Minggu, 29 September 2013

mengapa aku harus mengalah?

Coba tanyakan mengapa aku harus mengalah dengan impian. Impian yang sudah dibangun sejak beberapa tahun lalu yang juga bukan tanpa hambatan dan rintangan.
Mengapa aku harus mengalah?
mengalah hanya karena omongan orang ataupun karena keengganan akan komitmen kurasa semua itu bukan menjadi hambatan untuk mengatakan BERHENTI.
Justru ketika langkah itu berhenti hanya kerena kata orang, maka kita kalah pada keputusan diri.
Jika kalah karena rasa malas, toh itu biasa. tinggalkan dahulu, carilah aktifitas yang dapat menyegarkan lalu kembalilah fokus, ini juga mudah, tinggal bagaimana mengelolanya.
Jika karena komitmen, maka komitmen itupun bisa terus dipertajam. bentangkan kertas putih, tulislaah sebab jika harus mengalah pada impian. kerugiannya yang pasti lebih banyak.
Pikirkan pula usaha yang sudah dibangun sejak dahulu, bertahun-tahun. mungkin airmata pernah mengalir, tubuh letih dan sakit...
Pikirkan semuanya. Jangan pernah fokus pada perkataan orang.
jika mengalah hari ini, maka lihatlah dirimu, berkacalah...
mengapa kamu tiba di jenjang ini, saat ini?!

jadi jangan pernah tanyakan kepadaku "Kapan mengalahnya?"
tanyakan padaku "Jangan pernah kalah oleh keadaan!"

Rabu, 25 September 2013

Belajar dari mereka...

Pernahkah kamu merasakan bahwa belajar dari seorang akan kecil adalah kebodohan?
Jika seperti itu, buang semua prasangka itu jauh-jauh dari benakmu. Sebab boleh jadi mereka memiliki sesuatu yang lebih atau bahkan lebih baik dari diri kita.

Mereka mengajarkan kepada kita bagaimana bersikap apa adanya. mengajarkan bagaimana mengatur emosi, melatih kesabaran dan bagaimana mempergunakan waktu sebagai mana mestinya.
Suatu ketika aku tengah berdiri di pinggir taman sekolah tempat aku sejenak memberikan apa yang aku bisa berikan. seorang anak minum sambil berdiri dengan santai, meskipun beberapa orang teman sering mengulang-ulang bahwa hal itu tidaklah dibenarkan. Maka akupun melangkah pasti, menegur dengan bahasaku sendiri. Aku bukanlah guru etika namun aku merasa akupun butuh mengingatkannya untuk meninggalkan kebiasaan itu.
Ketika menyampaikan hal itu dengan wajah biasa ia berucap "Tuh, tadi Mr. X minum berdiri boleh..."
Liriknya. aku ternganga "Oh my god!" aku tersentak...
Inilah orang dewasa. terkadang apa yang ia sampaikan tak dulu dipraktekkan pada dirinya. (Nggak semua sih..hehe..)
Dari lisannya akhirnya aku menarik kesimpulan. Omongon anak kecilpun terkadang menjadi cambuk paling berharga akan apa yang menjadi realita di hadapan kita. so...belajar dari mereka adalah sebuah keharusan juga. jadi...terima apapun yang mereka sampaikan dengan senyuman. ^_^

Rabu, 18 September 2013

Antara ada dan Tiada

ehm...
Jangan berprasangka jika saya menuliskan judul itu karena tak menghargai buah karya orang lain..
Ini hanya menggambarkan sebuah kejadian yang sedikit banyaknya menyita waktu dan energi.
Memiliki teman adalah keharusan, sebab kita manusia sosial. Namun apapun itu semuanya kembali tentang bagaimana cara kita menyikapinya.

Pekerjaanku mungkin adalah pekerjaan bayangan (Ehm..)
sebabnya sederhana. karena aku tak menyukai pekerjaan ini secara full. Aku tak suka pekerjaan yang terlalu mengikat. Bagaimanapun juga jika kondisinya seperti ini justru akan mempersulit pikiran dan keputusan untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik.

Antara ada dan tiada mungkin menggambarkan rasaku hari ini.
Pekerjaan ini terlalu menuntut, seolah aku harus mengerjakannya terus menerus.
bekerja dibawah tekanan yang terkadang terlepas dari job desk yang seharusnya memang menyita waktu.

Hei...apapun itu semua memiliki porsinya masing-masing!
tubuhku!
fikirku~
Semua mencapai limit lelahnya hari ini..
jadi...Apapun itu hari ini aku merasa menjadi manusia paling bosan~

Bosan itu bagaimana menurutmu?

Bosan itu MENYEBALKAN!
setidaknya itulah yang kurasakan dan kunikmati hari ini. bosan dengan aktivitas yang tak melulu memberikan tantangan. kalau toh ada maka tantangan itu justru muncul dari individu-individu yang membuat kepalaku rasanya ingin meledak saja.
dahulu seorang teman pernah bilang "adakalanya ketika kita ingin berkembang lebih pesat, justru tempat dimana kita menapak tak memberikan dukungan.."

aku pun demikian ..
bagiku hidup itu bergerak, belajar...
bukan hanya menjadi penonton lantas bertepuk tangan jika menemukan sesuatu yang seru.

bosan...tak selalu menyenangkan..
seperti yang kukatakan bosan itu tak mampu dibahasakan namun dirasakan. disini, pada sudut hatimu yang sedang mengalami masa kritis.
sebabnya banyak. banyak sekali!

lingkungan..
teman...
atasan...
and all..............

semestapun sentak memberikan dukungannya...
argh...aku bosan sahabat..

Senin, 01 April 2013

SEPAKBOLA DAN AZAN


            Gema azan ashar sudah menggema. Saling memanggil dari masjid satu ke masjid yang lainnya dengan satu tujuan. Mengajak kaum muslimin untuk segera menuaikan seruan untuk segera datang pada undangan Allah swt di RumahNya. Namun sebuah pemandangan sore itu membuat hembusan nafas terasa berbeda dengan sebelumnya.
            Sebuah masjid berdiri kokoh dengan warna hijau yang terang di sebuah wilayah kota yang ramai, sedangkan persis di depan masjid, berjarak hanya beberapa langkah sebuah helatan sepakbola tengah berlangsung ramai dengan penonton yang menjejali hampir seluruh pinggir lapangan bahkan mencangklongkan tangannya di atas batas pagar setinggi dada orang dewasa. Tenang dan asyik menyaksikan helatan sepakbola dengan teriakan yang membahana disertai sorakan pada setiap pemain yang diidolakan.
            Azan telah memanggil, namun keinginan untuk segera menyegerakan panggilan ilahi pun seolah hanya panggilan biasa dan tak pantas untuk segera diindahkan. Khawatir kehilangan moment dimana sang pemain menceta gol ke gawang lawan. Tak khawatir bagaimana gol dipintu neraka telah menanti. Nauzubillahi min dzalik.
            Sepakbola bukan lagi permainan yang membosankan untuk kalangan muda maupun tua yang menyukainya. Meskipun dunia persepakbolaan tanah air sedang bergolak dengan urusan yang tak selesai-selesai. Entahlah…
Menyaksikan helatan sepakbola mampu melupakan hamba akan tuhanNya, apatah lagi anak akan orang tua, suami akan istri. Ternyata hal itu sama besarnya dengan ketika menyaksikan sepakbola hanya melalui TV. Rela begadang hingga shubuh hanya karena sepakbola dan bahkan sebagian (afwan) lalai menyegerakan shalat, lupa menyegerakan shalat bahkan meninggalkannya hanya kantuk yang terasa beratnya dimata. Bukti bahwa memang syaitan tengah mengikat bahkan disebuah kisah dikatakan di kencingi syaithan hingga mata enggan untuk terbuka. Astagfirullah…
            Jika keadaan ini akan terus berulang maka akan menjadi habit (kebiasaan) yang semakin tinggi. Malah ironisnya terkadang tayangan itu di saat-saat kaum muslimin seharusnya menyeru panggilan TuhanNya.
Ironis bahkan terkesan sangat menyedihkan!
Tak ada yang melarang untuk menyaksikan helatan sepakbola, namun jangan pernah lupa akan kewajiban yang seharusnya disegerakan, didirikan. Sepakbola sejenak ditinggalkan untuk shalat, toh terkadang akan ada putaran ulang atau malah bagaimana endingnya bisa ditanyakan pada orang sekitar yang menyaksikan. Namun ketika seruan Allah Swt diabaikan, dilalaikan, hal ini bukan berbicara tentang apapun yang sederhana namun hal ini berbicara tentang “dosa”. Meninggalkannya pun menjadi bagian pembeda antara kaum muslimin dengan kekafiran. Bahkan melalaikannya dengan sengaja pun memiliki rules yang tak sederhana. Begitu diberitahu hanya anggukan yang diberi, namun tak memahami secara mendalam. Bahwa shalat adalah hal paling penting dalam agama. Hal pertama yang akan dihisab di yaumul qiyamah kelak.
            Allah Swt tak akan pernah bertanya “berapa gol yang diciptakan oleh ….” Namun yang Allah Swt tanyakan adalah “untuk apa usia mudamu, kamu pergunakan di bumi?” jika begini apakah lisan yang kelak tak dapat bersaksi akan berbicara dengan bahasa “ngeyel” ketika Allah Swt memanggil untuk shalat dahulu? TIDAK! Maka persaksian seluruh anggota badanlah yang akan bebicara. Kaki, tangan, mulut, kulit dan seterusnya akan berbicara kejujuran, bukan seperti lidah yang banyak cabangnya.
            Boleh menyaksikan sepakbola, sekali lagi tak ada yang melarang. Namun perhatikan waktu-waktu dimana Allah Swt memanggil. Agar kita tak termasuk dalam golongan orang-orang yang melalaikan shalat.
            Sepakbola dan azan. Kedua-duanya adalah panggilan. Satu bersifat dunia dan satunya untuk kepentingan akhirat. Dahulukan yang mampu memberikan keselamatan jiwa di saat tak ada yang mampu memberikan pembelaan kecuali kebaikan, shalat yang kita segerakan di yaumul akhir kelak. Wallahu a`lam bissawab.
Curhat perjalanan 13

Pentingnya pendidikan karakter


Belum bisa dikatakan sekolah yang baik jika karakter lingkup yang berada di dalamnya tak sebaik karakter yang dianjurkan. Jika dikatakan IQ seseorang besar pengaruhnya dimasa mendatang, maka lain cerita jika anggapan bahwa yang menetukan kesuksesan itu bukanlah IQ dan EQ saja melainkan SQpun mengambil peranan penting. akan berbeda jika orang yang tumbuh dengan IQ yang baik namun tak bisa menghargai sekitar apatah lagi mampu menampilkan karakter sebagai model yang terbaik. berbicara SQ maka kita berbicara nilai. Nilai bagaimana sebuah transfer yang akan berlaku jangka panjang. Untuk generasi juga untuk kita sendiri.
          Setiap sekolah akan mengusung nilai. Entah nilai akademik secara faktuil atau malah justru mencari nilai lebih yang mampu menunjukkan karakter terbaik. orang tua adalah peneliti yang bergerak bukan sekedar memberikan generasinya pendidikan yang layak melainkan juga dituntut jeli untuk memberikan nilai karakter sebagai dasar bagi generasinya. Maka wilayah ini bukan lagi berbicara antara guru-siswa-orang tua. Melainkan juga nilai output yang ada di sekolah tersebut. Tentang bagaimana pentingnya membangun pendidikan karakter bagi generasi. Alangkah bangganya jika karakter positif anak yang di bawa ke sekolah ditransformasikan ke rumah. Bagaimana anak mengajarkan ketika minum harus duduk, waktu shalat mengajak kita atau malah meminta kita untuk menjadi imam shalatnya. Sungguh inilah nilai karakter yang semua orang tua harapkan mampu dimiliki oleh generasinya.
Awal dari membangun karakter sebuah sekolah dimulai dari tim otoritas sekolah. Mulai dari satpam hingga pucuk pemimpin. Jika karakter ini mampu dipegang dan anak selalu menyaksikan ini setiap harinya alangkah bahagianya waktu dan kesempatan yang Allah beri. Menyaksikan anak-anak menyapa lantang dengan salam hingga mengecup punggung tangan ketika pulang. Nilai atau karakter itu diharapkan tak hanya berhenti di lingkup sekolah namun juga akan terus di bawa kemanapun anak itu pergi. Hingga jika dikatakan bahwa pendidikan karakter juga bagian dari bagaimana SQ menjadi tolak ukur kesuksesan dimasa mendatang.
          Pendidikan karakter adalah model yang berusaha dikembangkan sekolah ini, berharap dari sana lahir generasi yang bukan hanya cerdas IQ, EQ saja melainkan dilengkapi dengan nilai SQ yang baik. hm…indah bukan? Betapa pentingnya pendidikan karakter sebagai dasar perkembangan generasi.
At Night 20.00 p.m
My sweet room, the real of inspiration




Minggu, 31 Maret 2013

Memaknai masa buku Gaza I`m Coming berumur 9 bulan



      Naskah buku ini kutulis sejak masih duduk dibangku kuliah. Saling berkomitmen dengan sahabat yang kala itu menjadi cerminan untuk konsisten berkarya. Duduk di balkon sekolah MA dengan arah menghadap matahari terbit. Saling berpacu dengan waktu dan selalu rindu dengan pertanyaan teman-teman yang membaca satu demi satu buku tulis Mirrage atau sidu (kala itu media kami adalah buku tulis bermerk tersebut dengan jumlah halaman yang kadang bervariasi. 36 hingga 54 halaman. Excited setiap muncul pertanyaan itu adalah hadiah yang membuat derap pacuan kami semakin tinggi, hingga tercetuslah kelak ia akan mampu menembus batas wilayah kampus, hingga tembus keluar daerah Balikpapan, menuju Jogja, Jakarta, Samarinda and all.
            Akhirnya terjawab sudah, setelah selepas kuliah, disela waktu-waktu kerja yang padat, RISET pertama akan kelengkapan data naskah Gaza Im Coming mulai beroperasi (cie). Pelan nan pasti didesak akan keinginan memberikan sesuatu untuk Gaza-Palestine akhirnya dengan bismillah di akhir Maret 2012 draf itu terkirim ke penerbit Divapress. Menunggu dengan keyakinan akhirnya berbuah hasil. Penerbit memberikan kesempatan untuk membukukannya. Berita bahagia itu kuterima akhir April yang kemudian dalam hitungan waktu, surat perjanjian tiba di kantor tempat aku kerja.
Supraise!
Alhamdulillah
My dream comes true……sahabat, teman, mama, Bapak, adik2…dan sujud syukur adalah alamat akhir dari rasa bahagiaku.
Setiap pekan aku terus menunggu, penasaran akan wujudnya, covernya deeste. Akhirnya pada suatu masa, HP Samsung champku bergetar dengan alunan instrument bagsound film korea heart string.
Sebuah SMS atas nama editor Divapress muncul menanyakan footnote yang sedikit buram. Allahu akbar….mimpiku nyata!
Mei menuju ke Juni 2013, sebuah kejutan terjadi. Aku menerima telfon dari seorang yang menanyakan kebenaran alamatku. Pada akhirnya dengan satu kata, beliau menyampaikan “ukh…paketnya dari divapress sampai neh. Ambil di pos ya!” dengan satu hentakan kata “Ya!” aku juga melompat membuka jendela kantor yang tepat mengarah pada pos satpam. Disana sebuah oret atas namaku menunggu. Bisa ditebak apa isinya? Yah…naskahku telah menjadi sebuah buku dengan cover putih bergambar akhwat yang sedang duduk. WOW…this is true…
Sumringah sepanjang haripun menjadi aktifitasku. Aku bangga aku telah mencapai tingkat ini yang dahulu kata sahabat-sahabatku mustahil.
Dan diusianya yang ke memasuki usia sembilan bulan, aku ingin menghadirkan saudara buatnya. So…this is my job and I love my job!

OPINI : Memerdekakan Indonesia dari KKN



Surat kabar, berita-berita televisi seolah tak pernah kering berbicara tentang KKN, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, berita ini seolah menjadi hot news yang tidak ada endingnya, nyaris sama seperti bunyi pepatah “mati satu tumbuh seribu” KKN satu muncul yang baru” dan anehnya belum ada penyelesaian yang mampu membuat jera pelaku KKN. Jika hari ini berbicara tentang A maka bulan berikutnya akan muncul cerita B dan terus bergulir akan muncul tokoh baru dari pelaku KKN yang tak kunjung berkurang. Anehnya lagi para pelaku KKN banyak bermunculan dari tubuh pemerintahan. Pertanyaannya, ada apa dengan pemerintahan direpublik tercinta ini?
 Mereka yang terlibat KKN juga mayoritas dilakukan  oleh mereka yang mengerti hukum dan faham akan hukum serta terpilih karena kepercayaan rakyat yang utuh. Jadi, mengapa bisa kepercayaan jutaan penduduk Indonesia dikhianati?. Terlalu banyak kisah KKN yang pada akhirnya menempatkan Indonesia kepada urutan tertinggi KKN di Asia, so bagaimana dengan Negara lain seperti halnya singapura?
Semua bergulir, belum hilang dari ingatan kasus gayus yang bisa bolak-balik berlibur ke Bali dengan pergantian paspor yang lebih dari satu, Nunun yang kabarnya belum terselesaikan secara hukum dan masih berada diluar Indonesia, hingga kembali bulan ini headline Koran menampilkan tokoh baru seorang najaruddin pembesar partai Demokrat yang terinfeksi KKN. Ibarat penyakit KKN pun merupakan penyakit bagi orang-orang yang berada di atas pemerintahan. Sebenarnya bukan hanya itu, bukan hanya dipemerintahan orang kecilpun kadang bisa KKN walau nilainya kecil tapi inilah naifnya pemegang wewenang, bukannya menjaga amanah dengan sebaik-baiknya malah mencoreng wajah juga citra Indonesia dimata dunia. Maka benar sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa uang atau harta dapat membutakan hati manusia. Inilah kejadian hari ini.
Setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Pertanyaannya apa yang sudah pemerintah lakukan untuk mereka? Jika pemerintah berhasil mengapa selalu tumbuh dan tumbuh pelaku KKN yang baru?.
Sebenarnya semua dapat dihindari jika imun atau kekebalan seseorang kuat dan mengerti akan tanggung jawab yang pada akhirnya nanti akan dipertanggung jawabkan didepan rakyat juga Tuhan. Dan seorang najaruddin  juga yang lain, mungkin tak akan melakukan itu jika kekebalan tubuhnya atas adanya hukum alam dan hukum Tuhan mereka fahami dengan baik.
 Sampai sekarang beberapa kasus serupa masih abu-abu. Kenapa pemerintah belum memutuskan Sesuatu yang bermanfaat yang merupakan win-win solution untuk Negara. Mereka adalah pelaku kriminalitas yang membawa uang rakyat dan merusak nama pemerintahan Indonesia, maka mereka harus kembali dan mempertanggung jawabkannya pada rakyat, jika hal ini dibiarkan hingga nanti, tak mencari tahu dimana keberadaan seorang najaruddin, sampai kapan hukum Indonesia terus diobok-obok, di ombang-ambing oleh pelaku-pelaku kriminalitas?
            Satu-satunya sandaran rakyat hari ini adalah ketegasan pemerintah juga hukum Indonesia, najaruddin dan yang lain mungkin dapat ditemukan jika pemerintah memberikan respon yang tegas untuk pelaku-pelaku ini. Bekukan asset-aset    mereka yang membuat mereka  mampu terus menghilang dari Indonesia atau berlakukan pencarian yang benar seperti pencarian para teroris yang selalu dikejar hingga pelosok. Maka inilah keadilan sesungguhnya, ketika pemerintah dan hukum saling bekerja sama, memberikan penyelesaian yang terbaik untuk Negara dan rakyat. Jika Singapura mampu mengurangi angka KKN negaranya, mengapa Indonesia tak mencoba? Kini semua ada pada kepercayaan Rakyat karena kepercayaan itu bisa jadi hilang akan pemerintahnya sendiri, dan kepercayaan itu dapat kembali utuh jika hukum juga pemerintah mampu bekerja sama. Dari rakyat untuk rakyat, Merdekakan Indonesia dari KKN!

             

CERPEN: Diary Fay tentang bunda



Hua..ha..ha….
Tawa juga lengkingan itu terdengar riuh keluar dari kelas 2 tempat dimana bu Hanum diamanahi sebagai wali kelas dengan 21 jumlah siswa yang ia tangani bersama 2 orang guru lainnya. Anak-anak sentak riuh mengelurkan suaranya ketika Bu Hanum mengajarkan IPA dengan menentukan kelompok berdasarkan bunyi suara hewan yang anak-anak tirukan untuk mencari kelompoknya. Riuh suara yang mampu menciptakan aura bahagia pada wajah seluruh siswa.
              Namun ada satu wajah yang membuat bu Hanum diam-diam terus memperhatikannya. wajah cantik itu milik Fay yang tetap diam dengan wajah sedihnya memeluk boneka panda yang selalu ia bawa jika berangkat ke sekolah.
              “Fay, boleh ibu duduk disini?” Tanya bu Hanum menarik kursi setelah anak-anak yang lain sibuk mengerjakan tugas. Fay hanya menatap wajah bu Hanum disertai gelengan kecil. Bu Hanum mengusap kepala mungil Fay yang dibalut jilbab putih dengan anak rambut yang muncul disana sini.
              “Oke ibu faham, tapi nanti kalau Fay mau cerita ibu tunggu ya….” bujuk Bu Hanum dengan senyum yang terus mengukir tanpa melupakan anak-anak yang lain. Fay masih diam dengan mata yang terus mengawasi teman-temannya yang tengah belajar juga bermain lego. Bu Hanum tersenyum mengikuti kearah mana pandangan Fay.
              “Mau main lego? yuk sama ibu…” Pegang bu Hanum pada pergelangan tangan Fay, namun Fay enggan untuk berdiri. Bu Hanum menarik nafas kecil lalu memilih membiarkan Fay sendiri dengan harapan semoga setelah ini Fay dapat bergabung bersama teman-temannya.
               Satu persatu anak-anak mengumpulkan hasil kerjanya dengan meletakkannya pada keranjang yang tersedia, lalu bermain di halaman sekolah juga berhamburan menuju kantin. Fay tetap duduk didalam kelas dengan kepala menunduk sembari mengelus-ngelus kepala bonekanya. Ada sedih yang tertampung pada hati juga air matanya.
****
              Bu Hanum membimbing tangan Fay mengantarnya turun menuju gerbang sekolah. Bu Hanum berharap dapat bertemu dengan pengantar Fay dan ingin tahu apa yang menyebabkan Fay selau murung dan sedih sendiri.
              “Fay, biasanya yang jemput Fay bunda ya?” Tanya Bu Hanum terus memancing Fay untuk berbicara, namun tak ada suara yang keluar dari pita suaranya kecuali gelengan khasnya.
              “Ayah?” Kembali gelengan itu terlihat dengan mata bulatnya yang terus memandang arah masuk mobil antar jemput. Bu Hanum terdiam sejenak, sampai akhirnya sebuah mobil silver Honda berhenti didepan gerbang sekolah berikut wajah Fay yang berubah cerah.
              “Bu Hanum?” Sapaan ini menyapa Bu Hanum yang lantas menarik seulas senyum, menatap wajah penjemput Fay, orang yang mampu membuat wajah Fay berubah tak seperti biasanya.
              “Maaf ibu, saya Naila pengasuh Fay. Hari ini bunda juga ayahnya tidak dapat menjemput”. Naila memberikan penjelasan yang sedikitnya mampu memberikan jawaban pada bu Hanum.
              “Bisa ngobrol sebentar?” Tanya Bu Hanum meminta kesediaan. Naila mengangguk lantas mengikuti bu Hanum menuju kantor setelah meminta Fay menunggu didalam mobil.
              “Saya Faham ibu…” Anguk Naila begitu Bu Hanum mengutarakan pertanyaan seputar keheranannya atas prilaku Fay ketika dikelas.
              “Bunda terlalu sibuk begitupula ayahnya. Bunda dan ayah selalu berada diluar kota terkadang mereka pulang ketika Fay sudah tertidur dan pergi lagi sebelum Fay terbangun. Fay hanya bertemu bunda dan ayahnya sepekan tiga kali, itupun jika mereka tidak punya halangan”. Panjang lebar Naila menyampaikan itu. Bu Hanum menarik nafas berat.
              “Oh ya bu, Ibu bisa baca diary Fay yang saya temukan dijok mobil. Mungkin terjatuh pagi tadi”. Bu Hanum mengambil diary biru dengan gambar sailormoon itu hati-hati, lalu membuka halaman demi halamannya yang tertulis kata-kata pendek dengan tulisan naik turun tak menentu.
Fay rindu bunda
Fay rindu ayah

Bunda, kapan berbicara sama Fay?
Bunda tidak sayang Fay ya?

Bunda pergi lagi
Fay ingin bersama bunda
Fay sayang bunda
Fay sayang ayah
Bunda dan ayah
Fay rindu, Fay mau Bunda selalu bersama Fay, mengantar Fay kesekolah, memakaikan baju sekolah Fay, menyiapkan botol minum Fay dan tugas sekolah Fay
Tulisan ini membuat air mata bu Hanum jatuh, membayangkan sosok kecil Fay yang ternyata ingin merasakan hal yang sama seperti teman-temannya. Diantar Bunda juga ayah ke sekolah dan selalu mengerjakan semua bersama-sama.
Fay iri sama teman-teman Fay
Fay sedih…
              Sampai disini yang merupakan penutup diary mungil itu, bu Hanum masih terus menyeka air matanya yang jatuhnya beriringan dengan tarikan nafas beratnya. Mungkinkan masih banyak Fay lain yang harus dikorbankan untuk sebuah kesibukan orang tua?
***
              Bu Hanum menatap wajah cantik didepannya bergantian dengan wajah tampan yang juga duduk didepannya. Diary mungil itu kini telah berpindah tangan pada keduanya yang membacanya dengan raut wajah berbeda dari sebelumnya. Wajah yang sama seperti bu Hanum sebelumnya.
              “Saya mohon bunda dan ayah memahami Fay, karena memang Fay telah kehilangan sosok bunda dan ayahnya. Fay tidak membenci bunda dan ayah. Fay hanya ingin bunda juga Ayah ada untuk Fay, menemani hari-hari Fay seperti kata-katanya pada diary yang kebanyakan berisi tentang bunda”. Senyum bu Hanum menatap wajah bunda yang basah. Bu Hanum terpaksa memanggil keduanya karena semua menyangkut prilaku Fay, kepribadian Fay juga perkembangan Fay. Ada nafas lega setelah semua selesai.
              “Dadah bunda, dadah ayah…” tangan itu melambai mengantar sang bunda dan Ayah yang balik membalas dengan kecupan pada kening Fay. Bu Hanum yang kebetulan ada di depan gerbang sekolah melemparkan senyum hangat pada bunda juga ayah, lalu memeluk tubuh mungil Fay yang kini mulai terbuka dan tertawa riuh bersama teman-temannya tanpa bayang kesedihan yang beberapa minggu lalu hadir disana pada wajah manisnya yang cerdas.
              “Fay sayang bunda bu..” Ungkapnya kali pertama pada Bu Hanum dengan senyum. Bu Hanum memeluknya hangat. Inilah harapan terbesar bu Hanum untuk Fay juga Fay-Fay lainnya.
Terinspirasi dari kisah Hanin yang merindu sentuhan bunda juga ayah







CERPEN: Semua Karena Cinta



Senin, 060409 Perempatan jalan Gatot Subroto balikpapan, 09:00 pm
Untuk yang kesekian kalinya, mataku kembali menangkap wajah lelaki itu. Wajah yang selalu tersenyum dibalik wajahnya yang terkena sinar lampu jalan dari segala penjuru. Wajah yang tersenyum didepan pelanggannya yang datang juga pergi, dibalik gerobak dorongnya dengan kesibukannya, melayani mereka.
Disana, dibalik gerobak dorongnya sebuah kompor menyala dengan nyala api yang kecil berwarna biru. Nyala yang semula kecil itu pun terlihat hilang sama sekali, ketika hembusan angin menyapanya dengan hembusannya yang kecil namun cukup untuk membuat nyala itu hilang untuk sekejap. Diatasnya, ada penggorengan mini dengan potongan tahu yang tersusun rapi, berenang dalam minyak yang masih terlihat bening. Tak jauh dari sana, telah tersusun tiga pembungkus yang sudah terisi potongan lontong, beberapa mentimun, kecambah, sedang  menunggu campuran berikutnya yang sementara diolah.
            Tangan kanannya bergantian membalik potongan tahu yang mulai menguning. Bolak kanan bolak kiri. Selepas itu, tangan itu berpindah pada cobekan yang berisi kacang tanah, garam juga campuran lainnya, dan lincah ulekan batu itu pun bergoyang persis penari rancak, menghancurkan kacang hingga halus dengan bantuan air yang ia tumpah hati-hati dari sebuah botol air mineral berwarna hijau, walau tak halus seperti sutra, tapi hasilnya cukup enak untuk dipandang dan nikmat untuk dinikmati.
            Aku menarik nafasku dari balik kaca mobil, terus memperhatikannya, sampai tahu itu diangkat dan dipotong dadu sebagai pelengkap terakhir, dan dicampur dengan bumbu kacang pada atasnya.  Selepas itu, cekatan tangannya membungkus ketiganya dan mengikatnya dengan karet gelang berwarna, lalu menyerahkannya pada pelanggannya dengan wajah cerah dihiasi senyum yang tak pernah dioffkan
            “Terimakasih pak.” Ucapnya lembut dengan senyumnya yang tersungging manis tanpa paksaan. Tak ada malu atau pun bahasa lain yang membuat dirinya minder berdiri disana dengan gerobaknya yang juga terlihat sudah seharusnya diganti.
            “Sama-sama mas.” Ramah pelanggannya membalas, lantas meninggalkan sang lelaki yang kembali disibukkan dengan pelanggan lain yang memesan hal serupa. Tak ada lelah disana, apalagi keluhan yang panjang seperti rel kereta api dengan bunyinya yang memekakkan telinga. Dan  aku menyimpan kagumku padanya.
 Setengah jam disana, menyaksikan kesibukannya itu, mobilku pun perlahan meninggalkannya menuju pulang. Lelahku telah bersuara untuk membawanya istirahat, lelah yang membuatku ngedumel dalam hati. Lelah yang membuat bibirku enggan untuk menarik urat-urat pendukung senyumku yang kuakui ingin berexspresi seperti yang lain, seperti lelaki itu. Ya!
            “Zivo…how are you? Are you oke?” Tanya tetangga apartementku yang juga baru pulang dari kantor seperti halnya aku. Aku membalas dengan tarikan nafasku. Aku lelah dan aku tak ingin membalas tanyanya, karena aku tahu, jika aku membalasnya, maka dijamin aku akan kehilangan waktuku untuk melepas lelahku juga letihku setelah seharian duduk dibalik meja kerja dengan setumpuk pekerjaan yang non stop datangnya.
            “Zivo….”
            “Please….” Tatapku dengan enggan, membuka pintu apartemenku. Bibirnya manyun, lantas bersegera membuka pintu apartementnya pula.
            Aku melempar tubuhku ke atas spring bed, melepas lelahku. Sungguh, aku merasa tulangku semua berbunyi, bunyi Karena melepas ketegangannya. Tapi biarlah, aku tahu mereka punya haq untuk itu.
            “Huf….” Tarik nafasku, menatap langit-langit kamar. Dilangit-langitnya itulah aku terbayang wajah tersenyum lelaki itu. Senyum tanpa lelah menyambut pelanggannya dengan berdiri tegak tanpa berhenti, dengan gaya khasnya, persis koki-koki restoran dengan lengan baju yang dibiarkan tergulung hingga pergelangan tangan, untuk melayani pelanggan yang kuyakini tak berhenti berdatangan. Satu pergi, maka akan datang yang berikutnya. Begitu seterusnya. Dan pada fikirku aku bertanya apa lelah itu enggan menyapanya? Apa tulang pungungnya tak meminta haqnya? Apa bedanya ia denganku? Kenapa aku lelah dengan semua? Padahal aku duduk dikursi empuk dengan segala fasilitas lengkap. Kenapa lelah itu datang padaku? Aku terus bertanya sampai aku terlelap akhirnya, dengan Tanya yang belum terjawab.
            “Zivo…ntar kamu pulang jam berapa?” sapa tetanggaku itu kembali, ketika pagi itu aku kembali dari jogingku.
            “Seperti biasa.”
“What? Seperti tadi malam?”
“Ya.”
“Wow…rupanya kamu workaholick ya.”
“Terserah deh, yang penting aku nggak punya waktu untuk ngobrol…key?”
“Oke…aku tahu.” Senyumnya, menuju mobilnya. Masih terlalu pagi kukira, untuk menuju kantor. Ya, masih terlalu pagi.
Jam 06:30 menurutku masih begitu pagi untuk memulai aktifitas kantor.
Semua Karena Cinta
Selasa, masih tempat yang sama, jam yang sama
Senyum itu kembali kulihat, terukir cantik seperti matahari jika siang dan seperti bulan jika malam. Senyum yang membuat aku bertanya dengan Tanya yang serupa. Apa lelah itu enggan menyapanya?
Lelaki itu dengan gerobak dorongnya berdiri tepat diantara tiga sisi jalan. Tepat disamping kirinya, 4 m dari gerobaknya ada jalan luas yang dari sana banyak bermunculan mobil dengan aneka merk keluar masuk, juga motor yang jika dihitung akan memakan waktu. Disebelah kirinya terdapat rumah makan yang juga selalu dipadati pengunjung dengan mobil yang berjejer ditepi jalannya. Sedang dari depan, aneka kendaraan melintas cepat dengan laju yang tak diperhitungkan. Adakalanya lajunya seperti jet couster, dan adakalanya juga seperti putaran roda delman, pelan dan pelan. Dan untuk yang kedua inilah yang jarang terlihat, justru yang pertamalah yang mengerikan untuknya juga rekan-rekan seprofesinya yang melakukan hal yang sama, setia dengan gerobak juga kompornya yang menyala kecil.
Ada desah khawatir pada kepalaku. Sungguh aku mengakui, senyum itu sangat berarti bagiku akhir-akhir ini dengan keletihanku yang tinggi. Aku ingin sepertinya dengan senyum yang selalu mengembang, memberi kedamaian bagi semua, bagi diriku sendiri. Aku butuh relaxsasi dengan senyum yang terasa berat hadir pada wajahku
Aku pekerja kantoran yang punya jam super sibuk dengan surat-surat yang keluar masuk, juga dengan kesibukan melayani dering telfon yang selalu berbunyi, hingga selepasnya aku akan kehilangan semangat karena lelahku. Tak ada senyum pada wajahku karenanya, tak ada canda yang mewarnai, tak ada tawa yang berderai. Karena ending dari pekerjaanku itu adalah ending yang melelahkan! Lelah lahir juga bathin….
Dan aku menyimpan rasa penasaran pada wajah lelaki yang sentiasa tersenyum itu. Ia sama denganku, sama-sama punya jam sibuk. Tapi, kenapa ia punya senyum tanpa lelah yang tak terlihat disana? Kenapa? Dan aku rasa aku harus menanyakannya segera. Aku butuh jawab sumber dari senyum itu
Kakiku kini telah menyentuh aspal, ingin menyapanya, namun mataku menangkap wajah yang tak asing lagi pada ingatanku. Wajah tetanggan apartementku yang selalu mengnagguku dengan tanyanya jika aku pulang dari pekerjaannku, dan karena lelahku  yang menuntut untuk  istirahat, aku mengacuhkan tanyanya. Ragu, kakiku pun kembali naik.
Aku memperhatikannya dari kaca mobilku kembali. Ada tawa berderai disana….dan Tanya itu pun kembali datang. “kemana lelah kalian pergi? Kemana? Beritahu aku” teriak hatiku dengan dentingnya yang terus bergerak riuh, hingga aku muak, dan melarikan mobilku segera, jauh dari pemandangan itu. Jauh !
Dan aku pun merasa lelahku bertambah!
Semua Karena Cinta
“Zivo…how are you? Are you ok?” ketuk pintu itu terdengar, dengan sapaan yang selalu sama.
“Emangnya kenapa?” sahutku dari dalam kamarku, lantas segera menuju kedepan, membukakannya pintu.
“Nggak pergi kerja?”
“Aku lelah….”
“Huf…kamu lelah? Karena pekerjaan kamu?”
“Ya….”
“Karena lelah itu, kamu nggak pernah tersenyum bukan?” senyumnya padaku. Lagi-lagi senyum! Senyum yang kusadari tak pernah hadir dalam hidupku, pada kedua belah bibirku akhir-akhir ini.
“Please deh Dit…jangan tersenyum padaku, seolah kamu senang  dengan kondisiku.”
“Ho…Aku tersenyum karena kamu benar-benar aneh Ziv, dan aku tersenyum bukan karena kondisi kamu, tapi aku tersenyum karena prihatin denganmu.”
“Prihatin?”
“Ya!”
“Kenapa?”
“Bukannya kamu selalu hadir menyaksikan seorang lelaki dipinggir jalan dengan gerobaknya, dengan senyum tulusnya?”
“Kamu?”
“Afwan Ziv, aku tahu itu kamu, karena aku pun ada disana, untuk belajar dari lelaki itu, tentang senyumnya yang selalu on pada bibirnya, setiap malam, sejak ia muncul disana dengan dagangannya.”
“Kamu?”
“Dulu aku pun sepertimu Ziv, jika lelahku datang, maka akhir dari lelah itu adalah istirahat yang pada akhirnya membuatku putus asa dengan rutinitas itu, dan yang lebih membuatku prustasi, aku tak pernah senyum karena lelah itu. Dan aku menemukan aku yang dulu padamu.”
“senyum itu?”
“Senyum ini dapat santai lepasnya, karena satu hal yang kudapatkan darinya, lelaki itu.”
“Apa itu?”
“Cinta?”
Mendengar ucapannya ini, aku menggigit bibirku bingung. Apa hubungannya lelahku dengan cinta? Pekerjaanku dengan cinta?. Aku menatap mata Dita menvari jawabannya pada mata beningnya yang kini selalu cerah, ya cerah dimana pun ia kini berada. Pada bibirnya yang selalu dipoles senyum manis, bukan lagi Dita yang dulu seperti jelmaan patung Fir`aun dimataku.
“Dit….”
“Cepatlah sehat, dan temui lelaki itu sendiri, jangan jadi pengecut dan benci dengan mereka yang selalu tersenyum hingga kamu akan terus dalam mobilmu, menyaksikan senyum itu. Keluarlah, sapa lelaki itu…”
“Aku….”
“Zivo…please.” Pinta Dita kembali tersenyum, keluar dari apartementku. Aku menghela nafasku kuat mengiringi langkahnya.
“Cinta?”
“Oh ya Zov…cinta bukan hanya bahasa orang yang lagi falling in love, tapi bahasa untuk semua keadaaan.” Senyumnya muncul kembali dari balik pintu. Aku kembali menggigit bibirku.
“Cinta???” alisku seakan berlipat lebih dari yang kubayangkan memikirkan ini. Ya hanya memikirkan satu kata ini.
 Cinta!
Semua Karena Cinta
Maghrib, setelah aku menyelesaikan shalatku dimusolla tepi jalan, aku segera menuju mobil, dan bergerak menuju tempat dimana lelaki dengan senyum itu berada. Mataku memperhatikan jalan itu, namun aku tak menemukan lelaki itu disana. Tempat itu telah diganti dengan sebuah gerobak berbeda dengan orang yang berbeda pula.
“Kemana lelaki itu?” tanyaku, segera melangkahkan kakiku menyapa lelaki yang menggantikan posisinya.
“Maaf, kemarin malam dia ditima musibah ketika keluar dari gang rumahnya. Sekarang dirumah sakit…..” lelaki itu menunjukkan padaku sebuah rumah sakit ternama di kota ini. Tanpa menunggu, kakiku melangkah reflex menuju mobil, dan berbalik menuju rumah sakit, untuk mencari lelaki dengan senyumnya yang selalu terbayang pada mataku.
Ada keteduhan….
Ada sebuah keikhlasan….
Ada ketulusan disana….
Apakah itu yang namanya cinta? Dan ini akan terus terbayang pada fikirku, dan aku yakin jawabnya hanya bisa kutemukan ketika aku bertemu dengannya. Ya!
“Pasien ini akan dioperasi hari ini, kami sedang menunggu keluarganya untuk menandatangani berkasnya.” Ucap dokter paruh baya itu padaku, ketika aku menanyakan pasien lelaki itu di ruang administrasi rumah sakit.
“Sudah menghubungi mereka?”
“Tak ada alamat terang tentang keluarganya.”
“Dia tidak punya kartu asuransi atau sejenisnya?” tanyaku lagi. Dokter yang bertugas menanganinya menggelengkan kepala.
“Maaf, kami tidak menemukan itu.”
“Huf….” Hela nafasku, merogoh kantung jaketku, menyodorkan kartu asuransi milikku, untuk jaminan agar operasinya segera dilakukan, tanpa ditunda.
“Ini?”
“Ini jaminan untuknya, karena saya tidak membawa uang cukup.” Ucapku, melangkah meninggalkan ruang administrasi menuju ruang  dimana lelaki itu tinggal.
“Bumi Putera?”
“Ya! Oke, lakukan operasi sekarang!” riuh suara dibelakangku berucap untuk menyegerakan operasi lelaki dengan senyum yang kurindukan itu.
RS Healty,120409, 08:00 pm
            Lelaki itu tenggah tersenyum memandang matahari yang memantulkan sinar keemasannya menyapa pagi, dengan cerah. Cerah dengan awan putih campur biru yang mengelilingi langit. Aku menujunya dengan langkah pasti. Aku ingin jawab itu segera.
            “Assalamu`alaikum anak muda….” Sapanya ramah padaku, ketika ia menoleh mendengar langkahku. Ada senyum disana, senyum yang berkembang sempurna, seperti biasa, dan begitu cerah, secerah matahari yang kudapatkan pagi ini.
            “Anda?”
            “Adit sudah memberitahukan saya tentang kamu.”
            “Adit?”
            “Temanmu yang menjadi langganan tetap dagangan saya.”
            “Ya.”
            “Bagaimana? Kamu ingin menanyakan sesuatu? Saya menunggumu.” Senyumnya dengan wajah bijaknya, sebijak bestari.
            “Saya…”
            “Anak muda, kamu tahu, kenapa saya bisa tersenyum dengan keadaan saya? Dengan pekerjaan sebagai pedagang?” tanyanya. Aku menggeleng sigap. Lelaki itu melangkah menuju jendela dengan langkah tertatih-tatih. Sigap aku membantunya menangkap tubuhnya, menyangganya menuju jendela. Kini sinar matahari menabrak wajah kami. Ia kembali tersenyum.
            “Semua karena cinta, anak muda.”
            “Cinta?”
            “Ya, ketika kamu mencintai sesuatu, apakah kamu akan berkorban untuknya?” tanyannya. Sejenak aku terdiam, bertanya pada hati juga fikirku.
            “Sebisa mungkin.”
            “Saya juga punya lelah juga letih yang sama denganmu anak muda, jika saya tak punya lelah juga letih, tentu saya bukan manusia. Yang menggerakan saya untuk melawan lelah juga letih yang ada hanya satu. Cinta!. Cinta pada keluarga yang menunggu saya, karena mereka amanah yang harus disejahterakan dan akan dipinta pertanggung jawabannya kelak. Cinta pada yang punya alam, yang telah memberikan saya kesempatan untuk mencari rizki-Nya yang bertebaran dimuka bumi. Seperti halnya binatang lain, apa kamu yakin mereka punya cinta?” tanyannya lagi, yang membuat aku kembali terdiam.
            “Ya!”
            “Perhatikanlah apa yang kamu lihat dimanapun anak muda. Perhatikan matahari yang bersinar karena wujud kecintaan yang punya Alam pada Manusia, mengganti malam kepada siang, sebagai bentuk cinta-Nya, dimana dua waktu ini kamu bisa mencari rizki juga istirahat. Dan tahukah kamu anak muda, karena apa seorang hamba Allah tergerak untuk membantu saya disini?” kembali aku menggeleng sigap. Bukan karena aku bodoh, hingga hanya itu yang bisa kulakukan. Itu karena otakku blank dengan semua. Ya, Blank!
            “Semua karena cinta Allah pada hamba-Nya, yang ia gerakkan hatinya untuk menolong sesama makhluq Allah. Ada cinta disana anak muda. Dan jika kamu tak bisa memerankan amanah yang Allah beri padamu hari ini dengan sebaik-baik penjagaan amanah itu, kamu akan merasa itu beban yang berat, contohnya tak ada senyum pada raut wajahmu. Cobalah cintai pekerjaanmu dengan baik, maka kamu akan menganggap itu adalah anugrah yang luar biasa. Satu lagi, yang mungkin kamu lupakan, jika kamu benar-benar ingin melepas lelahmu, ambillah wudhumu yang jarang kamu sentuh. Semua terbukti dari wajahmu yang kering, dan bawalah ia bertemu Allah, mencurahkan semua pada-Nya ”
            “Saya….”
            “Semua karena cinta anak muda, dan terimakasih atas bantuanmu untuk saya.” Senyumnya kembali, menutup dengan ucapan terimakasih atas bantuanku.
            “Itu...”
            “Kenapa?”
            “Anda punya haq disana.” Lelaki itu menarik senyum kembali, lalu menatapku lama dengan tarikan nafas kecilnya yang berhembus teratur.
            “Ada cinta pada ucapanmu anak muda….” Ucapnya yang membuat aku terperangah.
            “Cinta?” tanyaku, mengingat apa yang aku katakan barusan padanya.
            “Cinta pada sesama. Bukankah Rasul telah mengatakan bahwa akhalq sesama muslim adalah membantu kesulitan saudaranya? Seperti yang dilakukan sahabat dulu?” ucapnya kembali, yang membuat aku mengernyitkan dahi. Dan pada kernyitan itu, perlahan sebuah senyum terbentuk pada bibirku. Senyum yang kuarasa keluar tanpa beban, tanpa paksaaan!
Akhir bulan mei 09
            Genap dua pecan sejak lelaki itu keluar dari rumah sakit, ia kini mulai kembali menjajakan dagangannya disana, diantara tiga ruas jalan dengan gerobaknya, juga senyum ketulusannya yang selalu on tanpa henti. Lelaki yang mengajarkankanku sebuah hikmah dari perjalanan waktuku. Kini aku telah keluar dari kantorku, menuju pulang. Ada senyum pada tarikan nafasku, ketika aku melihat lelaki itu. Aku berniat untuk menyapanya malam ini.
Mobilku kubiarkan terparkir tak jauh dari tempat dimana lelaki itu tenggah menjajakan dagangannya. Memperhatikannya sejenak, lalu aku pun segera turun dari sana menujunya. Di belakang gerobaknya kini diletakkan sebuah bangku kayu, tempat sebagain pelanggannya duduk menunggu. Ketika aku menuju kesana, disana telah duduk seorang nenek tua dengan tas dekilnya. Ketika melihatku, ia menegadahkan tangannya meminta sedekah padaku. Aku melirik lelaki itu sejenak, lantas merogoh kantungku, mengambil satu lembar uang untuknya. Ia menyambut dengan ucapan terimakasih yang begitu pelan terlahir dari bibirnya. Tak sampai disitu, ia kembali mendatangiku, meminta bantuan untuk menyebrangkannya keseberang jalan. Maka dengan ucapan bismillah, aku memegang tangan keriput itu, keriput karena dimakan usia, dan membawanya menyeberangi jalan menuju seberang. Selepas itu, aku segera kembali menuju ketempat lelaki itu. Melihatku ia tersenyum.
            “Ada dua kejadian yang kamu temukan malam ini anak muda.”
            “Anda benar….”
            “Dan keduanya, apa menghadirkan kelegaan pada hatimu?”
            “Itu….”
            “Darimu, Allah menitip rizki nenek tadi, dan kamu telah menyampaikannya. Dan darimu, Allah menitipkan amanah untuk menolongnya menyebrangi jalan. Dari keduanya, semua berkumpul pada satu kata.”
            “Cinta?”
            “Ya, karena cinta Allah yang dititipkan padamu, hatimu tergerak untuk itu, maka bersyukurlah, karena hatimu tak mati dari kepekaan pada sesama.” Senyumnya pasti, menepuk pundakku, seraya menyodorkan padaku dagangannya.
            “Pada tahu tek-tek ini pun ada besaran cinta didalamnya, kamu tahu?”
            “Ya….” Senyum itu pun terukir pada bibirnya, menatap langit malam yang terlihat gelap, tanpa bintang yang bertebaran. Langit mala mini telah mengukir mendung dengan kilatan yang jelas terlihat seperti nyala obor yang menerangi.
            “Apakah senyum ini karena cinta?” aku tak ingin memberi jawaban, biarlah mereka menyimpulan apa makna semua. Biarlah anda yang menyimpulkannya.
            Sebuah perjalanan telah menyadarkanku bahwa begitu besar sebuah cinta untuk sesama, Karena cinta seekor binatang mampu melakukan segalanya untuk anak-anaknya. Karena cinta pula hatiku tergerak untuk memaknai setiap waktu juga pekerjaannku. Kini karena cinta itu, adrenalinku terpacu untuk lebih baik menghargai pekerjaanku. Menghargai orang disekelilingku, menghargai setiap manusia hingga aku selalu tersenyum pada setiap waktuku tanpa paksaan. Semua tulus terlahir dari hatiku, untuk semua, juga untuk anda.