Rindu untuk Teteh _ mengenang sahabat
Apa kabar Teteh?
Ahfa memandang lurus pada pigura
mungil di atas buffet kamarnya dengan mata basah. Pertanyaan yang ia sampaikan
tak terjawab dan memang tak akan dijawab sampai kapanpun juga. Ahfa menyadari
itu. Teteh tak akan menjawabnya meskipun Ahfa menyuarakannya lantang
selantang-lantangnya.
Pada
pigura itu, teteh terlihat bahagia dengan senyumnya yang mengukir sempurna.
Teteh dengan keceriannya yang masih begitu lekat saat masih bersama, duduk
bersampingan di bangku kuliah. Ada tetesan bening airmata yang kini jatuh tepat
di atas punggung tangan Ahfa.
“Oke,
besok kita akan mencetak bulletin kita, perdana!” Matanya dipenuhi gemintang
semangat. Tangannya terayun, mengepal yakin. Ahfa dan tim bulletin yang baru
dibentuk beberapa pekan lalu menjadi lebih semangat dari sebelumnya. Ada
gelombang keyakinan yang tak biasa, yang berhasil disuntikkan oleh Teteh. Malam
ini, di bawah lampu yang remang.
“Semua
rubrik sudah, Teh?” Kak Nurul yang begitu menyukai kisah heroik angkat suara.
Teteh mengangguk.
“Serial
sudah, juga?” Kali ini Kak Nurul melirik Kak Cahaya yang memang begitu suka
menulis kisah serial penuh misteri.
“Alhamdulillah…”
Kak Cahaya memberikan jawaban dengan senyumnya.
“Ahfa,
cerbung kamu?”
“Alhamdulillah,
siap!” Seperti bawahan pada komandannya Ahfa memberikan jawaban.
“Berarti
malam ini, kita lembur! Cetak bulletin dan besok siap diedarkan!” Teteh kembali
bersuara. Kali ini ia sendiri yang turun tangan, mencetak juga mengedit letak
dari bulletin. Kami semua koor menyetujuinya. Jadilah malam ini Ahfa dan yang
lainnya duduk serius di balik laptop dan printer yang siap mencetak bulletin
sederhana yang lahir dari mimpi besar kami yang begitu semangat menunggu dan
menanti respon bulletin saat sampai di tangan konsumen.
“Tanganku
belepotan tinta, nih..” Teteh memandangi tangannya yang sudah dipenuhi tinta
berwarna hitam pekat. Kami yang masih terjaga disampingnya tergelak. Lucu melihat
ekspresinya. Meskipun tinta memenuhi tangannya yang manis itu, Teteh tetap tak
kehilangan semangat. Sampai akhirnya bulletin sederhana kami telah selesai
dicetak tepat jam 03.15 dini hari. Kami saling berpandangan, puas dengan
kerjasama dan semangat yang berkobar pada dada kami.
“Alhamdulillah…”
Koor kami bersamaan, merebahkan tubuh letih kami di atas lantai yang dingin.
Satu tugas kami selesai, menanti tugas selanjutnya esok. Menyebarkan bulletin
pada konsumen.
“Fa,
gimana?”
Mendengar
ketukan disusul sapaan di daun pintu, Ahfa cepat menghapus air matanya.
Kenangan bersama Teteh pun sentak hilang, pergi.
Naila
masuk dengan wajah senangnya. Begitu melihat gelagat Ahfa, Naila akhirnya
bertanya juga dengan hati-hati, setelah lama mencari jeda yang tepat.
“Kenapa,
Fa?”
“Kangen
teman,..” Pendek Ahfa memberikan jawaban.
“Dia?”
Tunjuknya pada pigura yang berisi 7 teman kuliah Ahfa. Ahfa mengangguk. Satu
diantara ketujuh orang yang ada difoto itu adalah Teteh.
“Teman
kamu yang setahun lalu kecelakaan, bukan?” Ahfa mengangguk.
Ahfa
kecelakaan setahun lalu, saat ia sedang dalam perjalanan menuju khalaqah Ilmu.
Ia meninggal dengan kandungannya yang berusia Sembilan bulan. Teteh memang
telah pergi meninggalkan Afha dan yang lainnya. Namun teteh meninggalkan
semangat yang besar pada semuanya, termasuk Ahfa. Ahfa mengenal Teteh dengan
baik. Teteh pernah menyampaikan keinginannya untuk memperoleh syahid. Teteh
pencinta nasyid tentang jihad Bosnia dan Palestina. Teteh sangat mencintai
Al-Qur`an. Teteh sangat luar biasa.
“InsyaAllah
beliau memperoleh inginnya..” Suara Naila kembali menyadarkan Ahfa. Ahfa
memutar arah kepalanya pada Naila.
“Yah,
InsyaAllah, Teteh memperoleh syahid..” Mata Ahfa benar-benar basah.
“Teh, Ahfa rindu Teteh…”
Pada
hatinya yang basah, Ahfa menitipkan kerinduannya PadaNya, pada Dia yang lebih
dahulu menjemput Teteh dengan inginnya.
Mengenang,
saudaraku yang tercinta
Sang
Ratu Syahadah yang berpulang pada 10 Juni 2013 hari Senin
Komentar
Posting Komentar