(Novel) Gw Bilang Cinta - (1)
SATU
Ashila menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal
lantaran bingung antara harus menjawab ya atau tidak terhadap amanah yang
langsung dialamatkan padanya. Ashila diminta untuk mewawancarai langsung tim
basket putra yang telah menjadi jawara olimpiade olahraga antar sekolah kemarin
atas kepiawaian Riqz sebagai kapten yang dimata Ashila sombong Begete!
“Bukan
karena Rizq ada, hingga tim basket kita menang! itu semua karena Allah yang
sudah mengaturnya”. Ucap Ashila saat itu, mencoba meluruskan paradigma keliru
yang dilontarkan ketua pelaksana bulletin
skull “Basket dapat menjadi seperti
itu karena peran Rizq..”. Semua anggota rapat hanya meliriknya sebentar.
Tak menggubris sedikit pun apa yang ia suarakan.
Mungkin kebanyakan cewek-cewek
aliran handsomeisme histeris dengan
tampangnya yang tampan sekelas wajah-wajah coverboy majalah berkelas negeri
atau majalah lain, tapi tidak untuk Ashila. Bagi Ashila, Rizq adalah
manusia paling menyebalkan yang ada di
muka bumi. Bukan itu saja, Ashila menganggap Rizq adalah makhluq langka yang
harus segera dimusiumkan! Yah inilah pikiran Ashila untuk manusia bernama Rizq ini, sebelum ia punah!
Saat ini Muhammad Rizq Fahreza duduk
dibangku kelas 3 IPA, sedang dirinya tercatat sebagai adik kelas di 1 IPA.
Ashila ingat ketika awal masuk menjadi salah satu dari ratusan Siswa SMA Real
Generation sebelas bulan lalu, ia dan rekannya yang menjadi sahabat saat ini
menjadi bulan-bulanan masa MOS, yang dipimpin oleh Rizq dan para pengawalnya.
Hari itu, Ashila telat lima menit
karena membantu Bunda membereskan barang baru yang masuk ke butik. Ketika
Ashila tiba di Sekolah, di depan lapangan tempat berkumpulnya siswa baru yang
mengikuti MOS, Rizq tersenyum sinis dengan topi pet yang menghiasi batok
kepalanya, menghalau panas yang seketika panasnya membuat kepala setiap orang
ingin segera berteduh. Sesegera mungkin!
“Hei, kenapa telat!?” tunjuknya
pada Ashila. Ashila menautkan alis menatap jam ditangan kirinya yang melingkar
manis. “Gue kan udah izin…” pikir Ashila ganti memicingkan mata menatap
Rizq yang melangkah tegap menujunya. Heran!
“Sini!” intonasi tegas itu
terdengar memintanya untuk segera menghadap. Ashila menggigit bibirnya menatap
Rizq tak berkedip, melangkah dengan langkah yang tak kalah tegapnya menuju Rizq
dengan dikawal panitia MOS yang lain, persis bos dengan gaya nge~bosy yang
menyebalkan!
“Kenapa telat, Ashila Ainnazwa!”.
Lengkap nama itu disebutkan dari mulutnya. Pertanda marahnya berada di atas
rata-rata atau lebih dari itu. Andai marah dapat diukur dengan benda sejenis
thermometer, mungkin dia berada di atas 100 derajat celcius. (he…he)
“Privasi!” ucap Ashila cuek dengan
nada yang sama. Ashila merasa ini wajar ia lakukan, sebab Ashila tak merasa
dirinya melakukan kesalahan.
“Lo bilang apa?” Alisnya bertaut. “Privasi?”
Sambungnya melotot tajam dengan senyum mengejek, mengelilingi Ashila sebagai
terdakwa. Ashila yakin kali ini ia akan menjadi bahan “Iseng” panitia MOS. Satu-satunya
jalan yang Ashila ambil adalah cuek juga pasrah. Inilah taqdir pertamanya untuk
mendapatkan label siswa Real Generation. Taqdir yang membuat Ashila muak jika
harus berurusan dengan Rizq kembali, juga takdir yang mempertemukannya dengan
Zihan juga Zora.
“Nggak dengar atau…..” Balas
Ashila menatap mata Rizq cuek, membuat muka Rizq merah padam.
“Lo tau, sekarang berhadapan
dengan siapa?”. Lototnya garang. Ashila mengangguk. Tetap dengan mempertahankan
sisi~cuek dirinya, karena memang dirinya tahu siapa Rizq. Ashila melirik wajah
Rizq. Disana nampak kerutan di dahinya yang bercampur dengan keringat. Huuh, jijay!
“Muhammad Rizq Fahreza al-Faqih!”.
Satu kosong! Nama ini pun keluar dari bibir Ashila. Rizq menghembuskan nafas
kesal. Kali pertama ia diperlakukan tak biasanya oleh seorang perempuan. Jika
dirinya sering menemukan senyuman pada setiap wajah perempuan padanya dengan
nada genit, maka lain dengan wajah dibalut jilbab putih di depannya. Rizq
benar-benar dibuat salah tingkah di depan teman-temannya sendiri.
“Lo berani nantang Gue?” Langkah
Rizq mendekat.
“Gue berani karena Gue nggak
mengaku salah! Gue sudah izin lima menit sebelum Gue kesini! Anggota Lo aja
kali yang sengaja mencari celah untuk mencari korban ”iseng” MOS.” Bela Ashila
mengernyitkan dahinya, menghalau sengatan matahari yang menyentuh pipinya dan
menghalau sinar matanya.
“Lo!” Mata Rizq menatap tajam,
“Apa!?”. Tantang Ashila yang
semakin gerah di bawah terik matahari yang seolah menguliti kulit wajah dan
kepalanya.
Rizq mundur beberapa langkah. Lalu
….
“Zaldy! Bawa manusia ini ke ruang
OSIS!” Perintahnya meninggalkan Ashila yang segera mengekor di belakang Zaldy
menuju ruang OSIS tanpa dipinta untuk kali kedua. Rizq malas berurusan lama
dengannya. Ashila tahu, Rizq juga ingin segera menghindar dari teriknya
matahari yang membuat keringat sebesar butir jagung itu meleleh dari balik topi
petnya, persis es krim tatkala meleleh jika terkena panas.
Di tengah langkah itulah, Ashila tersenyum,
senyum karena teriknya matahari tidak melahapnya lagi. Ashila terus mengikuti
langkah Zaldy menuju kantor OSIS yang letaknya di belakang gedung kesehatan
sekolah. Mengekor layaknya bebek mengikuti induknya. Kemana ia pergi juga
berhenti, disanalah sang anak bebek terus mengikuti.
“Kamu disini, sampai ada yang menjemput.…” Ucap Zaldy begitu pintu
OSIS telah terbuka. Begitu Ashila masuk, pintu itu segera di tutup kembali oleh
Zaldy sang ketua ROHIS yang juga merupakan salah satu dari panitia
MOS di bawah kepemimpinan Rizq.
“Terimakasih…” Balas Ashila.
Begitu Ashila berbalik telah ada
dua gadis seusianya yang lebih dulu masuk ke ruang OSIS. Keduanya tersenyum
menyambut Ashila.
“Kamu korban juga? Aku Zihan!” Senyumnya
manis dibalik balut jilbab putihnya, menghampiri Ashila tanpa lupa mengulurkan
tangan kanan. Ashila menyambutnya ramah. Zihan tipikal manusia to the point. Inilah gambaran Ashila
pada kesan pertama pertemuannya.
“Ashila Ainnazwa...” Senyum Ashila
mengukir cantik.
“Hei… jangan lupa ama Gue dunk!
Gue Zora!” Gadis tinggi semampai dengan lesung pipi cantik itu tak mau kalah,
melompat turun dari bangku yang ia duduki, memperkenalkan dirinya dan tanpa
basa-basi langsung mengambil tangan Ashila, menggenggamnya erat. Zora tipikal
manusia cuek berhati mulia. Inilah gambaran Ashila terhadap kesan pertama yang
tak jauh berbeda dengan tipikal Zihan. Care!
“Ashila Ainnazwa!” ulang Ashila
kembali, dengan senyum cerah.
“Gue ada disini karena Gue lupa
membawa papan baliho nama Gue…ya biasalah, memang tuh orang nggak suka aja liat
kita happy.” Ucap Zora lucu, menyebut tanda pengenal dengan sebutan papan
baliho. “Bukannya itu papan ukuran besar
yang bertengger dipinggir jalan khusus untuk iklan?” pikir Ashila lucu.
Ashila tersenyum menatap kedua
teman barunya bergantian. Sungguh perjalanan taqdir ini telah mengantar Shila
bertemu teman-teman ajaib yang mempunyai jiwa besar.
“Aku karena nggak mau disuruh
menirukan gaya monkey keliling lapangan, makanya ada disini. Tapi untung juga
sih, aku jadi punya teman baru yang asyik!” ucap Zihan dengan mata mengedip, husnuzzon[1]
dengan apa yang menimpanya. Alis matanya yang tebal membuat wajah itu begitu
manis. Zihan gadis indo keturunan Arab-Sunda yang pindah dari sebuah pesantren
karena mengikuti orang-tuanya bertugas.
Dulunya ia sempat tinggal di Damaskus mengikuti ayahnya yang menjadi duta
Indonesia untuk Damaskus. Ia sempat belajar di sebuah ma`had tahfidz selama 2
tahun disana. “Aku hanya mengambil ilmu
agamanya aja, tapi untuk hafalan aku hanya mengikutinya sesekali tanpa ikut
programnya. Tapi dengan itu, aku sedikitnya hafal 5 juz”. Ucapnya saat ada
yang bertanya.
5 juz?
wow!
“Kalau Lo napa Shila?” Tatap Zora
meminta penjelasan dengan memotong namanya begitu saja tanpa izin. “Emang napa Shil harus pake izin segala?
orang yang ada di atas pemerintahan aja terkadang asal comot hak orang gak pake
izin!”. Belanya dengan senyum yang lucu. Ngeledek cerdas kata Ashila.
Ashila menarik nafas kecil sebelum menjawab.
“Karena telat lima menit dari jadwal yang ada, itulah
mengapa aku ada disini. Fikiranku masih sama, tentang bangsa Indonesia yang kebiasaan lelet dalam artian masih always setia dengan gelar jam karetnya,
jadi aku lebih semangat ketika Bunda meminta tolong. Ternyata bangsa kita sudah punya kemajuan
dalam menghargai waktu. Tapi yang ngebuat aku nggak terima, karena aku udah
izin sebelumnya ama sekretarisnya akan terlambat, tapi sekretarisnya aja kali
yang nggak nyampein ama si Fir`aun tuh!”
“He…he….Lo nyebut dia Fir`aun? Gue
setuju!” senyum Zora disertai tawa kecil. Zihan terlihat hanya mangut-mangut
kecil mendengar omongan Zora, walau beberapa menit kemudian dalam curhat kecil
menunggu pembebasan tanpa syarat, ia melemparkan pertanyaan.
“Kalau kalian berdua ketemu dengan
orang yang memanggil nama kalian aneh, misalnya aja neh Zora jadi Zorapah,
gimana?” liriknya santai “Gue
ngamuk, dan sudah pasti Gue ngebela diri…” Jawab Zora ceplos dengan santainya.
Zihan mengangguk-anggukan kepalanya pelan disertai senyum kecil. Shila
meliriknya dengan tarikan senyum kecil pula. Pada sudut bibirnya, Ashila tahu
ini sindiran Samar. Lagi-lagi sindiran cerdas untuknya dan Zora yang terlihat
mengangguk kecil tanda ia faham akan arah tanya Zihan.
Setengah jam dengan kondisi
seperti ini, bukan hal yang membosankan menurut Ashila, karena Ashila menemukan
dua makhluq “keren” di sini, di
sekolah yang belum pernah ia masuki. Ashila masuk ke Real Generation karena
Bunda harus membuka cabang dari butiknya.
So, karena itulah, Ashila ada disini, ditakdirkan bertemu dengan dua makhluq
yang akan mewarnai harinya dengan warna-warni cerah. Warna pelangi.
Komentar
Posting Komentar