Karena Cinta tak Melupakanmu...(2)
DUA
Cuaca terbilang cerah saat aku
berlari-lari kecil mencari ust Rukman. Menyusuri jalan setapak yang lumayan
lebar, cukup untuk dilalui dua mobil, yang sebelah kanannya berdiri kokoh pagar
kayu bercat cokelat tua sedikit berlumut karena usia. Aku memasuki pintu
penghubung yang membatasi areal berpagar. Pada batang pohon yang menjulang
tinggi tertulis sebuah pesan “AREAL KHUSUS AKHWAT” pada papan reklame ukuran
sedang. Menandakan bahwa areal ini terlarang buat kalangan ikhwan. Tentunya
bagi yang single.
“Ust Rukmannya ada?” Aku bertanya pada
seorang santri yang berdiri di depan pintu rumah ust Rukman. Ia memperhatikan
aku sejenak, lalu hilang dibalik pintu. Mungkin ia memanggil ust Rukman.
Husnuzzonku.
“Keluar. Baru saja..” Ia muncul dengan
berita yang membuat sebagian hatiku lemas.
“Kearah mana?” Aku balik bertanya. Ia
dengan jilbab pinknya menggelengkan kepala. Setelah mengucapkan terimakasih,
aku segera memutar langkah. Belum juga langkahku hilang seutuhnya dari pagar
itu, suster Rita memanggil namaku.
“Mas Bayu!”
Melihatnya aku merasa hatiku yang
tadinya lemah kini kembali semangat. Suster Rita tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Kenapa, sus? Cinta kenapa?” Kejarku
dengan kepala mencari-cari, dimanakah kiranya separuh jiwaku itu berada. Aku rindu senyumnya. Rindu! Namun yang kutemui hanya wajah-wajah asing
yang semakin banyak, keluar dari rumah ust Rukman. Dari sana, muncul Cinta
dengan baju putih berkombinasi. Cantik! Subhanallah..aku merasa kembali jatuh
cinta untuk kesekian kalinya, untuknya. Perasaan itu sama dan akan selalu sama
meskipun penyakit itu melupakannya untuk mengeja namaku.
“Cinta kenapa sus? Kali ini aku
berbisik. Mataku tak lepas dari memandangnya yang melepas senyum indahnya.
“Dia menyebut nama mas!” Suster Rita
setengah berbisik.
“Cinta, menyebut nama saya?” Aku
memastikan. Suster Rita mengangguk yakin. Memutar tubuhnya. Kami pun memandang
Nirwana yang melangkah anggun didampingi dua akhwat.
“Kejadiannya?” Nyaris seperti detektif
aku bertanya.
“Sesaat setelah dia mendengar surah
Ar-Rahman yang dibaca oleh akhwat disini..” Suster Rita menerangkan detailnya.
Aku terperangah, dan Cinta yang semakin dekat kearahku.
“Assalamu `alaikum, Cinta..” Aku
menyapa, menyambut tangannya yang putih bersih. Cinta menarik senyumnya. Senyum
yang aku rindukan akhir-akhir ini, saat terpisah atau tepatnya sengaja
dipisahkan guna mereview kembali ingatannya yang hilang karena penyakit itu.
Menghilangkan semua kenangan, semua moment berharga yang pernah ada, bahkan
namaku.
“Waalaikum salam..” Ia menjawab dengan
bibir mungilnya. Aku merasa ada riak bening pada sudut mataku yang siap tumpah.
Aku ingin memeluknya. Tapi…
“Aku kangen suara ini. Sepertinya
suara ini pernah ku dengar. Suara Ar-Rahman…” Tawanya. Aku tertunduk. Dan air
mata itupun benar-benar jatuh ke bumi. Merembes pada pasir dan rumput yang ada
disana. Bahkan lebih parahnya disaksikan oleh sekian pasang mata yang melihat
kehadiranku disini, menemui Cintaku.
Yaa
Allah…jadikan airmata ini sebagai salah satu harapan dimana Engkau membuka satu
simpul ingatannya. Satu saja. Agar ia dapat mengeja namaku…
“Yah, suaraku suara Ar-rahman..” Aku
membenarkan. Aku tahu maksud Cinta. Ia mengenalku karena surah Ar-Rahman yang
menjadi surah favorit kami, saat kami melangkah menyusuri jalan setapak danau
tatkala pagi datang. Surah yang menjadi maharku untuknya, surah yang menemani
mimpi indahnya, surah yang juga fasih ia lantunkan, surah yang selalu menjadi
requesnya saat aku memutar radio. Surah yang memiliki kenangan luar biasa bukan
hanya baginya tapi juga bagiku. Setiap hari kami bahkan selalu dilewati oleh
surah ini.
“Aku akan menikah kata mereka.
Bolehkah aku memintamu membacakannya untukku, nanti?” Ia bertanya. Dengan
ekspresinya yang tetap tersenyum, dengan pandangan mata lurus tanpa sinar
seperti dulu. Aku menggigit bibirku, demi mendengarkan permintaan ini. tergagap
aku membalas.
“InsyaAllah, Cin…..ta..”
Mendengar jawabanku, Cinta melangkah
pergi begitu saja. Terpaku mungkin itulah perasaanku saat ini. ada sakit yang
disertai bahagia juga harapan. Langkahnya sudah pergi beberapa jauh, saat ia
menoleh kembali.
“Aku suka sebutan kamu tadi. Cinta?
Yah…aku suka..” Jawabnya terkekeh kecil, lalu berlalu kembali.
“Sus, saya titip Cinta,..” Pesanku
disertai senyum tipis yang hadir. Suster Rita memberikan jawabannya, lalu
mengejar langkah Cinta dan dua akhwat yang mendampinginya. Ia tak pernah
menolehkan kepalanya lagi sampai tubuhnya menjelma menjadi titik diujung sana,
menuruni anak tangga perlahan. Jujur aku berharap ia menoleh, melambaikan
tangannya, menyebut namaku dengan
tawanya yang renyah, dengan senyumnya yang sempurna, untukku. Namun
semua hanya sebatas inginku, fikirku. Karena Cinta benar-benar tak menoleh
lagi.
Yang
ada akulah yang pertama melepaskan pandanganku dari tempat dimana ia melangkah
tadi, bersiap menuju masjid.
***
Sepanjang jalanku aku menunduk menatap
kerikil-kerikil kecil yang hampir memenuhi jalan. Kerikil yang terkadang
menjadi hambatan kendaraan yang melintasinya. Dan ternyata kehidupankupun
diwarnai kerikil-kerikil dengan besaran yang berbeda-beda. Ada yang bening, dan
ada pula bentuknya yang hitam kotor. Saat ini kerikil itu berukuran besar
sekali, hingga akupun merasa ragu apakah aku dapat menggesernya, hingga tak
lagi menjadi rintanganku menemukan bahagiaku bersamanya, yang bangga kusebut
sebagai separuh jiwaku.
“Assalamu `alaikum, Bayu…” Sapaan khas
ini akhir-akhir ini akrab ditelingaku. Siapa lagi kalau bukan Ust Rukman. Yang
kata sebagian orang menjadi pintu gerbang mereka menemukan pasangan hidup. Kata
sebagian orang yang aku harapkan benar adanya, seperti aku. Akupun ingin
siapapun merasakannya, tak ada yang tersakiti karena ikhtiarnya. Jikapun ada
aku berharap mereka meyakini satu hal, bahwa jodoh tetap rahasia Allah meskipun
datangnya dari perantara manusia lainnya.
“Waalaikum salam, Ust..” Aku menjabat
tangannya.
“Sudah bertemu?” Beliau langsung
bertanya. Aku menganggukkan kepala.
“Istrimu setidaknya masih mengenalmu,
meskipun hanya dari suara ar-Rahman itu..”
“Ya, ust..”
“Allah menguji kamu, karena kamu
sanggup melaluinya. Sebab mengapa Allah memilihmu, karena Allah juga tahu kamu
akan menjaganya, tak meninggalkannya..” Tepuk Ust Rukman pada bahu kananku. Aku
menarik napas mencoba menyelami semua pesan yang disampaikan padaku. Aku merasa
pesan ini jauh lebih baik merubah perasaanku, merubahnya untuk selalu berpegang
pada harapanku tanpa lupa bahwa semuanya adalah takdir yang harus aku imani.
Yah…
“Ya sudah. Saya punya urusan sebentar.
Mas Bayu ke masjid saja dulu, bergabung dengan yang lainnya. Ust Zainuddin tadi
juga mencari kamu. Semoga mujahadah kita berbuah kebaikan bagi kembalinya
sepotong kenangan tentangmu, yaah meski hanya sepotong saja ingatannya...”
“InsyaAllah..” Jawabku, meneruskan
langkah. Ust Rukman menuju rumahnya, dan aku langsung mempercepat langkahku ke
masjid dimana prosesi sacral bagi para mempelai berjalan. Prosesi yang sama
sepertiku dahulu. Bedanya sekarang aku melakukannya karena ingin mengantarkan
kembali ingatannya. Tak ada lagi dag-dig-dug seperti yang kulalui bersama
Farhan dulu, yang ada malah justru khawatir yang mencekam, khawatir jikalau
Cinta tak juga mampu mengeja namaku.
Ah,
entah mengapa aku butuh teman berbagi saat ini. satu-satunya wajah yang kuingat
adalah Farhan. Detik berikutnya sambil melangkah aku merogoh kantung,
memastikan nomor Farhan ada disana.
Nah, ini dia…
Alhamdulilah….
Berulang
kali nomor itu kuhubungi, berulang kali pula tante Veronika yang menjawabnnya.
Entahlah, mungkin Farhan sudah mengganti nomornya setelah sekian lama tak
pernah menjalin silaturahmi. Ada sesal yang tiba-tiba hadir.
“Cari
aku?” Sebuah sapa membuat langkahku berhenti. Ketika aku menoleh, kudapati
wajah yang kini ditumbuhi janggut tipis tersenyum lebar. Menjabat tanganku
erat, memelukku.
“Allah
beserta orang yang sabar, akh…” Bisiknya. Aku mengulum senyum kecil. “Dia hadir
pada kehidupanmu, bukan untuk menyusahkanmu. Tapi, karena dia layak untuk
mendapatkan perhatianmu. Mungkin jika orang lain, ataupun aku yang
mengalaminya, aku tak memiliki mujahadah, kesabaran dan cinta seperti yang kamu
miliki.” Farhan semakin menguatkan aku sambil terus menepuk pundakku. Aku
membalasnya serupa.
“Tahu dari mana, jika…”
“Perihal Nirwana?” Farhan menarik
senyum, mengajakku melangkah memasuki masjid. Mengambil tempat sambil memantau
perkembangan acara. Kami duduk ditemani dengan kisah masa lalu, beberapa tahun
lalu.
Farhan menarik nafas. “ Aku tahu dari
istriku.” Jawabnya, yang menciptakan hening dalam sesaat. Aku dengan bayang
Nirwana yang selalu melekat kuat, dan Farhan dengan pikirannya sendiri.
Pandangan kami pun akhirnya tertuju pada seliweran peserta pernikahan yang
disibukkan dengan keluarga mereka, dering HP, dan juga deg-deg an yang nampak
tersirat dari wajah mereka. Seperti kami dulu..
“Mas Bayu…” Ust Zainuddin menghampiri.
Aku tersentak kecil, hingga lamunku buyar.
“Ba`da Dzuhur, temui Nirwana!” Ucap
beliau bernada perintah. Kepalaku terangguk. Di sampingku Farhan menepuk
lututku sambil tersenyum kecil.
“Wanita hebat lahir untuk lelaki
hebat, insyaAllah…” Bisiknya begitu Ust Zainuddin berlalu. Akupun merasa optimis
itu kini benar-benar hadir sempurna pada bilik kokoh dadaku, pada komitmenku
untuk selalu ada bagi Cinta, meskipun penyakit itu menjadi tabir tipis untuk
dia mengeja namaku.
“Kamu pria hebat, Bayu. Aku yakin kamu
mampu melewati semua ujian meski berat. Ada rahasia Allah swt yang belum
tersingkap pada ujianNya kali ini. percaya padaku, bahwa kamulah pria tepat
untuk Nirwana. Pria yang tak akan meninggalkannya sampai akhirnya takdir Allah
swt menuliskan yang lain. persiapkan dirimu untuk menemuinya. Jangan pernah
lepas dari harapan. Selalu ada harapan disetiap lembar ujian, meski pada setiap
lembarnya pula ada tantangan yang membuatmu kelak nyaris menyerah..”
Aku rela harus melepas kembali titik
air mata ini dari mataku, mendengar apa yang barusan Farhan ucapkan padaku.
Jika dulu bapak selalu mengatakan bahwa lelaki tak boleh menangis, maka
kata-kata itu untuk hari ini benar-benar tak berarti bagiku. Aku ingin
menangis, menangis yang sarat harapan bahwa Allah swt masih memberikan aku
kekuatan penuh untuk menjaga amanahNya. Menjaga Nirwana meski lembaran ujian
itu akan terasa berat.
“Pria bukan dikatakan kuat atau hebat
hanya lantaran ia tak pernah menangis. Namun inilah pria hebat itu. Ia mampu
melepaskan semua emosinya. Tak membohongi dirinya..”
Percakapanku hari ini dengan Farhan,
di bawah langit yang menyampaikan sinar cerahnya matahari, di dalam masjid
agung saksi awal berdirinya ma`had ini, tempat bersungkurnya para generasi
Islam, para kafilah Rasulullah saw aku mengokohkan janjiku akan terus membawa
kencana mitsaqan ghaliza pada pernikahanku. Hingga takdir Allah swt menuliskan
hal lainnya. Saat aku benar-benar mengokohkannya, azan benar-benar
berkumandang, membawa gelombang gemuruh pada hatiku. Bahwa pertemuanku selepas
ini dengan Nirwana adalah awal bagaimana kencana mitsaqan ghaliza itu akan
semakin kuat terombang-ambing. Maka layarnya sudah pasti harus aku kokohkan
saat ini. seperti harapanku yang terus menampakkan kerlip cahayaNya.
“Aku akan mendampingi kamu, menemui
Nirwana. Tidak sendiri tapi Syaima akan menemaniku. Aku berharap kehadiran
Syaima dan bidadari kecilku Azima akan membantu Nirwana perlahan. Kita juga
berharap keajaiban bukan? Keajaiban dari Allah swt yang merencanakan ini
untukmu. Tiada yang mustahil baginya meski seluruh makhluq mengatakan
mustahil”.
Bersama,
langkah kami menuju samping masjid. Mengambil wudhu dengan sempurna sebelum
akhirnya kami tersungkur dalam pada sujud kami yang syahdu. Ada bait do`a yang
terangkum di akhir sujudku bersama bulir-bulir harapan pada airmataku.
Ada misi yang belum tuntas bersama
Nirwana yang harus di wujudkan, bersama. Bukan hanya aku tapi juga nirwana
Komentar
Posting Komentar