Kamis, 27 Agustus 2015

Berapa gajimu?




Hari yang membahagiakan bagi seorang karyawan (biasa)nya ada di awal bulan dalam setiap bulannya. Bukan karena mendapatkan hadiah besar atau jalan-jalan plesiran ke luar negeri. Itu karena isi ATM yang tadinya minim angka tiba-tiba menjadi angka maksimal. Atau bagi yang tak punya ATM tiba-tiba memperoleh amplop cokelat dan dompetpun berisi tebal.
Yaah…manusiawi-lah itu saya kira. Namanya juga hidup, semua pasti membutuhkan uang untuk menunjang kebutuhan primer maupun sekunder. Namun terkadang uang itu hanya sekedar mampir di dompet.ATM, tiba-tiba sudah beralih kepemilikan karena ini-itu.
Suatu ketika saya pernah ngobrol santai di angkot bersama satu orang ibu. Bercerita ringan tentang “apa sih rezeki itu?”

“Kadang kita menyimpan uang yang banyak, tiba-tiba saudara kita atau yang lain butuh. Maka uang yang kita simpanpun beralih menjadi milik mereka..”
“itu karena uang itu bukan milik kita, bukan rezeki kita..jadi usahlah disesali..”
Saya tersenyum kala itu. Membenarkan sepenuhnya apa kata sang ibu.
“Konsep saya sederhana bu. Yang saya minta bukan berapa banyak uang yang harus saya miliki, tapi yang saya minta adalah ketika saya butuh apapun, insyaAllah selalu ada..butuh-ada”

“Disanalah saya belajar indahnya bersyukur…”

          Terkadang justru kita dihadapkan pada pertanyaan “Stt, berapa gajimu?” sepenting itukah gaji kita untuk diketahui orang?
Tidak salah sih…tapi pentingkah untuk diketahui?

Menurut saya bukan itu yang penting. Yang penting adalah seberapa besar syukur terucap saat mendapatkan kisaran gaji itu. Dalam setiap gaji yang kita peroleh, ada ha mereka disana untuk diinfakkan, disedekahkan. Jadi jika menemukan orang yang membutuhkan maka berilah sesuai kemampuan. Jikapun tidak, maka sampaikan penolakan secara halus.

Intinya yang penting bukan pertanyaan “berapa gajimu,” tapi berapa besar syukurmu?”


Kamp-timur, 28august2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar