Sabtu, 19 September 2015

(Novel) Gw Bilang Cinta - (5)



LIMA
              Ashila menghalau sengatan matahari yang menabrak wajahnya tanpa ampun, hingga wajah itu berubah pink dengan embun yang keluar dari pori-pori wajahnya. Mungkin ini juga bisa dikatakan membuang karbon dioksida  dari wajahnya. Sebenarnya tadi ia pulang ikut dengan kendaraan Zora, berhubung Bunda memintanya untuk membeli barang-barang yang menjadi pendukung butiknya, akhirnya Ashila memilih naik bus setelah sejenak rehat di masjid dekat skull. Yah sekali-kali nggak pake gratis dengan sahabat tercinta, yang selalu setia menjadi “pengawal” untuknya dan Zihan.
              Mungkin inilah salah satu dari ciri sahabat sejati…berat sama dipikul, ringan sama dijinjing! Ashila keluar dari toko “Ikhtiar” membawa barang bawaannya, menuju pemberhentian bus, dengan wajah riangnya, melantunkan nasyid satu tekad milik Unic, ketika sebuah motor besar dengan pengendaranya yang memakai helm standar hitam persis anggota power rangers itu melihatnya menaiki bus. Wajah kearab-araban itu menarik senyum kecilnya. Entah apa yang ada dalam fikirnya!
              Toko ikhtiar menjual semua perlengkapan jahit-menjahit plus segala merk kain, mulai hasil impor hingga exspor…ada kain khas korea, india, etc. semua tersedia disini, dengan gedungnya yang bertingkat 3. Awalnya Ashila penasaran dengan nama ikhtiar. Setelah ia tahu maksudnya, ia pun bertambah suka dengan toko ini. Ada manifestasi menuju akhirat di sini…karyawannya full senyum dengan kostum yang menentramkan, dengan jilbab yang menutup mahkotanya….alunan instrumennya pun asik yang didesain serba hijau.
              Ashila kini telah tiba didepan gerbang rumahnya, yang berdampingan dengan butik “Ainnazwa” yang diambil dari namanya sendiri. Jika melihatnya Ashila selalu tersenyum. Bunda sejak lulus dari kuliah desainer bersama ayah, langsung membuka butik untuk  tak menyia-nyiakan ilmu yang Allah titipkan padanya. Kini kabar tentang ayah sejak usianya tiga tahun belum pernah terdengar kembali. Kata Bunda, Opa dan Oma dari pihak ayah tak menyetujui pernikahan Bunda dengan ayah. Cerita ini Ashila dapat ketika ia masuk kelas 3 SMP, disaat greget rindu pada sosok ini mengeliat kuat pada hati juga fikirnya.
              “Ma, Papa kemana sih? Kenapa Ashila nggak pernah liat sejak dulu. Ashilakan pengen dianter Papa, seperti teman-teman..” Protesnya masih dengan seragam putih-birunya, lengkap dengan raport yang mendekap pada dadanya kala itu.
              “Ayah kembali kepada Opa dan Oma….14 tahun lalu. Ayah sosok yang bertanggung jawab sayang, ketika masa bahagia itu ada melingkupi kita, keluarga ini diuji dengan ujian yang berat untuk ayah. Antar orang tua yang memintanya untuk kembali, dengan Bunda yang dinikahinya tanpa restu orang tua ayah. Berat memang bunda dan Ayah rasakan, tapi Bunda tak ingin hidup Ayah dibayangi dengan kemarahan opa dan oma…bunda tak ingin Ayah seperti sahabat Rasul kelak, tak mendapat ridho dari ayah dan ibunya….maafkan Bunda sayang...”
              Kata-kata Bunda pun terngiang dan akan selamanya Ashila ingat. Ashila akan menjelma menjadi jembatan untuk ayah dan bunda! Ya jembatan dengan energy positif yang akan mempertemukan positif bunda dengan energy positif opa dan oma….memang magnet itu masih saling jauh tak bergeser, dan saat bergesernya nanti, Ashilalah yang bertekad untuk menggesernya! Ya!
              “Assalamu `alaikum bunda….” Suara lengkingan khas Ashila bergelombang masuk ke dalam rumah, mengirimkan signal pada Bunda untuk segera dijawab. Setelah signal itu telah nampak dengan jawab lembut bunda keluar menyambutnya dengan senyum syurganya dalam balutan jilbab coklat manis yang membingkai wajah cantiknya dengan lesung pipi pada kiri juga kanannya, ashila baru melangkah masuk kerumah.
              “Gimana sayang? Afwan ya Bunda nggak sempat kesana, jadi….”
              Plis deh Bun….Ashila nggak apa-apa!” tekan ashila, menatap wajah itu kembali. Wajah yang menurun padanya dengan mata bulat juga alis tebal ayah yang melengkapi. Kontras wajah Ashila begitu sempurna!
              Bunda menarik senyum, mengusap kepala Ashila yang hari ini mengenakan jilbab coklat senada dengannya. Ada haru pada dada bunda, melihat wajah Ashila yang padanya Bunda menemukan kekuatan untuk terus melakukan yang terbaik untuk putrinya, Ashila Ainnazwa!. Bunda ingin Ashila bangga menjadi bagian dalam kehidupannya, dan baik dalam madrasahnya.
              “Yuk bun.” Tatap Ashila pada wajah bunda yang masih menatapnya.
              “Bunda, Shila nggak apa-apa, nggak capek apalagi lelah….” Ucap Ashila dengan binar mata beningnya. Bunda menarik napas, mencium kening Ashila. Ashila memeluk bunda erat. Pada hatinya terucap kuat “I luv Bunda!” 
              “Afwan ya sayang….” Ucap bunda lagi, berbisik. Ada embun pada mata beningnya.
              Duh bunda, berapa kali sih, Ashila harus bilang Ashila nggak apa-apa?. Sampai kapan pun jika bunda yang pinta, Ashila akan melakukannya dengan senang hati, nggak pake keluhan apalagi yang lain….apakah hati bunda begitu perasa? Sampai harus mengutarakan maaf berapa kali?
              Bunda...,  Ashila sayang bunda, dan jangan ragukan itu! Jangan pernah!, karena bunda berhak untuk mendapatkan itu, dari Ashila…, juga karena Ashila mengejar syurga lewat pintu ridho bunda, Ashila akan menjadi putri yang seperti bunda pinta dalam do`a bunda, tatapan bening bunda! Shila akan berusaha!
Bisik hati Ashila dalam, dalam pelukan hangat penuh cinta milik bunda, pelangi hatinya….
(GBC)
              Pagi, ketika langkah Ashila sudah masuk kewilayah gerbang sekolah, ketika ia tenggah menunggu Zihan seperti biasa, SMS Zora masuk.
              “Girls…Lo langsung kekantor OSIS ya, ada rapat jantungan.” SMSnya dengan bahasa “jantungan” jika ada rapat dadakan yang diumumkan langsung dari kantor OSIS.
              “Oke! Gue semaput neh dengernya!” SMS Ashila cepat, lalu memutar langkah menuju kantor OSIS, tempat mereka dulu. Ashila nggak suka menyebutnya sebagai kantor OSIS. Ia lebih happy dengan sebutan camp konsentrasi, karena disanalah untuk pertama kalinya dia dan dua shohibnya mendapatkan soal yang “ampun-ampunan”. Soal olimpiade pun nggak sebanyak itu dalam sekali duduk. Rizq benar-benar jenius, dalam memberikan hukuman. Jenius tapi nggak relevan!
              Langkah Ashila tiba di depan camp konsentrasi, begitu palu ketua diketuk, tanda sepakat. Ashila menautkan alisnya. “Gue kan belum ngomong apa-apa…” batinnya mengucapkan salam, mengambil tempat di samping Zora yang berbisik.
              “Rapat penentuan untuk acara talk show jurnalistik Girls.”
              “Oh!” angguk Ashila, menatap lurus pada peseta sidang dari berbagai departement.
              “Kesimpulannya, talk show diadakan di aula sekolah dengan barisan cowok di depan, cewek di belakang, dan untuk panitia yang meng….bla…bla….” kesimpulan itu dibacakan dengan dengungan yang lambat, persis pembacaan teks proklamasi kemerdekaan RI.
              “Sepertinya ada yang punya usul….” Lirik Zaldy pada Ashila yang menggigit bibirnya tanda ada yang nggak nyambung dalam pikirannya.
              Zora menyikut Ashila, memintanya untuk berbicara. “Zaldy tau tuh, Lo mau protes!” bisiknya geli. Bersamaan dengan itu, mata Ashila mengarah pada ketua OSIS yang juga menatap lurus kearahnya.
              “Lo punya usul?”
              “Ya! Ini prinsip menurut Gue, yang sudah harus dilaksanakan di sekolah ini. Masalah tempat untuk cowok dan cewek, seharusnya nggak pake seperti tadi, cowok di depan, cewek di belakang….”
              “Langsung aja!.” Perintah sang ketua dengan tegas.
              “Oke!, Gue pengen cowok dan cewek dipisah, pake hijab! Jadi, posisinya sama.”
              “Lo mau menuntut gender?”
              “Ini bukan masalah gender nona.” Ucap Ashila tajam pada ketua OSIS yang  terkenal bersebrangan orientasi dengannya. Ashila sih cuek baibeh dengan nona ini, nona yang di awal masuknya Ashila kedalam tubuh OSIS sudah menampakkan sinyal gawat darurat.
              “Ini masalah sunnah yang harus ditegakkan….step by step! Bukan gender!. Dalam Islam nggak ada gender nona!” tajam, menukik dalam hati sang ketua OSIS yang panggilannya berubah nona dihadapan Ashila.
              “Keputusan ini di….”
              “Gue setuju! Walau Gue belum berjilbab, Gue mendukung usul ini, lagian ada positifnya juga kok!” suara Zora terdengar memotong suara ketua OSIS.
              Ana atas nama pengurus ROHIS sekolah setuju dengan usul Ashila.” Zaldy angkat suara. Sang nona menghembuskan nafasnya, melirik tajam pada Ashila.
              “Oke, keputusan, cowok dan cewek pake hijab!” penuh penekanan, sang nona memutuskan. Ada semburat lega pada wajah Ashila….mendengar keputusan itu. Deal! semua berdasarkan pengambilan suara yang lebih banyak menyetujui usul Ashila.
              Ashila bukan pengurus ROHIS RG, tapi ia berhak mengeluarkan keluh kesah, kritik atau pun sejenisnya untuk sekolah, karena ia juga adalah bagian dari komunitas sekolah. Lagian, dalam fikirnya, ngapaian ada ROHIS, kalau programnya stagnan, yang dari dulu sifatnya keturunan dari kepemimpinan sebelumnya. “Sama aja boong!” seru Ashila saat itu, didepan Zaldy. “Kalau mau ROHIS maju, buat dong inovasi, yang mampu merubah sedikit demi sedikit wajah ROHIS RG. Jika kemarin-kemarin lebih pada program-program social, saatnya berubah dalam tindakan nyata. Kerjakan sunnah! Gitu aja kok repot!” cerocos Ashila, membuat Zaldy perlahan tapi pasti mulai menawarkan wajah baru pada ROHIS RG. Lebih kreatif juga inovatif. Karena memang itulah seharusnya ciri seorang muslim. Selalu memiliki hal-hal yang baru dan tak pernah berhenti untuk terus memberikan inovasi yang terbaik. Setuju?
              By the Way, Talk shownya kapan?” celetuk peserta rapat yang lain, membuat sang nona kembali mengeluarkan suara.
              “Pekan depan, bersamaan dengan terbitnya bulletin RG.” Ucap sang nona yang memiliki nama asli Kaesya Raisya itu. Demi mendengar jawaban itu, mata bullet Ashila bertambah bullet. Ia pun melirik Zora yang mulai bad mood dengan suasana rapat.
              “Serius neh? Gue kan belum ngambil hasil wawancara Gue ama Rizq”
              Ntar Lo ambil, paling juga dia udah selesai ngejawabnya, tapi itu kalau Lo nggak balas dendam dengan 50 pertanyaan….”
              “Gue mah nggak kejam non!” greget Ashila. Zora terkikik geli.
Begitu rapat usai, tanpa menyempatkan berbicara dengan Zora yang kelihatan lega dengan berakhirnya rapat, Ashila segera menuju lapangan basket untuk mencari sosok Rizq, ingin mengambil hasil wawancaranya. Setibanya ia dilapangan basket yang memang disana lah Rizq and the gank latihan, Ashila langsung menuju titik koordinatnya. Rizq Fahreza al-Faqih!
              “Lo butuh Gue?” sapanya dengan embun diwajah juga badannya. Membawa bola pada tangan kirinya. Wajah kearab-araban yang dikucuri keringat itu pun terlihat amazing tertimpa sinar matahari yang masuk dari celah dedaunan.
              “Terpaksa sih…”
              “Hm, mengenai hasil dari wawancara itu, jawabannya ada pada Lo. Jika Lo menolak tantangan Gue, hasil wawancaranya nggak akan keluar, namun jika Lo setuju, Gue akan berikan, itu  pun jika Lo menang dari Gue.”
              “Hah? Tantangan? Emang apa hubungannya dengan hasil wawancara tu?” sentak Ashila.
              “Hubungannya jelas! Bulletin RG nggak akan terbit kalau hasil wawancara Gue belum keluar bukan?” senyumnya lebar. Ashila mengigit bibirnya keras. “ Nih orang benar-benar deh! Pake analisis yang benar lagi!” ngedumel Ashila, berfikir sejenak. Akhirnya….
              “Apa? Soal lagi?” Tantang Ashila.
              Rizq tersenyum sebelum menjawab. “ Basket!” jawabnya sportif.
GLEGH!
              Ashila tersentak kuat. “Benar-benar apes Gue” bisiknya. Ashila terdiam sejenak, berfikir segala kemungkinannya, sampai pada akhirnya ia  mengangguk yakin.
              “Oke! Kapan pertandingannya?”
              “Rabu, di jam olahraga!”
              “Oke!”
              “Lo nggak butuh saksi?”
              “Cukup Allah yang menjadi saksi Gue!” yakin Ashila, mulai meninggalkan lapangan, berfikir trik apa yang bisa mengalahkan makhluq langka itu. Mengingat basket, sentak Ashila terlempar pada masa SMP, dimana dirinya menjadi kapten basket sekolah, yang dari sana lah, ia terpaksa istirahat dari dunia basket seutuhnya.
              Lomba basket antar SMP negeri dilakukan di sekolah khatulistiwa. Maka dengan enam anggotanya, Ashila mempersiapkan semua dengan persiapan yang matang. Tiada hari tanpa latihan dan breafing, hingga Ashila tak lagi memerhatikan kondisi fisiknya. Ia drop  dengan cidera pada pergelangan kakinya. Ashila keluar dari tim basket sekolah karenanya, juga karena Ashila tak ingin Bunda bersedih kembali dengan apa yang bisa menimpanya. Dan sekarang, apa itu bisa kembali ia pertahankan? Wajah bunda pun terbayang jelas….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar