizaman Rasulullah dan sahabat…” Potong Rizq, hapal dengan sindiran Papa, untuk pemerintah versinya sendiri. Mama tergelak, dengan tawanya yang pecah seketika, dan Papa tetap cuek bebek meneruskan korannya, asyik dengan bacaannya tanpa menyadari kepulan asap minumnya yang sudah menipis. Kalaupun Papa menyadarinya, pasti Papa akan memintanya atau mama untuk menggantinya dengan yang baru.
                         “Jadi, beliiin pesanan papa Rizq?” Tanya Papa memiringkan korannya sejenak, memperhatikan wajah Rizq.
              “Setelah shalat ya pa…” Jawab Rizq, menghabiskan menu makan siangnya ala Mama, sop kimlo dengan jamurnya yang banyak berikut asparagusnya yang lezat, ditemani dengan potongan daging segar. Mama, Chef terbaik untuknya juga Papa.
              “Oke…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar