Sabtu, 22 Agustus 2015

Karena Cinta tak Melupakanmu...(2)



DUA
          Cuaca terbilang cerah saat aku berlari-lari kecil mencari ust Rukman. Menyusuri jalan setapak yang lumayan lebar, cukup untuk dilalui dua mobil, yang sebelah kanannya berdiri kokoh pagar kayu bercat cokelat tua sedikit berlumut karena usia. Aku memasuki pintu penghubung yang membatasi areal berpagar. Pada batang pohon yang menjulang tinggi tertulis sebuah pesan “AREAL KHUSUS AKHWAT” pada papan reklame ukuran sedang. Menandakan bahwa areal ini terlarang buat kalangan ikhwan. Tentunya bagi yang single.
          “Ust Rukmannya ada?” Aku bertanya pada seorang santri yang berdiri di depan pintu rumah ust Rukman. Ia memperhatikan aku sejenak, lalu hilang dibalik pintu. Mungkin ia memanggil ust Rukman. Husnuzzonku.
          “Keluar. Baru saja..” Ia muncul dengan berita yang membuat sebagian hatiku lemas.
          “Kearah mana?” Aku balik bertanya. Ia dengan jilbab pinknya menggelengkan kepala. Setelah mengucapkan terimakasih, aku segera memutar langkah. Belum juga langkahku hilang seutuhnya dari pagar itu, suster Rita memanggil namaku.
          “Mas Bayu!”
          Melihatnya aku merasa hatiku yang tadinya lemah kini kembali semangat. Suster Rita tergopoh-gopoh menghampiriku.
          “Kenapa, sus? Cinta kenapa?” Kejarku dengan kepala mencari-cari, dimanakah kiranya separuh jiwaku itu berada. Aku rindu senyumnya. Rindu!  Namun yang kutemui hanya wajah-wajah asing yang semakin banyak, keluar dari rumah ust Rukman. Dari sana, muncul Cinta dengan baju putih berkombinasi. Cantik! Subhanallah..aku merasa kembali jatuh cinta untuk kesekian kalinya, untuknya. Perasaan itu sama dan akan selalu sama meskipun penyakit itu melupakannya untuk mengeja namaku.
          “Cinta kenapa sus? Kali ini aku berbisik. Mataku tak lepas dari memandangnya yang melepas senyum indahnya.
          “Dia menyebut nama mas!” Suster Rita setengah berbisik.
          “Cinta, menyebut nama saya?” Aku memastikan. Suster Rita mengangguk yakin. Memutar tubuhnya. Kami pun memandang Nirwana yang melangkah anggun didampingi dua akhwat.
          “Kejadiannya?” Nyaris seperti detektif aku bertanya.
          “Sesaat setelah dia mendengar surah Ar-Rahman yang dibaca oleh akhwat disini..” Suster Rita menerangkan detailnya. Aku terperangah, dan Cinta yang semakin dekat kearahku.
          “Assalamu `alaikum, Cinta..” Aku menyapa, menyambut tangannya yang putih bersih. Cinta menarik senyumnya. Senyum yang aku rindukan akhir-akhir ini, saat terpisah atau tepatnya sengaja dipisahkan guna mereview kembali ingatannya yang hilang karena penyakit itu. Menghilangkan semua kenangan, semua moment berharga yang pernah ada, bahkan namaku.
          “Waalaikum salam..” Ia menjawab dengan bibir mungilnya. Aku merasa ada riak bening pada sudut mataku yang siap tumpah. Aku ingin memeluknya. Tapi…
          “Aku kangen suara ini. Sepertinya suara ini pernah ku dengar. Suara Ar-Rahman…” Tawanya. Aku tertunduk. Dan air mata itupun benar-benar jatuh ke bumi. Merembes pada pasir dan rumput yang ada disana. Bahkan lebih parahnya disaksikan oleh sekian pasang mata yang melihat kehadiranku disini, menemui Cintaku.
          Yaa Allah…jadikan airmata ini sebagai salah satu harapan dimana Engkau membuka satu simpul ingatannya. Satu saja. Agar ia dapat mengeja namaku…
          “Yah, suaraku suara Ar-rahman..” Aku membenarkan. Aku tahu maksud Cinta. Ia mengenalku karena surah Ar-Rahman yang menjadi surah favorit kami, saat kami melangkah menyusuri jalan setapak danau tatkala pagi datang. Surah yang menjadi maharku untuknya, surah yang menemani mimpi indahnya, surah yang juga fasih ia lantunkan, surah yang selalu menjadi requesnya saat aku memutar radio. Surah yang memiliki kenangan luar biasa bukan hanya baginya tapi juga bagiku. Setiap hari kami bahkan selalu dilewati oleh surah ini.
          “Aku akan menikah kata mereka. Bolehkah aku memintamu membacakannya untukku, nanti?” Ia bertanya. Dengan ekspresinya yang tetap tersenyum, dengan pandangan mata lurus tanpa sinar seperti dulu. Aku menggigit bibirku, demi mendengarkan permintaan ini. tergagap aku membalas.
          “InsyaAllah, Cin…..ta..”
          Mendengar jawabanku, Cinta melangkah pergi begitu saja. Terpaku mungkin itulah perasaanku saat ini. ada sakit yang disertai bahagia juga harapan. Langkahnya sudah pergi beberapa jauh, saat ia menoleh kembali.
          “Aku suka sebutan kamu tadi. Cinta? Yah…aku suka..” Jawabnya terkekeh kecil, lalu berlalu kembali.  
          “Sus, saya titip Cinta,..” Pesanku disertai senyum tipis yang hadir. Suster Rita memberikan jawabannya, lalu mengejar langkah Cinta dan dua akhwat yang mendampinginya. Ia tak pernah menolehkan kepalanya lagi sampai tubuhnya menjelma menjadi titik diujung sana, menuruni anak tangga perlahan. Jujur aku berharap ia menoleh, melambaikan tangannya, menyebut namaku dengan  tawanya yang renyah, dengan senyumnya yang sempurna, untukku. Namun semua hanya sebatas inginku, fikirku. Karena Cinta benar-benar tak menoleh lagi.
Yang ada akulah yang pertama melepaskan pandanganku dari tempat dimana ia melangkah tadi, bersiap menuju masjid.
          ***
          Sepanjang jalanku aku menunduk menatap kerikil-kerikil kecil yang hampir memenuhi jalan. Kerikil yang terkadang menjadi hambatan kendaraan yang melintasinya. Dan ternyata kehidupankupun diwarnai kerikil-kerikil dengan besaran yang berbeda-beda. Ada yang bening, dan ada pula bentuknya yang hitam kotor. Saat ini kerikil itu berukuran besar sekali, hingga akupun merasa ragu apakah aku dapat menggesernya, hingga tak lagi menjadi rintanganku menemukan bahagiaku bersamanya, yang bangga kusebut sebagai separuh jiwaku.
          “Assalamu `alaikum, Bayu…” Sapaan khas ini akhir-akhir ini akrab ditelingaku. Siapa lagi kalau bukan Ust Rukman. Yang kata sebagian orang menjadi pintu gerbang mereka menemukan pasangan hidup. Kata sebagian orang yang aku harapkan benar adanya, seperti aku. Akupun ingin siapapun merasakannya, tak ada yang tersakiti karena ikhtiarnya. Jikapun ada aku berharap mereka meyakini satu hal, bahwa jodoh tetap rahasia Allah meskipun datangnya dari perantara manusia lainnya.
          “Waalaikum salam, Ust..” Aku menjabat tangannya.
          “Sudah bertemu?” Beliau langsung bertanya. Aku menganggukkan kepala.
          “Istrimu setidaknya masih mengenalmu, meskipun hanya dari suara ar-Rahman itu..”
          “Ya, ust..”
          “Allah menguji kamu, karena kamu sanggup melaluinya. Sebab mengapa Allah memilihmu, karena Allah juga tahu kamu akan menjaganya, tak meninggalkannya..” Tepuk Ust Rukman pada bahu kananku. Aku menarik napas mencoba menyelami semua pesan yang disampaikan padaku. Aku merasa pesan ini jauh lebih baik merubah perasaanku, merubahnya untuk selalu berpegang pada harapanku tanpa lupa bahwa semuanya adalah takdir yang harus aku imani.
Yah…
          “Ya sudah. Saya punya urusan sebentar. Mas Bayu ke masjid saja dulu, bergabung dengan yang lainnya. Ust Zainuddin tadi juga mencari kamu. Semoga mujahadah kita berbuah kebaikan bagi kembalinya sepotong kenangan tentangmu, yaah meski hanya sepotong saja ingatannya...”
          “InsyaAllah..” Jawabku, meneruskan langkah. Ust Rukman menuju rumahnya, dan aku langsung mempercepat langkahku ke masjid dimana prosesi sacral bagi para mempelai berjalan. Prosesi yang sama sepertiku dahulu. Bedanya sekarang aku melakukannya karena ingin mengantarkan kembali ingatannya. Tak ada lagi dag-dig-dug seperti yang kulalui bersama Farhan dulu, yang ada malah justru khawatir yang mencekam, khawatir jikalau Cinta tak juga mampu mengeja namaku.
Ah, entah mengapa aku butuh teman berbagi saat ini. satu-satunya wajah yang kuingat adalah Farhan. Detik berikutnya sambil melangkah aku merogoh kantung, memastikan nomor Farhan ada disana.
Nah, ini dia…
Alhamdulilah….
Berulang kali nomor itu kuhubungi, berulang kali pula tante Veronika yang menjawabnnya. Entahlah, mungkin Farhan sudah mengganti nomornya setelah sekian lama tak pernah menjalin silaturahmi. Ada sesal yang tiba-tiba hadir.
“Cari aku?” Sebuah sapa membuat langkahku berhenti. Ketika aku menoleh, kudapati wajah yang kini ditumbuhi janggut tipis tersenyum lebar. Menjabat tanganku erat, memelukku.
“Allah beserta orang yang sabar, akh…” Bisiknya. Aku mengulum senyum kecil. “Dia hadir pada kehidupanmu, bukan untuk menyusahkanmu. Tapi, karena dia layak untuk mendapatkan perhatianmu. Mungkin jika orang lain, ataupun aku yang mengalaminya, aku tak memiliki mujahadah, kesabaran dan cinta seperti yang kamu miliki.” Farhan semakin menguatkan aku sambil terus menepuk pundakku. Aku membalasnya serupa.
          “Tahu dari mana, jika…”
          “Perihal Nirwana?” Farhan menarik senyum, mengajakku melangkah memasuki masjid. Mengambil tempat sambil memantau perkembangan acara. Kami duduk ditemani dengan kisah masa lalu, beberapa tahun lalu.
          Farhan menarik nafas. “ Aku tahu dari istriku.” Jawabnya, yang menciptakan hening dalam sesaat. Aku dengan bayang Nirwana yang selalu melekat kuat, dan Farhan dengan pikirannya sendiri. Pandangan kami pun akhirnya tertuju pada seliweran peserta pernikahan yang disibukkan dengan keluarga mereka, dering HP, dan juga deg-deg an yang nampak tersirat dari wajah mereka. Seperti kami dulu..
          “Mas Bayu…” Ust Zainuddin menghampiri. Aku tersentak kecil, hingga lamunku buyar.
          “Ba`da Dzuhur, temui Nirwana!” Ucap beliau bernada perintah. Kepalaku terangguk. Di sampingku Farhan menepuk lututku sambil tersenyum kecil.
          “Wanita hebat lahir untuk lelaki hebat, insyaAllah…” Bisiknya begitu Ust Zainuddin berlalu. Akupun merasa optimis itu kini benar-benar hadir sempurna pada bilik kokoh dadaku, pada komitmenku untuk selalu ada bagi Cinta, meskipun penyakit itu menjadi tabir tipis untuk dia mengeja namaku.
          “Kamu pria hebat, Bayu. Aku yakin kamu mampu melewati semua ujian meski berat. Ada rahasia Allah swt yang belum tersingkap pada ujianNya kali ini. percaya padaku, bahwa kamulah pria tepat untuk Nirwana. Pria yang tak akan meninggalkannya sampai akhirnya takdir Allah swt menuliskan yang lain. persiapkan dirimu untuk menemuinya. Jangan pernah lepas dari harapan. Selalu ada harapan disetiap lembar ujian, meski pada setiap lembarnya pula ada tantangan yang membuatmu kelak nyaris menyerah..”
          Aku rela harus melepas kembali titik air mata ini dari mataku, mendengar apa yang barusan Farhan ucapkan padaku. Jika dulu bapak selalu mengatakan bahwa lelaki tak boleh menangis, maka kata-kata itu untuk hari ini benar-benar tak berarti bagiku. Aku ingin menangis, menangis yang sarat harapan bahwa Allah swt masih memberikan aku kekuatan penuh untuk menjaga amanahNya. Menjaga Nirwana meski lembaran ujian itu akan terasa berat.
          “Pria bukan dikatakan kuat atau hebat hanya lantaran ia tak pernah menangis. Namun inilah pria hebat itu. Ia mampu melepaskan semua emosinya. Tak membohongi dirinya..”
          Percakapanku hari ini dengan Farhan, di bawah langit yang menyampaikan sinar cerahnya matahari, di dalam masjid agung saksi awal berdirinya ma`had ini, tempat bersungkurnya para generasi Islam, para kafilah Rasulullah saw aku mengokohkan janjiku akan terus membawa kencana mitsaqan ghaliza pada pernikahanku. Hingga takdir Allah swt menuliskan hal lainnya. Saat aku benar-benar mengokohkannya, azan benar-benar berkumandang, membawa gelombang gemuruh pada hatiku. Bahwa pertemuanku selepas ini dengan Nirwana adalah awal bagaimana kencana mitsaqan ghaliza itu akan semakin kuat terombang-ambing. Maka layarnya sudah pasti harus aku kokohkan saat ini. seperti harapanku yang terus menampakkan kerlip cahayaNya.
          “Aku akan mendampingi kamu, menemui Nirwana. Tidak sendiri tapi Syaima akan menemaniku. Aku berharap kehadiran Syaima dan bidadari kecilku Azima akan membantu Nirwana perlahan. Kita juga berharap keajaiban bukan? Keajaiban dari Allah swt yang merencanakan ini untukmu. Tiada yang mustahil baginya meski seluruh makhluq mengatakan mustahil”.
Bersama, langkah kami menuju samping masjid. Mengambil wudhu dengan sempurna sebelum akhirnya kami tersungkur dalam pada sujud kami yang syahdu. Ada bait do`a yang terangkum di akhir sujudku bersama bulir-bulir harapan pada airmataku.
          Ada misi yang belum tuntas bersama Nirwana yang harus di wujudkan, bersama. Bukan hanya aku tapi juga nirwana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar