Karena Cinta tak Melupakanmu...(3)
TIGA
Aku
Bayu Prasetya.
Kini
kokoh berdiri menatap bangunan sederhana dimana dahulu aku bertemu pandang
dengan wajah sederhana nan bersahaja milik Nirwana Wangi. Bangunan yang kini
kusematkan harapan, tepatnya bagian dari harapanku yang lainnya. Alzemeir! Aku tak ingin kalah denganmu!
Sebab aku percaya segala penyakit ada obatnya selain dari kematian!.
“Mas Bayu, ayo..” Salah seorang dari
penggiringku menyadarkanku dimana aku kini dan apa yang harus aku lakukan
selanjutnya. Dengan kekuatan Bismillah langkahku pasti memasuki pekarangan
Ustad Amru. Disana disalah satu kamarnya telah menunggu belahan jiwaku, cintaku
Nirwana Wangi.
Kamar itu masih sama. Mungkin yang
membedakan adalah ornament sekeliling kamar yang sudah berganti begitupula
catnya yang masih baru. Sebuah ranjang sederhana terletak di tengah dengan
seprai bunga-bungaan yang menambah kesegaran. Belum lagi aroma farfum lavender
itu langsung menyapa indera penciumanku. Detik selanjutnya yang menjadi
pandanganku adalah wajah Cinta yang dibalut jilbab pink salem yang sederhana.
menampilkan kesehajaan seorang wanita yang saat ini berbalut perjuangan karena
ia bukanlah wanita yang dapat tersipu malu melihat kehadiranku. Pandangannya
tetap datar. Alzemeir yang membuat ingatan, ekspresinya tak sesempurna wanita
normal lainnya.
“Assalamu `alaikum, Ukhty Nirwana
Wangi..” Sapaku, saat semua orang memberikan kesempatan bagiku hanya berdua
dengannya. Aku tak membawa mahar sempurna seperti para lelaki saat meminang
wanitanya. Aku hanya membawa sepaket bunga untuk Cinta sebagai ganti dari
mahar. Sebab maharku sudah kuberikan padanya beberapa tahun silam. Tepatnya dua
tahun lalu.
Cintaku memegang sebuah memo berukuran
sedang. Disana dituliskan jawaban salamku yang harus ia jawab. Tulisan itu
milik suster Rita. Nirwana menatapku lama, memicingkan mata gemintangnya, lalu
mengeja balasan salamku. Aku mengangguk tertahan.
“Untukku?” matanya tertumbuk pada
paket bunga yang masih kupegang. Mataku tak lepas dari memandangnya. Aku rindu
padanya.
“Yaah, ini untukmu, Cin-ta..”
“Aku suka!” kata ini meluncur dengan
sempurna dari bibir Cinta. Harapanku atasnya kini semakin diisi kekuatan
berlipat. Aku yakin usahaku dilihat oleh Tuhanku.
“Ka-mu?” Matanya menatapku dalam.
Sesekali matanya mengatup, bibirnya digigit, hembusan nafasnya beradu. Cinta sedang
mencoba menyampaikan sesuatu padaku.
“Ka-mu…sia-pa?” Aku menghembuskan
nafas perlahan, menahan semua rasaku. Hatiku berkata lain bahwa apa yang
kuharapkan belum bisa terjadi. Nirwana masih belum mengigat namaku.
“Aku Ba-yu Pra-set-ya. A-ku sua-mi-mu..”
“Sua-mi?” Alis kirinya terangkat.
Menatapku asing.
“Boleh aku duduk?” mata Nirwana
mengarah pada sisi kasur. Menepuknya lembut. “Kamu bo-leh du-duk disini..”
hati-hati aku duduk di samping Nirwana. Ia masih menatapku. Tepatnya
memperhatikanku dengan lekat. Dulu Nirwana suka melakukan hal yang sama saat
aku mengatakan cinta padanya.
“Serius mencintai aku?” Gemintang
matanya.
“Lebih dari serius! Kamu tak ada
gantinya. Sempurna bagiku!” Aku menjawab tanpa perlu berlama-lama berfilosofi.
Matanya menatap mataku dalam, matanya memicing mencari kepastian, hingga ia
menarik senyum, memelukku erat. Gombal! Serunya. Kami pun mengakhiri semua
dengan tawa kami yang dibalut suasana romantis.
“Sua-mi itu pa-sa-ngan?” Pertanyaan
Cinta membuat ingatanku pecah. Kini dihadapanku bukan lagi Nirwana yang selalu
menghadiahi kejutan-kejutan kecil nan istimewa untukku. Masa itu telah menjadi
kenangan yang pahit untuk diingat, melihat bagaimana rupa ingatannya yang kini
pecah berantakan.
“Ya…” Aku membalas pendek.
“Apa a-ku per-nah ber-te-mu
se-be-lum-nya?” Mata gemintangnya seperti memaksakan sebuah ingatan untuk
hadir. Aku jadi ingat kata Dokter Ehsan yang merawat Cinta. Terkadang penderita
alzhemeir dapat mengingat dengan waktu yang tempory. Bolehkah aku berharap pada
apa yang dokter Ehsan sampaikan?
“Nirwana
memasuki alzhemeir stage 3 atau early confusion. Ada penurunan kognisi yang
menyebabkan gangguan fungsi sosial dan kerja. Anomia, kesulitan mengingat kata
yang tepat dalam percakapan, dan sulit mengingat. umumnya sering mengalami kebingungan.
“Ya, kita pernah bertemu…” Ada harap
pada getar suaraku. Cinta menggeleng-gelengkan kepalanya, kini bergantian
menatap sekelilingnya. Aku mengikuti setiap arah pandangannya yang menyapu
seluruh ruangan.
“Pu-tih?” Ejanya, berdiri menuju
pintu. Membukanya lalu melangkah keluar. Disana berdiri suster Rita yang
mengambil posisi sigap.
“Di-a sua-mi-ku?”
Suster Rita mengangguk.
“Ba-yu?”
Aku tersentak. Suster Rita mengangguk
patah-patah. Cinta baru saja memastikan kebingungannya, persis seperti yang disampaikan
dokter Ehsan.
Cinta memutar tubuh, tersenyum padaku…
“Ki-ta pu-la-ng…”
Allahuakbar! Airmataku turun tanpa
kupinta. Biarlah wajah-wajah itu memberikanku label sebagai ikhwan cengeng. Tak
masalah dengan label itu, yang penting sekarang adalah…
Cinta
mengingatku, meski beberapa jam kedepan aku ragu ia akan kembali mengingatku.
Komentar
Posting Komentar