Sabtu, 22 Agustus 2015

Karena Cinta tak Melupakanmu.. (1)

SATU
          Ini hari keempat aku membawanya ke tempat ini setiap ba’da subuh. Gelap masih menggantung di langit. Mendung nampaknya ingin mendahului mentari. Bunyi guntur dan kilat memecah pagi. Udara basah, rumput basah. Hatiku juga basah. Dan mataku sudah mengalirkan puluhan bulir bening basah.
          Aku, Bayu Prasetya.
Suami dari perempuan cantik yang berjalan dengan pandangan kosong di sampingku. Nirwana Wangi namanya. Dua tahun lalu aku menikahinya. Sejak itu dia memintaku memanggilnya Cinta. Dan cinta pula yang mengikat kami.
Huf….
Tapi setelah vonis dokter enam bulan lalu, masih kuatkah ikatan cinta kami? Aku sedikit meragukan semua, meskipun sebagian hatiku enggan untuk menyuarakannya. Apa gunanya cinta, jika kenangan tentangnya seperti lenyap tanpa bekas? Semua tak seindah dulu, tak seindah saat ia tertawa lepas, menggodaku, memanggilku dengan panggilan sayang seperti yang aku lakukan padanya. Tapi, melihatnya aku meyakini bahwa aku dipilih oleh Allah swt mendampinginya, mungkin untuk menjadi lelaki hebat baginya. Sebuah scenario yang sama sekali tak pernah terduga oleh siapapun. Dan aku mencoba menyakininya dengan kekuatan bismillah.
          Dulu aku adalah tipe lelaki tegar, macho kata orang. Seingatku setelah akil baligh hanya dua kali aku menangis. Saat mamaku meninggal, dan saat aku selesai membaca ijab qabul. Selain itu aku selalu bisa menutup lubang airmataku. Meski dada dan hatiku robek, meski pusat mata air jiwa itu membuncah ingin keluar aku tetap bisa mengeringkan tangisku. Tapi sekarang setiap saat adalah airmata. Setiap melihatnya adalah tangis. Ya, kini aku adalah lelaki dengan tangisan. Tangisan adalah tumpahan duka sekaligus hiburanku. Tangisan yang mungkin tak akan hilang dari hatiku.
Seperti Cintaku, aku berjanji aku tak akan kalah. Meski Alzheimer keparat itu memakan dan mengunyah ngunyah ingatannya tentangku, aku akan selalu menuliskan kembali cinta kami dalam tiap lembar memorinya. Walaupun terhapus lagi aku akan selalu siap menuliskannya lagi,..lagi… dan lagi.
***
          Aku baru saja silaturahmi ke rumah Ustadz Mukhlis saat ponselku berdering. Dari Ustadz Rukman. Beliau adalah panitia Pernikahan Mubarakah di Pesantren ini, memintaku untuk menengok calon,..eh istriku. Katanya ada sesuatu yang memberikan harapan.
Ah semoga saja tentang Cinta.  
          Cinta memang sedang berada di asrama putri bersama suster Rita yang mengurusnya. Aku sudah meminta kesediaan panitia dan pengurus pesantren untuk membiarkan Cinta seolah juga calon mempelai putri. Seperti dulu saat kami di takdirkanNya berjodoh dalam proses pernikahan mubarakah. Aku ingin dia kembali merasakan debar haru bercampur pasrah. Cintaku dulu adalah pilihan terbaik dari Allah. Seorang santri yatim piatu yang sejak kelas empat SD sudah dititipkan kerabatnya ke Pesantren.
Keluarga besarku agak berat ketika aku memilih jodoh dan pernikahanku di tempat ini. Kata mereka seperti tidak laku saja. Padahal apa yang tidak bisa keluargaku beli, seorang perempuan sekalipun bisa dengan mudah mereka dapatkan sesuai dengan kriteria dan selera mereka. Tapi, tekadku sudah bulat untuk bisa menikahi seorang santri. Setelah melalui serangkaian pembekalan khusus untuk para calon pengantin, akhirnya hari yang menegangkan itu datang juga.
