Ada
yang lucu hari ini saat pembelajaran bahasa di kelasku yang berlangsung seru,
saat membahas tentang sebuah film yang katanya di ambil dari kisah nyata kota
Balikpapan.
“Ini
kotaku..” Kata seorang siswa….
“Ih
kok bisa ya? Film seperti itu menjadi film perdana kota ini?”
Tidak
ada yang salah dari komentar siswaku, diruang bahasaku. Mereka sedang belajar
mengkritisi sesuatu yang dilihat dari sudut pandang moral/etika. Sebab karena
kacamata mereka seorang siswa maka wajar saat mereka menyampaikan kekecewaannya
atas film ini. Film yang bukan mengangkat sisi manfaat bagi negeri, tapi malah
mengangkat sisi “hitam” dari sebuah permasalahan-sebab-musabab- masalah.
Saat
ini negeri kita sudah capek dibully
oleh masalah-masalah yang muncul di masa pemerintahan kali ini yang berimbas
pada rakyat bahkan pelajar kita, maka kehadiran film ini disaat emosi rakyat
belum selesai bukanlah solusi. Kalau film ini memuat sesuatu yang heroic, tentang ajakan menjadi
remaja-masyarakat-pemuda yang berguna, penuh manfaat, maka bolehlah sebagai
hiburan, penawar dahaga dari tumpukan masalah negeri yang belum juga tutup buku
atau menyampaikan kisahnya dengan happy
ending.
Tentang
film ini sudahku dengar gaungnya beberapa bulan lalu, saat beberapa bagian
masyarakat Balikpapan menyampaikan boikotnya untuk film ini. Namun ternyata
apalah artinya sebuah kata boikot, saat hanya sebagian orang yang menolaknya,
maka jika hanya sejumlah siswa saja yang menyuarakan keberatannya, jika
pemerintah tidak mengambil peran, maka biarlah lisan dan fikir mereka yang
melakukannya. Sebuah hadits abadi hingga kini menyampaikan…..”…Jika kemungkaran tidak dapat dicegah dengan
tangan/perbuatan/tindakan, maka cukuplah kalian/kita semua menolaknya dengan
hati kita….”
“Serius
itu, judulnya bidadari terakhir?” Siswaku yang cerdas itu, bertanya demikian. Aku
menarik senyum. Mencerna pertanyaan sederhana miliknya.
“Bidadari
untuk apa dan siapa?”
Apa
ada yang salah dengan pertanyaan di atas? Tidak sama sekali!! Sebab latar
belakang film ini menyampaikan tema yang sudah salah bagi pikiran mereka “PSK!”
Ini
hanya obrolan ringan jeda istirahat di ruang kelas Bahasa milikku. Penting bagi
seorang pendidik menyampaikan informasi pada generasi hal-hal baru yang dapat
menjadi pembanding mereka. Tapi, saya
menyakini saat mereka terbiasa untuk dijadikan “teman sharing” maka mereka akan belajar bagaimana menyikapi
sesuatu dengan kebijaksanaan yang mereka miliki.
Hari
ini akhirnya cukup membuatku menyusuri langkah dengan ringan sepanjang jalan
bebatuan kreasi siswaku. Pertanyaan yang kupahami maknanya “Bidadari?” bukannya
bidadari adalah kata yang bermakna positif dan patut disandingkan bagi
wanita-wanita suci yang menjaga harga diri dan martabatnya? Bukan sebaliknya? Inilah
yang pada akhirnya dapat kuramu dalam pikirku. Inilah (mungkin) maksud siswa
cerdasku di ruangkelasku.
@catatanpagiku_11Sept2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar