Berapa gajimu?
Hari yang
membahagiakan bagi seorang karyawan (biasa)nya ada di awal bulan dalam setiap
bulannya. Bukan karena mendapatkan hadiah besar atau jalan-jalan plesiran ke
luar negeri. Itu karena isi ATM yang tadinya minim angka tiba-tiba menjadi
angka maksimal. Atau bagi yang tak punya ATM tiba-tiba memperoleh amplop
cokelat dan dompetpun berisi tebal.
Yaah…manusiawi-lah itu
saya kira. Namanya juga hidup, semua pasti membutuhkan uang untuk menunjang
kebutuhan primer maupun sekunder. Namun terkadang uang itu hanya sekedar mampir
di dompet.ATM, tiba-tiba sudah beralih kepemilikan karena ini-itu.
Suatu ketika saya
pernah ngobrol santai di angkot bersama satu orang ibu. Bercerita ringan
tentang “apa sih rezeki itu?”
“Kadang
kita menyimpan uang yang banyak, tiba-tiba saudara kita atau yang lain butuh. Maka
uang yang kita simpanpun beralih menjadi milik mereka..”
“itu
karena uang itu bukan milik kita, bukan rezeki kita..jadi usahlah disesali..”
Saya
tersenyum kala itu. Membenarkan sepenuhnya apa kata sang ibu.
“Konsep
saya sederhana bu. Yang saya minta bukan berapa banyak uang yang harus saya
miliki, tapi yang saya minta adalah ketika saya butuh apapun, insyaAllah selalu
ada..butuh-ada”
“Disanalah
saya belajar indahnya bersyukur…”
Terkadang justru kita dihadapkan pada
pertanyaan “Stt, berapa gajimu?” sepenting itukah gaji kita untuk diketahui
orang?
Tidak salah sih…tapi
pentingkah untuk diketahui?
Menurut
saya bukan itu yang penting. Yang penting adalah seberapa besar syukur terucap
saat mendapatkan kisaran gaji itu. Dalam setiap gaji yang kita peroleh, ada ha
mereka disana untuk diinfakkan, disedekahkan. Jadi jika menemukan orang yang
membutuhkan maka berilah sesuai kemampuan. Jikapun tidak, maka sampaikan
penolakan secara halus.
Intinya
yang penting bukan pertanyaan “berapa gajimu,” tapi berapa besar syukurmu?”
Kamp-timur,
28august2015
Komentar
Posting Komentar