Hari pernikahan kami di pertengahan Desember 2000. Satu hari menjelang akad, aku baru tahu sedikit biodata tentang calon istriku. Aku diberikan panitia sedikit keleluasaan untuk memilih beberapa kriteria, mungkin karena aku bukan santri. Tapi aku menolak. Aku benar benar tak ingin melibatkan seleraku. Aku hanya ingin pilihan Allah yang terbaik lewat perjodohan ini dan itu yang akan menjadi istriku.
          Aku masih mengingatnya dengan jelas. Hari itu Sabtu 15 desember aku sempurna mengucapkan ijab qabul untuk seorang Nirwana Wangi. Kurasakan hatiku meleleh ketika  ratusan jama’ah mengucap “Barakallahu Alaik”. Menggema di ruangan masjid Agung Ar Riyadh. Tak banyak famili yang datang menghadiri hari istimewaku. Cuma Vera  sepupuku yang diutus papa menemaniku. Dan dia sedang berada di tempat pengantin putri yang terpisah jauh dari masjid ini. Tak apa, tak ada seorangpun yang bisa merusak hari bahagiaku.
Nirwana Wangi.
Hm… Seperti apakah dirimu?! Seperti apakah wajahmu?!
Nama itu terus terputar dalam benakku, diikuti pertanyaan tentangnya.
“Mas Bayu masih mau ngulang ijab qabul kembali, ya?” celoteh Ustadz Zainuddin menggodaku. Jama’ah geger tertawa. Ternyata aku tak menyadari jika aku melamun beberapa menit, hingga menjadi perhatian sebagian jamaah. Menyadari bahwa giliranku telah selesai, aku harus segera memberi tempat dan mundur ke belakang untuk bergantian dengan calon mempelai pria yang lain. Subhanallah,…aku sudah resmi menjadi seorang suami. Bantu aku ya Rabbi menjadi imam bagi rumah tangga baruku
***
“Gimana, akh?” Tepukan sedikit keras itu kembali membuatku tersentak. Pukulan yang sudah begitu akrab, dari sahabatku Farhan. Ia lelaki pertama yang kutemui, pertama menyapaku dengan pede, meskipun mungkin dimatanya aku terlihat asing karena baru muncul pertama kalinya. Ia yang mengenalkan aku akan danau yang setiap sorenya dikitari burung wallet, cerita tentang akhwat di balik pagar kayu setinggi kurang lebih 4 meter, dan orang pertama yang mengajakku berenang didinginnya air danau sambil duduk memandangi senja di tanggul yang istimewa.
“Kok bengong?” Senggolnya pada lenganku yang memegang mahar. Ia tertawa lepas, hingga bahunya terguncang. Pada gengaman tangannya, ia juga memegang mahar dengan pita yang sama. Hijau!
“Kok pitanya hijau? Nggak hitam?” Godaku.
“Pernah lihat hari-hari berkabungnya orang nasrani?” tanyanya. Aku mencoba mengingat, lalu kepalaku mengangguk sebagai tanda persetujuan.
“Kenapa bukan hijau?”
“Ya aneh..” jawabku. Ia tertawa kembali.
“Tuh, tahu!. Hijau itu warna yang disukai Rasulullah Saw. Filosofinya indah. Matapun melihatnya pasti suka, tenang, dan segar. Nah, kalau hitam? Apaan coba? Kirain kitanya malah mendoakan yang nggak-nggak..” Jawabnya panjang, yang terkesan berlebihan pada pikiranku.
Hening…
Untuk sekian waktu, hening menjadi bahasa hati bagi kami. Saat dimana kami melibatkan hati, berdialog padaNya agar apa yang kami lalui dan putuskan hari ini berbuah kebaikan terus menerus.
“Deg-deg an?” Liriknya tiba-tiba. Aku menghembuskan nafas. Mencoba memejamkan mata, meraba hati apakah benar ia berdegup kencang. Degup yang mungkin dirasakan Farhan, hingga ia bertanya padaku. Dan aku menemukannya, saat aku mengeja namanya pelan.
Nirwana wangi..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar