Karena Cinta tak Melupakanmu (4)
EMPAT
“Ki-ta
di-ma-na?”
Aku
menatap wajah Cinta, mencoba menarik senyum meski hambar. Bagaimanapun juga
pertanyaannya barusan menunjukkan bahwa alzemir telah membuatnya bingung,
bahkan lupa kembali dalam bilangan menit.
Aku
memapahnya memasuki pekarangan rumah mungil, sederhana milik kami. Masih terasa
kenangan disetiap sudut rumah ini, kenangan yang hanya bias menjadi reminder
bagiku, tidak bagi Cinta.
Tes!
Aku
sukses membuat cinta menoleh, menatap airnmataku yang jatuh di atas punggung
tangannya yang bersih. Bibirnya sedikit bergerak, dengan mata gemintangnya yang
sorotnya mulai redup.
Aku
cengeng bukan?
“A-ir?”
Tanyanya pelan.
Cepat
aku menghapus airmata yang menggenangi hingga mencipta kabur pada pandanganku.
Aku mencoba mengalihkannya pada pertanyaannya tadi.
“Ini
rumah kita. Ada aku juga kamu…”
Nafas
cinta berhembus keluar, melewati sisi kanan kepalaku. Rambutnku sedikit
bereaksi karenanya.
“Mas,
biar saya yang bawa…”Suster Rita muncul, memberikan ruang bagiku, menumpahkan
semua airmata di musolla kompleks yang tak jauh dari rumah. Disanalah aku
bersujud memohon kekuatan agar pundakku tetap mampu memegang amanah ini,
menemani cinta hingga nanti, merawat cinta kami hingga nanti.
“Saya
tahu anda akan lelah nantinya. Tapi mereka, pasien alzemeir butuh orang hebat
untuk mengerti keadaan mereka, kondisi mereka. Tetap buatlah reminder setiap
hari buat ibu Nirwana Wangi..”
Harapan…
Inilah yang kubawa keluar musolla
dengan utuh. Harapan yang kugantungkan hanya padaNya untuk semua hal yang akan
kuhadapi ke depan. Tentang kesabaran yang wajib kumiliki agar tetap selalu
dapat mendampingi cinta.
“Mas, Cinta sudah tidur”
“Terimakasih Sus..”
Suster
Rita pamit kebelakang. Aku melafal basmalah, masuk ke kamar kami. Suster Rita
benar. Cinta sedang terlelap dengan wajah babynya. Tak kutemukan ada penyakit
dari raut wajahnya. Dia masih seperti cinta yang dulu. Menggemaskan dan selalu
kantung rindu buatnya terisi penuh. Kukecup keningnya dengan bismillah, sebelum
akhirnya aku meninggalkannya untuk menemui dokter Ehsan seperti janjiku padanya
tadi.
Kutitipkan
cinta pada Suster Rita untuk tak jauh darinya, agar saat ia terbangun ia tak
panic hingga terjadi sesuatu padanya.
“Sus, sediakan buah buat cinta ya.
Seperti biasa dia suka apel.”
***
“Obat yang saya berikan rutin
diberikan?” Dokter Ehsan bertanya padaku, sesaat setelah beliau menunjukkan
hasil diagnose akhir cinta.
“Ya dok..”
“Fungsi obat itu hanya menghambat
lajunya perkembangan alzemeir. Kemungkinan untuk normal kembali sedikit
kemungkinannya untuk bahasa kedokteran. Tapi untuk bahasa keyakinan sesuai
pemahaman kita, tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk menyembuhkan segala
penyakit. Allah yang memberi, insyaallah jika Allah berkenan Allah juga yang
akan mengangkatnya” Dokter Ehsan memberikanku motivasi panjang pada sharing seasion kali ini.
“Bagaimana dengan anda?” aku menghela
nafas, membalas pertanyaan dokter Ehsan. “Alhamdulillah stabil dok..”
“Itu penting! Jangan sampai pasien
alzemeir panic atau ketakutan. Sebisanya tetap tenang menghadapi mereka. ini
berat, namun saya yakin ini amanah buat anda.., hari ini saya berikan obat Rivastigne, galantamine, dan donepezil[1] berikan sesuai yang saya sarankan..”
“Dok, kata suster Rita saat cinta di
asrama dia sering sekali mengalami insomnia. Katanya efek samping obat-obat
ini. Apa itu tidak menimbulkan bahaya pada pasien?”
“Seperti yang saya bilang, obat ini
menghambat lajunya saja. Sudah pasti punya efek samping. Selain insomnia, ada
saat dimana pasien akan terdengar mengeluh sakit kepala, kram pada otot,
mungkin juga diare, mual, dan rasa lelah yang panjang..”
“Sebenarnya yang ampuh bukan obat
ini.”
Alisku
bertaut, mata elangku lurus menatap dokter Ehsan. Mungkinkah kekinian telah menemukan obat baru yang lebih baik? Pikirku.
“Yang ampuh itu, do`a anda dan
keluarga…”
Jawaban dokter Ehsan kuaminkan. Sebab
memang apa yang beliau katakana semua benar. Saatnya bergantung pada manusia
diturunkan kadarnya, lalu naikkan kadar berharap padaNya.
“Oh ya, dok…untuk shalat cinta tak
pernah lupa bahkan akan waktu-waktunya. Dan satu lagi…dia akan mengingatku
cepat saat mendengar satu surah yang pernah kami baca..” aku menyampaikan semua
yang nyaris terlupa pada dokter Ehsan. Ada gema takbir pada suara dokter Ehsan
saat aku menyampaikannya.
“Ini bukan karena obat…ini karena
Allah! Kerjanya Allah. Bukan obat-obatan ini! Jadi, tugas anda saat ini
mengawasi, mendampingi istri”
Dokter
Ehsan menjabat tanganku akrab, sebelum aku beralih menuju pulang. Hari ini dan
esok, cinta adalah prioritas bagiku, amanah bagiku. Aku melangkah menuju parker
sambil mengaktifkan HP yang sengaja ku nonaktifkan selama sharing. Saat kubuka,
SMS ata nama Suster Rita muncul pertama kali.
Mas Bayu, ibu datang
Membacanya
aku yakin inilah masa ujianku berikutnya.
[1] biasanya
digunakan untuk menangani penyakit Alzheimer dengan tingkat gejala awal hingga
menengah
Komentar
Posting Komentar