Karena Cinta tak Melupakanmu.. (1)
SATU
Ini hari keempat aku membawanya ke
tempat ini setiap ba’da subuh. Gelap masih menggantung di langit. Mendung
nampaknya ingin mendahului mentari. Bunyi guntur dan kilat memecah pagi. Udara
basah, rumput basah. Hatiku juga basah. Dan mataku sudah mengalirkan puluhan bulir
bening basah.
Aku, Bayu Prasetya.
Suami
dari perempuan cantik yang berjalan dengan pandangan kosong di sampingku.
Nirwana Wangi namanya. Dua tahun lalu aku menikahinya. Sejak itu dia memintaku
memanggilnya Cinta. Dan cinta pula yang mengikat kami.
Huf….
Tapi
setelah vonis dokter enam bulan lalu, masih kuatkah ikatan cinta kami? Aku
sedikit meragukan semua, meskipun sebagian hatiku enggan untuk menyuarakannya.
Apa gunanya cinta, jika kenangan tentangnya seperti lenyap tanpa bekas? Semua
tak seindah dulu, tak seindah saat ia tertawa lepas, menggodaku, memanggilku
dengan panggilan sayang seperti yang aku lakukan padanya. Tapi, melihatnya aku
meyakini bahwa aku dipilih oleh Allah swt mendampinginya, mungkin untuk menjadi
lelaki hebat baginya. Sebuah scenario yang sama sekali tak pernah terduga oleh
siapapun. Dan aku mencoba menyakininya dengan kekuatan bismillah.
Dulu aku adalah tipe lelaki tegar,
macho kata orang. Seingatku setelah akil baligh hanya dua kali aku menangis.
Saat mamaku meninggal, dan saat aku selesai membaca ijab qabul. Selain itu aku
selalu bisa menutup lubang airmataku. Meski dada dan hatiku robek, meski pusat
mata air jiwa itu membuncah ingin keluar aku tetap bisa mengeringkan tangisku.
Tapi sekarang setiap saat adalah airmata. Setiap melihatnya adalah tangis. Ya,
kini aku adalah lelaki dengan tangisan. Tangisan adalah tumpahan duka sekaligus
hiburanku. Tangisan yang mungkin tak akan hilang dari hatiku.
Seperti
Cintaku, aku berjanji aku tak akan kalah. Meski Alzheimer keparat itu memakan
dan mengunyah ngunyah ingatannya tentangku, aku akan selalu menuliskan kembali
cinta kami dalam tiap lembar memorinya. Walaupun terhapus lagi aku akan selalu
siap menuliskannya lagi,..lagi… dan lagi.
***
Aku baru saja silaturahmi ke rumah
Ustadz Mukhlis saat ponselku berdering. Dari Ustadz Rukman. Beliau adalah
panitia Pernikahan Mubarakah di Pesantren ini, memintaku untuk menengok
calon,..eh istriku. Katanya ada sesuatu yang memberikan harapan.
Ah semoga saja tentang Cinta.
Cinta memang sedang berada di asrama
putri bersama suster Rita yang mengurusnya. Aku sudah meminta kesediaan panitia
dan pengurus pesantren untuk membiarkan Cinta seolah juga calon mempelai putri.
Seperti dulu saat kami di takdirkanNya berjodoh dalam proses pernikahan mubarakah.
Aku ingin dia kembali merasakan debar haru bercampur pasrah. Cintaku dulu
adalah pilihan terbaik dari Allah. Seorang santri yatim piatu yang sejak kelas
empat SD sudah dititipkan kerabatnya ke Pesantren.
Keluarga
besarku agak berat ketika aku memilih jodoh dan pernikahanku di tempat ini.
Kata mereka seperti tidak laku saja. Padahal apa yang tidak bisa keluargaku
beli, seorang perempuan sekalipun bisa dengan mudah mereka dapatkan sesuai
dengan kriteria dan selera mereka. Tapi, tekadku sudah bulat untuk bisa
menikahi seorang santri. Setelah melalui serangkaian pembekalan khusus untuk
para calon pengantin, akhirnya hari yang menegangkan itu datang juga.
Hari
pernikahan kami di pertengahan Desember 2000. Satu hari menjelang akad, aku
baru tahu sedikit biodata tentang calon istriku. Aku diberikan panitia sedikit
keleluasaan untuk memilih beberapa kriteria, mungkin karena aku bukan santri.
Tapi aku menolak. Aku benar benar tak ingin melibatkan seleraku. Aku hanya
ingin pilihan Allah yang terbaik lewat perjodohan ini dan itu yang akan menjadi
istriku.
Aku masih mengingatnya dengan jelas.
Hari itu Sabtu 15 desember aku sempurna mengucapkan ijab qabul untuk seorang
Nirwana Wangi. Kurasakan hatiku meleleh ketika ratusan jama’ah mengucap “Barakallahu Alaik”.
Menggema di ruangan masjid Agung Ar Riyadh. Tak banyak famili yang datang
menghadiri hari istimewaku. Cuma Vera
sepupuku yang diutus papa menemaniku. Dan dia sedang berada di tempat
pengantin putri yang terpisah jauh dari masjid ini. Tak apa, tak ada seorangpun
yang bisa merusak hari bahagiaku.
Nirwana Wangi.
Hm…
Seperti apakah dirimu?! Seperti apakah
wajahmu?!
Nama
itu terus terputar dalam benakku, diikuti pertanyaan tentangnya.
“Mas
Bayu masih mau ngulang ijab qabul kembali, ya?” celoteh Ustadz Zainuddin
menggodaku. Jama’ah geger tertawa. Ternyata aku tak menyadari jika aku melamun
beberapa menit, hingga menjadi perhatian sebagian jamaah. Menyadari bahwa
giliranku telah selesai, aku harus segera memberi tempat dan mundur ke belakang
untuk bergantian dengan calon mempelai pria yang lain. Subhanallah,…aku sudah
resmi menjadi seorang suami. Bantu aku ya
Rabbi menjadi imam bagi rumah tangga baruku
***
“Gimana,
akh?” Tepukan sedikit keras itu kembali membuatku tersentak. Pukulan yang sudah
begitu akrab, dari sahabatku Farhan. Ia lelaki pertama yang kutemui, pertama
menyapaku dengan pede, meskipun mungkin dimatanya aku terlihat asing karena
baru muncul pertama kalinya. Ia yang mengenalkan aku akan danau yang setiap
sorenya dikitari burung wallet, cerita tentang akhwat di balik pagar kayu
setinggi kurang lebih 4 meter, dan orang pertama yang mengajakku berenang
didinginnya air danau sambil duduk memandangi senja di tanggul yang istimewa.
“Kok
bengong?” Senggolnya pada lenganku yang memegang mahar. Ia tertawa lepas,
hingga bahunya terguncang. Pada gengaman tangannya, ia juga memegang mahar
dengan pita yang sama. Hijau!
“Kok
pitanya hijau? Nggak hitam?” Godaku.
“Pernah
lihat hari-hari berkabungnya orang nasrani?” tanyanya. Aku mencoba mengingat,
lalu kepalaku mengangguk sebagai tanda persetujuan.
“Kenapa
bukan hijau?”
“Ya
aneh..” jawabku. Ia tertawa kembali.
“Tuh,
tahu!. Hijau itu warna yang disukai Rasulullah Saw. Filosofinya indah. Matapun
melihatnya pasti suka, tenang, dan segar. Nah, kalau hitam? Apaan coba? Kirain
kitanya malah mendoakan yang nggak-nggak..” Jawabnya panjang, yang terkesan
berlebihan pada pikiranku.
Hening…
Untuk
sekian waktu, hening menjadi bahasa hati bagi kami. Saat dimana kami melibatkan
hati, berdialog padaNya agar apa yang kami lalui dan putuskan hari ini berbuah
kebaikan terus menerus.
“Deg-deg
an?” Liriknya tiba-tiba. Aku menghembuskan nafas. Mencoba memejamkan mata,
meraba hati apakah benar ia berdegup kencang. Degup yang mungkin dirasakan
Farhan, hingga ia bertanya padaku. Dan aku menemukannya, saat aku mengeja
namanya pelan.
Nirwana wangi..
Komentar
Posting Komentar