Kamis, 27 Agustus 2015

Karena Cinta tak Melupakanmu (4)



EMPAT
“Ki-ta di-ma-na?”
Aku menatap wajah Cinta, mencoba menarik senyum meski hambar. Bagaimanapun juga pertanyaannya barusan menunjukkan bahwa alzemir telah membuatnya bingung, bahkan lupa kembali dalam bilangan menit.
Aku memapahnya memasuki pekarangan rumah mungil, sederhana milik kami. Masih terasa kenangan disetiap sudut rumah ini, kenangan yang hanya bias menjadi reminder bagiku, tidak bagi Cinta.
Tes!
Aku sukses membuat cinta menoleh, menatap airnmataku yang jatuh di atas punggung tangannya yang bersih. Bibirnya sedikit bergerak, dengan mata gemintangnya yang sorotnya mulai redup.
Aku cengeng bukan?
“A-ir?” Tanyanya pelan.
Cepat aku menghapus airmata yang menggenangi hingga mencipta kabur pada pandanganku. Aku mencoba mengalihkannya pada pertanyaannya tadi.
“Ini rumah kita. Ada aku juga kamu…”
Nafas cinta berhembus keluar, melewati sisi kanan kepalaku. Rambutnku sedikit bereaksi karenanya.
“Mas, biar saya yang bawa…”Suster Rita muncul, memberikan ruang bagiku, menumpahkan semua airmata di musolla kompleks yang tak jauh dari rumah. Disanalah aku bersujud memohon kekuatan agar pundakku tetap mampu memegang amanah ini, menemani cinta hingga nanti, merawat cinta kami hingga nanti.
“Saya tahu anda akan lelah nantinya. Tapi mereka, pasien alzemeir butuh orang hebat untuk mengerti keadaan mereka, kondisi mereka. Tetap buatlah reminder setiap hari buat ibu Nirwana Wangi..”
          Harapan…
          Inilah yang kubawa keluar musolla dengan utuh. Harapan yang kugantungkan hanya padaNya untuk semua hal yang akan kuhadapi ke depan. Tentang kesabaran yang wajib kumiliki agar tetap selalu dapat mendampingi cinta.
          “Mas, Cinta sudah tidur”
          “Terimakasih Sus..”
Suster Rita pamit kebelakang. Aku melafal basmalah, masuk ke kamar kami. Suster Rita benar. Cinta sedang terlelap dengan wajah babynya. Tak kutemukan ada penyakit dari raut wajahnya. Dia masih seperti cinta yang dulu. Menggemaskan dan selalu kantung rindu buatnya terisi penuh. Kukecup keningnya dengan bismillah, sebelum akhirnya aku meninggalkannya untuk menemui dokter Ehsan seperti janjiku padanya tadi.
Kutitipkan cinta pada Suster Rita untuk tak jauh darinya, agar saat ia terbangun ia tak panic hingga terjadi sesuatu padanya.
          “Sus, sediakan buah buat cinta ya. Seperti biasa dia suka apel.”
***
          “Obat yang saya berikan rutin diberikan?” Dokter Ehsan bertanya padaku, sesaat setelah beliau menunjukkan hasil diagnose akhir cinta.
          “Ya dok..”
          “Fungsi obat itu hanya menghambat lajunya perkembangan alzemeir. Kemungkinan untuk normal kembali sedikit kemungkinannya untuk bahasa kedokteran. Tapi untuk bahasa keyakinan sesuai pemahaman kita, tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk menyembuhkan segala penyakit. Allah yang memberi, insyaallah jika Allah berkenan Allah juga yang akan mengangkatnya” Dokter Ehsan memberikanku motivasi panjang pada sharing seasion kali ini.
          “Bagaimana dengan anda?” aku menghela nafas, membalas pertanyaan dokter Ehsan. “Alhamdulillah stabil dok..”
          “Itu penting! Jangan sampai pasien alzemeir panic atau ketakutan. Sebisanya tetap tenang menghadapi mereka. ini berat, namun saya yakin ini amanah buat anda.., hari ini saya berikan obat Rivastigne, galantamine, dan donepezil[1] berikan sesuai yang saya sarankan..”
          “Dok, kata suster Rita saat cinta di asrama dia sering sekali mengalami insomnia. Katanya efek samping obat-obat ini. Apa itu tidak menimbulkan bahaya pada pasien?”
          “Seperti yang saya bilang, obat ini menghambat lajunya saja. Sudah pasti punya efek samping. Selain insomnia, ada saat dimana pasien akan terdengar mengeluh sakit kepala, kram pada otot, mungkin juga diare, mual, dan rasa lelah yang panjang..”
          “Sebenarnya yang ampuh bukan obat ini.”
Alisku bertaut, mata elangku lurus menatap dokter Ehsan. Mungkinkah kekinian telah menemukan obat baru yang lebih baik? Pikirku.
          “Yang ampuh itu, do`a anda dan keluarga…”
          Jawaban dokter Ehsan kuaminkan. Sebab memang apa yang beliau katakana semua benar. Saatnya bergantung pada manusia diturunkan kadarnya, lalu naikkan kadar berharap padaNya.
          “Oh ya, dok…untuk shalat cinta tak pernah lupa bahkan akan waktu-waktunya. Dan satu lagi…dia akan mengingatku cepat saat mendengar satu surah yang pernah kami baca..” aku menyampaikan semua yang nyaris terlupa pada dokter Ehsan. Ada gema takbir pada suara dokter Ehsan saat aku menyampaikannya.
          “Ini bukan karena obat…ini karena Allah! Kerjanya Allah. Bukan obat-obatan ini! Jadi, tugas anda saat ini mengawasi, mendampingi istri”
Dokter Ehsan menjabat tanganku akrab, sebelum aku beralih menuju pulang. Hari ini dan esok, cinta adalah prioritas bagiku, amanah bagiku. Aku melangkah menuju parker sambil mengaktifkan HP yang sengaja ku nonaktifkan selama sharing. Saat kubuka, SMS ata nama Suster Rita muncul pertama kali.
Mas Bayu, ibu datang
Membacanya aku yakin inilah masa ujianku berikutnya.


[1] biasanya digunakan untuk menangani penyakit Alzheimer dengan tingkat gejala awal hingga menengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar