(Novel) Gw Bilang Cinta - (3)
TIGA
“kenapa bengong lagi?”. Tegur
Zihan. mengibas-ngibaskan tangannya tepat di depan hidung Shila. Ashila menarik
napas, melanjutkan lipatan mukena yang belum sempurna. Memasukkan mukena itu
kembali pada tasnya.
“Maaf”. Senyum Ashila beralih
mengenakan kaos kakinya.
“Kalau Aku temenin gimana?” tawar
Zihan tulus dengan senyum. Ashila diam sejenak menatap mata bening Zihan.
Sejenak dengan fikirnya, menimbang tawaran itu. Beberapa menit kemudian,
Ashila menggelengkan kepalanya tanda
penolakan
“Aku sendiri aja dech, Aku nggak
mau menyibukkan kamu dengan tugas yang sudah menjadi amanah bagiku….”
“Aku punya alasan, kenapa harus
nemenin kamu…,” Tegas Zihan.
“Tapi…”
“Aku sahabat kamu, bukan
siapa-siapa. Oke?….” Gemintang pada mata Zihan mengerjap. Ashila tak kuasa
memudarkan gemintang itu meski satu cahaya saja. Pada akhirnya…
“Hm, Oke…jika begitu.” Senyum
Ashila akhirnya. Menarik kembali ucapan penolakannya. Shila tahu Zihan ingin
membantunya agar semua dapat diselesaikan dengan baik, sesuai dengan deadline
yang sudah disepakti.
“Zihan, itu…” Ashila menahan
ucapannya.
“Apa?”
Ashila menggeleng. Tadinya ia
ingin menanyakan alasan apa yang membuat Zihan tergerak untuk menemaninya
mewawancarai Rizq. Ashila penasaran. Ya Ashila sangat penasaran dengan alasan
itu, tapi Ashila tak ingin jawab itu sekarang. Ia akan mencari apa alasan itu sendiri,
jika tebakan Ashila benar, mungkin jawaban itu adalah hal prinsip. Hm….Ashila
menarik napas kecil pada Zihan yang mengkerutkan dahinya.
“Nggak apa kok.” Geleng Ashila
begitu mendapati tatap mata Zihan mengintrogasinya.
“Serius?”
“Duarius!” canda Ashila tertawa,
melangkah beriringan kembali menuju kelas.
“Aku tahu, kamu penasaran apa
yang menjadi alasanku Shila…seperti tahunya Aku tentang kamu yang punya rasa
penasaran tinggi akan sesuatu. kamu akan lebih mengerti jika menemukannya
sendiri, tanpa harus menyimpulkan dari jawabanku. Maaf….” Langkah keduanya
pun semakin dekat dengan pintu kelas 1 IPA. Tampak keriuhan dari dalam
ruangnya.
“Yee…Lo dari mana aja Girl`s?”
sapa Zora menyodorkan dua minuman segar lengkap dengan kue basahnya. Sepertinya
ia baru saja kembali dari kantin. Memberikan hak pada si kampung tengah
miliknya. hehehe
“Tumben Lo baik…” Ledek Shila
mengulum senyum. “Yaah, memang dasarnya gue baik, kalli…” Zora membalas dengan
pukulan kecil pada lengan Shila.
“Kesambet apa sih?” Goda Zihan tak
mau kalah, mengingat gosip yang beredar entah bersumber dari mana mengenai Zora
yang ditaksir anak kelas III Bahasa. Zora menghembuskan nafasnya, memberikan
klarifikasi.
“Ini bukan karena siapa-siapa,
apalagi karena gosip murahan dan tak bertanggung jawab itu. Ini murni karena
Gue sayang Lo berdua yang belom sempat ngisi kampung tengah selepas rapat
tadi..…” Ucap Zora membela diri akan gosip santer up to date di lingkungan skull.
“Thank`s baby….” Mata Shila
mengedip, manis.
“Gue belum selesai ngomong say…”
Zihan dan Ashila terkikik geli
meihat tampang Zora yang kesal.
“Lo berdua makhluq paling tega
sedunia!” Serunya tiba-tiba.
“Loch kok?” keduanya membeliakkan
mata, memutar tubuh serentak. “Makhluq paling tega? Yang benar aja, Emang
letak teganya dimana?” batin keduanya saling bertatapan.
“Maksudnya?”
“Lo berdua dari dhuha kan? Ko
nggak ngajak-ngajak Gue?….” Protesnya kenceng. “Alamak! Ini yang dibilang
tega?” keduanya membatin kembali.
“Sorry, tadi kita berdua pada
lupa. Lagian kamunya sih nggak nongol-nongol juga. Emang kamu darimana?” kali
ini Ashila melemparkan tanyanya sekaligus menyelidik.
“Gue….” Zora menggigit bibirnya,
berfikir!
“Hayoo…tega sapa coba?” celetuk Zihan menuju bangku di depan sekolah,
Duduk disana melahap snack dari Zora yang tengah mencibirkan
bibir mengikuti langkah kedua sahabatnya. Ashila mengerling kearah Zihan
melihat wajah menekuk milik Zora yang manyun kehilangan Mood.
“Oke dech, ntar kalau kita mau
shalat dhuha kita berdua miscall….”
Ucap Ashila menepuk bahu Zora. Zora mencibirkan bibirnya. Sungguh! Inilah
gunanya sahabat…saling berlomba bukan hanya dalam urusan akademik, tapi juga
untuk urusan akhirat!
Setuju? ^_*
Ashila dan Zihan setuju bin
sepakat. Kini yang terdengar hanyalah tawa, berderai penuh cinta.
(GBC)
Ashila tenggah asik di depan Komputer
membuat format pertanyaannya untuk Rizq. Katanya sih untuk jaga-jaga, siapa
tahu aja Rizq ogah untuk diwawancarai
langsung. Jadi selepas shalat dzuhur di musolla, Shila segera mengambil waktu
makan siang untuk menyelesaikan amanahnya. Tepat jam 01:00 nanti pelajaran
berikutnya akan masuk, maka jaminan menyelesaikannya ketika harus ditunda akan
semakin tak jelas. Mengerjakan di rumah bukanlah solusi. Bagi Shila ketika di
rumah, ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama bunda, menemani bunda.
“Lo disini?” sapa Zora disusul
Zihan, melongokkan kepalanya pada tulisan dilayar computer yang hampir selesai.
“Untuk Rizq?” sela Zihan bertanya,
sembari menarik kursi, lalu duduk disisi kanan Ashila, Tak lupa menyodorkan
menu lunch…
“Untuk kamu…”
“Kita dah izin kok mo lunch ama Lo
disini…” Zora bersuara, memutuskan kebingungan Ashila yang nampak dari alisnya
yang bertaut aneh.
“Yap! Nih pedoman untuk dia, al~nya Gue ragu….”
“Oke…sedia payung sebelom hujan!” simpul Zora mengajak
keduanya untuk lunch. Ada senyum
ukhuwah pada wajah ketiganya.
Ashila ainnazwa, gadis energic
dengan mata bulletnya ini, menyukai dunia jurnalistik dengan segudang mimpi-mimpinya
yang adakalanya membuat semua orang ragu, tentang apakah ia bakal meraih semua
itu. Namun satu yang akan Ashila pegang, ia akan terus bermimpi, karena bermula
dari mimpilah ada penemuan-penemuan fenomenal….inilah yang ia pegang! Dia
percaya Allah akan menyimpan semua dan akan memenuhinya jika waktunya tepat.
Yah itulah Ashila dengan mimpinya. Memberikan apa yang dibutuhkan, bukan apa
yang diinginkan.
Ashila suka memakai celana
training dipadu baju kaos dua warna dan jilbab manis menutupi mahkotanya. Yang
berbau sains pun menjadi daftar menu tetapnya! Dan dia adalah gadis yang
memegang hal-hal prinsip dalam hidupnya! Dia mantan atlit basket yang mundur
karena satu alasan dimasa seragam putih biru dulu.
Zihan Raisya, gadis kalem dengan
segala kemisteriusan yang mengantar Ashila dan Zora menemukan satu persatu
puzzle-puzle kehidupan yang lebih bermakna, tentang kehidupan dan
warna-warninya. Wajahnya oval dengan hidung bangirnya. Ia perpaduan Arab-sunda
tulen, punya jiwa penyayang yang hebat! Dia juga memiliki daftar menu tetap
seperti Ashila. Sama-sama suka sains. Bergabung di club jurnalistik yang sama
dengan Ashila. Diam-diam dia adalah gadis yang mahir dalam tae kwon do! so
hati-hati jika bertemu dengannya jika berniat tidak baik. Yakinlah ia akan
beraksi jika melihat itu dengan pukulan mematikan miliknya.
Zora Zivanka Zahir, gadis tomboy
dengan rambut lurus dibiarkan terurai. Dia adalah atlit basket yang lihai,
kapten basket putri yang baik, namun
bisa berubah galak jika berhubungan dengan dua sahabatnya. Matanya bulat dengan
alis yang tebal….mahir mengutak-ngatik benda-benda elektronik! Daftar menu
tetapnya pun sama dengan kedua sahabatnya. Sains!. Itulah Zora yang terkadang
betah berlama-lama duduk dengan buku-buku sains berderet di depannya, menunggu
sentuhan tangan lembut juga komat-kamit mulutnya. Sains seperti kerupuk
baginya. yah, Zora dengan segala keunikannya.
“Kapan mulai wawancaranya?” Tanya
Zihan sembari membuka tutup botol minumnya. Meneguknya pelan, menunggu jawaban
Ashila.
“Secepatnya dah…al~nya aku nggak
mau cap lelet ada dinamaku.”
“Sip! Gue dukung Girl`s!” toas
Zora berdiri sigap, merangkul keduanya. Sungguh, indahnya persahabatan itu
dimulai disini, dari tiga manusia yang Allah pertemukan bermula dari korban
MOS!
“Oke deh, Gue balik ke kelas dulu
bareng Zihan. Ntar kalau Lo butuh cari aja kita berdua…” ucap Zora menuju pintu.
Ashila mengangguk mantap mengacungkan jempolnya. Ashila tinggal menyelesaikan
satu tahap lagi untuk pedoman wawancaranya. Setelah itu baru ashila mencetak
pedomannya segera.
Karena Ashila sudah membuat
agenda, begitu bubar sekolah ia akan segera mencari Rizq, menuntaskan
amanahnya!. Amanah yang akan ia pertanggung jawabkan di depan personil tim
mading sekolah. Yah…bukankah semua yang
terlewat akan dimintai tanggung jawabnya? Seperti umur kita?setuju?!
“Sip! Selesai!” soraknya menunggu
hasil print terakhir. Begitu hasilnya selesai, ia segera melesat menuju kelas 3
IPA, mencari Rizq.
“Rizqnya keluar tuh!” jawab teman
sekelasnya tersenyum ramah.
“Sepertinya ke lapangan basket!”
celetuk yang lainnya. Ramah!. Karena keramahan yang lain inilah, terbersit
Tanya pada benak Ashila “apa hanya Rizq ya yang angkuh?”. Batinnya
tersenyum, pamit menuju lapangan basket dengan geraknya yang gesit. Tiba di
depan kelasnya, Ashila ingat Zihan akan menemaninya menemui Rizq. Langkah
itupun berputar 180 derajat, kembali ke kelas.
“Gimana Girl? Dah selesai?”
“Gimana Say? Jadi?” dua pertanyaan
ini pun menggempur Ashila. Satu butuh anggukan dan satu butuh pengakuan!.
Setelah menjawab keduanya, Ashila segera mengutarakan maksudnya.
“Hm…sorry ya, kali ini Gue nggak
bisa nemenin, al~nya Gue punya kerjaan penting dari pelatih basket! Ancur dah
Shila….” Ini kata Zora dengan raut wajah penyesalan karena menolak ajakan
Ashila. Ashila tersenyum, lantas menepuk bahunya keras.
BUK! “ Ama aku mah santai aja
kalli!” ucap Ashila, beralih ke Zihan yang mengerling berdiri, melangkah menuju
pintu.
“Yuk! Buruan sebelum mangsanya
lari.” Ucapnya asal. Ashila segera meninggalkan Zora menyusul langkah Zihan
yang sudah hilang dibalik dinding (emang hantu?).”
Lapangan basket yang menjadi
tujuan Zihan dan Ashila ada di belakang sekolah yang berseberangan dengan
gedung serbaguna. Keduanya masuk lewat pintu samping, langsung menuju titik,
dimana Rizq sang jawara tenggah mengambil ancang-ancang menembak bola menuju keranjang
yang tergantung beberapa kaki dan beberapa meter darinya. Letih itu jelas
disana, lewat peluhnya yang bermunculan, keluar dari dahi, begitupula punggung
bajunya yang basah. ternyata seorang
atlit itu begitu ya? Latihan dan latihan untuk hasil yang terbaik. Terlepas
dari itu semua, jika tak sejalan dengan apa yang akan dituju, itulah takdir.
“Shoot…………..”
“Yes! Kita menang!”. Tepuk Tasya
pada pundak Shila, begitu Shila berhasil memasukkan bola terakhir ke dalam keranjang
yang menambah point bagi sekolahnya.
“Alhamdulillah…kalli,,”. Senyum Shila, menghempaskan
tubuhnya di kursi pinggir lapangan basket, begitu satu persatu penonton dari
sekolahnya juga lawan meninggalkan lapangan.
“Haus? Neh….” Sodor Tasya padanya.
Ashila menyambut botol mineral tersebut dan meneguknya lancar.
“Besok pertandingan. Kamu siap?”.
“InsyaAllah…”. Angguk Shila,
berdiri mengambil tas dan menyelempangkannya pada bahu kanan. Pergi menuju
gerbang. Shila ingin istirahat.
Keesokan harinya dengan senyum
merekah indah pada sudut bibirnya, Ashila pamit pada bunda, dengan mencium
kedua pipi bunda penuh cinta.
“Do`ain ya Bun….biar Shila selalu
sehat. He…he..”. Tawanya ringan. Bunda mengangguk pasti, mengantar langkah
Shila menuju sekolah. Bunda tak tahu jika Shila akan bertanding hari ini.
Ashila tiba di sekolah dalam
keadaan lapangan basket full, sampai-sampai setiap sudut lapangan tak terlihat
karena ditutupi dengan siswa-siswa yang hadir untuk memberikan semangat pada
masing-masing Tim.
“Shil, dah siap?” Tanya Tasya
menghampiri Ashila, menyodorkan handuk kecilnya.
“InsyaAllah Ya…” Ucap Ashila
memimpin langkah menuju lapangan. Tasya mengiringi dengan was-was yang
tiba-tiba muncul.
Beberapa menit menunggu kesiapan
masing-masing tim, akhirnya olimpiade dibuka. Ashila dan teman-teman mulai
bergerak menuju tengah lapangan, saling menautkan tangan memberikan suntikan
semangat.
“Bismillah!” Koor seluruhnya,
melibatkan Allah dalam segala kondisi dan tindakan apapun. Pertandingan pun
dimulai dengan baik.
“Ayo Shill…..”
“Horeeeeeeeee.” Teriakan dukungan
mulai riuh terdengar, dan bertambah riuh begitu Ashila dan teman-teman mampu
memberikan nilai kembali dengan lemparan jitu dan drible yang oke.
Pertandingan terus berlanjut,
detak jam terus berputar tanpa henti, terus dan terus, sampai akhirnya tiba
dimenit-menit terakhir. Bola kini berada di bawah penguasaan Ashila. Ashila
bersiap melempar bola ke keranjang, ia melompat pelan, namun saat itulah, kram
kuat pada persendian kakinya membuat ia terjatuh.
BRUK!
Tubuh Ashila terhempas. Bola
mengelinding, namun sempat diambil alih oleh yang lain dan pada menit-menit
tatkala lemparan itu mendekati keranjang, antara kekhawatiran teman-teman juga
pendukung skull, Ashila pingsan bersamaan dengan lemparan Diandra yang tepat
masuk ke keranjang yang membuat skull khatulistiwa unggul dari lawan.
“Ashila, Alhamdulillah kita
menang..” Peluk Tasya juga Diandra yang mengukir senyum pada bibir Ashila
disela sakit yang terasa pada kakinya, di UKS saat Shila tersadar dari
“istirahatnya”. Dan kini senyum itupun
mengukir, menyaksikan perjuangan seorang Rizq.
“Shila, mau nunggu sampai kapan?”
Senggol Zihan, membuat ingatan Shila buyar seketika, kembali focus pada tokoh antagonis
di depannya.
“Ehm!” deheman ini membuat
konsentrasi Rizq hancur. Bola yang sedari tadi selalu masuk keranjang kini
melesat, membentur bibir keranjang dan menggelinding persis mengarah menuju Shila
dan Zihan. Menyentuh sepatu kets Zihan.
Ashila tersenyum memungut bola,
memutarnya dengan jari telunjuknya. Ashila sejenak lupa akan tujuannya begitu
menemukan bola basket Rizq tadi. Ashila ingat saat-saat dirinya aktif dalam
club basket sekolahnya dulu, hingga tanpa sadar mengeluarkan ciri khasnya
sendiri, reflex tanpa ia ketahui juga. Sebegitu berartikah basket untuknya?.
Sebelum melemparkan bola menuju
keranjang, Ashila pasti akan melakukan gerakan itu, untuk memancing
konsentrasinya, lalu bergerak gesit melemparnya masuk ke arah keranjang basket!
Rizq yang melihat itu memicingkan mata,
melangkah menuju Ashila yang santai berjinjit dengan gerakan cantiknya,
memasukkan bola ke arah keranjang. Shoot! bola itu masuk dengan putaran yang
cantik.
Rizq menghentikan langkahnya,
mengikuti bola yang melayang menuju ke keranjang. Lemparan itu tepat memasuki
keranjang. Sempurna!. Ada senyum cantik pada sudut bibir Ashila. Ashila baru
sadar ketika teguran Rizq datang dengan suaranya yang menusuk.
“Mau pamer keunggulan?” Tatapnya
dingin.
“Hm…kirain Lo udah pergi
Boy…sorry, bukan bermaksud untuk pamer keunggulan, tapi hanya untuk mengenang
masa-masa “emas” dulu…” jawab Ashila cuek, dengan bahasa yang berubah menjadi
“Lo-Gue”, menyodorkan walkmannya to the
poin ingin membuka wawancara. Tapi….
“Untuk apa?”
“Buletin RG boy!”
“Tentang?” Tanyanya sportif.
Ashila melirik Zihan.
“Kemenangan tim basket sekolah!”
balas Ashila tak kalah sportif, mengimbangi Rizq. Profesional seorang Ashila
sebagai tiem bulletin kini mulai tampak. Yah,
Ashila berfikir setiap pekerjaan apapun, harus dihadapi dengan professional dan
totalitas yang baik. Setuju?
“Kalau Gue nggak mau?”. Jawab Rizq, pelan namun menyentak pada telinga Ashila.
Ashila menarik senyum sinis, membalas ucapan Rizq, sekedar untuk mengimbangi.
“Gue nggak rugi! Lagian apa
susahnya sih, kan hanya sekedar menjawab doang!”
Pancing Ashila dengan tangan menimang-nimang angket juga walkman.
“Hm….”
“Ya udah, kalau Lo ngerasa malu menjawab pertanyaan Gue,
Gue tinggal nih walkman plus pedoman wawancara yang telah Gue buat, lagian
sepertinya felling Gue bener neh….”
“Maksud Lo?” Tatapnya penasaran
akan maksud omongan Ashila barusan. Ashila menghembuskan nafasnya kuat, sebelum
memberikan jawaban.
“Lo bakal nolak boy! Semoga
penolakan ini bukan karena gengsi!” menohok dan tajam kata-kata ini menukik
tajam kearah hati Rizq. Rizq menahan diri dengan mengepalkan tangannya kuat.
Ashila melihat itu menautkan alisnya seperti biasa. Jawaban atas herannya!
“Sorry boy!” senyum Ashila,
menyodorkan 2 benda yang ia sebutkan tadi. Rizq enggan mengambilnya. Ketika dua
benda itu telah menyentuh tangannya, benda itu jatuh mulus…tak apa dengan
pedomannya, tapi vatal untuk walkmannya.
BRUK!
Mata
Ashila mendelik, begitu pula Rizq…sama-sama tersentak!
“Hei…”
“Sorry.” Jawab pendek Ashila
menggidikkan bahu, mengambil langkah meninggalkan Rizq yang bertambah kesal.
“Lo sengaja ya?”.
Mulut Ashila menganga. “Sengaja? Duh, nggak niatan banget! Apa
salah? Khan Gue menghindari tangan Gue bersentuhan ama dia..”. Bathin hati
Ashila terus melangkah. Zihan menatap Ashila dengan tatapan tanya yang besar.
“Shila ….”
“Itung-itung nih politik balas
budi…he..he…” geli Ashila terus melangkah. Cuek dengan apa yang menjadi tanya
Zihan juga mungkin Rizq. Dengan ekor matanya, Ashila melihat Rizq mengambil
walkman itu, membawanya beserta pedoman wawancaranya. Ada gerutu kecil terlahir
dari lisannya.
“Hm…ternyata…?” Ashila tersenyum
menang.
Komentar
Posting Komentar