Rabu, 26 Agustus 2015

Rindu untuk Teteh _ mengenang sahabat




Apa kabar Teteh?
          Ahfa memandang lurus pada pigura mungil di atas buffet kamarnya dengan mata basah. Pertanyaan yang ia sampaikan tak terjawab dan memang tak akan dijawab sampai kapanpun juga. Ahfa menyadari itu. Teteh tak akan menjawabnya meskipun Ahfa menyuarakannya lantang selantang-lantangnya.
Pada pigura itu, teteh terlihat bahagia dengan senyumnya yang mengukir sempurna. Teteh dengan keceriannya yang masih begitu lekat saat masih bersama, duduk bersampingan di bangku kuliah. Ada tetesan bening airmata yang kini jatuh tepat di atas punggung tangan Ahfa.
“Oke, besok kita akan mencetak bulletin kita, perdana!” Matanya dipenuhi gemintang semangat. Tangannya terayun, mengepal yakin. Ahfa dan tim bulletin yang baru dibentuk beberapa pekan lalu menjadi lebih semangat dari sebelumnya. Ada gelombang keyakinan yang tak biasa, yang berhasil disuntikkan oleh Teteh. Malam ini, di bawah lampu yang remang.
“Semua rubrik sudah, Teh?” Kak Nurul yang begitu menyukai kisah heroik angkat suara. Teteh mengangguk.
“Serial sudah, juga?” Kali ini Kak Nurul melirik Kak Cahaya yang memang begitu suka menulis kisah serial penuh misteri.
“Alhamdulillah…” Kak Cahaya memberikan jawaban dengan senyumnya.
“Ahfa, cerbung kamu?”
“Alhamdulillah, siap!” Seperti bawahan pada komandannya Ahfa memberikan jawaban.
“Berarti malam ini, kita lembur! Cetak bulletin dan besok siap diedarkan!” Teteh kembali bersuara. Kali ini ia sendiri yang turun tangan, mencetak juga mengedit letak dari bulletin. Kami semua koor menyetujuinya. Jadilah malam ini Ahfa dan yang lainnya duduk serius di balik laptop dan printer yang siap mencetak bulletin sederhana yang lahir dari mimpi besar kami yang begitu semangat menunggu dan menanti respon bulletin saat sampai di tangan konsumen.
“Tanganku belepotan tinta, nih..” Teteh memandangi tangannya yang sudah dipenuhi tinta berwarna hitam pekat. Kami yang masih terjaga disampingnya tergelak. Lucu melihat ekspresinya. Meskipun tinta memenuhi tangannya yang manis itu, Teteh tetap tak kehilangan semangat. Sampai akhirnya bulletin sederhana kami telah selesai dicetak tepat jam 03.15 dini hari. Kami saling berpandangan, puas dengan kerjasama dan semangat yang berkobar pada dada kami.
“Alhamdulillah…” Koor kami bersamaan, merebahkan tubuh letih kami di atas lantai yang dingin. Satu tugas kami selesai, menanti tugas selanjutnya esok. Menyebarkan bulletin pada konsumen.
“Fa, gimana?”
Mendengar ketukan disusul sapaan di daun pintu, Ahfa cepat menghapus air matanya. Kenangan bersama Teteh pun sentak hilang, pergi.
Naila masuk dengan wajah senangnya. Begitu melihat gelagat Ahfa, Naila akhirnya bertanya juga dengan hati-hati, setelah lama mencari jeda yang tepat.
“Kenapa, Fa?”
“Kangen teman,..” Pendek Ahfa memberikan jawaban.
“Dia?” Tunjuknya pada pigura yang berisi 7 teman kuliah Ahfa. Ahfa mengangguk. Satu diantara ketujuh orang yang ada difoto itu adalah Teteh.
“Teman kamu yang setahun lalu kecelakaan, bukan?” Ahfa mengangguk.
Ahfa kecelakaan setahun lalu, saat ia sedang dalam perjalanan menuju khalaqah Ilmu. Ia meninggal dengan kandungannya yang berusia Sembilan bulan. Teteh memang telah pergi meninggalkan Afha dan yang lainnya. Namun teteh meninggalkan semangat yang besar pada semuanya, termasuk Ahfa. Ahfa mengenal Teteh dengan baik. Teteh pernah menyampaikan keinginannya untuk memperoleh syahid. Teteh pencinta nasyid tentang jihad Bosnia dan Palestina. Teteh sangat mencintai Al-Qur`an. Teteh sangat luar biasa.
“InsyaAllah beliau memperoleh inginnya..” Suara Naila kembali menyadarkan Ahfa. Ahfa memutar arah kepalanya pada Naila.
“Yah, InsyaAllah, Teteh memperoleh syahid..” Mata Ahfa benar-benar basah.
“Teh, Ahfa rindu Teteh…”
Pada hatinya yang basah, Ahfa menitipkan kerinduannya PadaNya, pada Dia yang lebih dahulu menjemput Teteh dengan inginnya.
Mengenang, saudaraku yang tercinta
Sang Ratu Syahadah yang berpulang pada 10 Juni 2013 hari Senin






Tidak ada komentar:

Posting Komentar