(Novel) Gw Bilang Cinta - (2)
DUA
“Kalian sudah bisa keluar dari
sini, setelah menyelesaikan 30 soal ini!”
GLEK!
Ketiganya, Ashila, Zora, dan Zihan meneguk ludah, menatap lembaran kertas
dengan soal-soal yang membuat ketiganya melotot. Fisika, kimia, dan matematika
menjadi satu!. Gado-gado ilmu pasti!
“Benar-benar komplit tuh otak!”
celetuk Ashila menatap jubir sang ketua dengan tatapan aneh nggak habis
fikirnya, membalas tatapan sang jubir yang tengah menatap ketiganya bergantian.
“Waktunya sampai kapan ya?” Tanya
Zihan yang sedari tadi diam memperhatikan 30 soal yang luar biasa itu.
Tatapannya tenang.
“Kalau nggak, Gue punya stopwatch neh,
yang bisa Lo beri ke ketua Lo itu, untuk waktu yang bakal kami abisin, ampe dia
puas!”. Zora menyodorkan stopwatchnya yang biasa dia pakai untuk mengukur
jadwal olahraganya. Zora adalah seorang atlit basket. Dulunya Zora pernah
menjuarai lomba nasional bersama dengan tim basketnya.
Setelah mengantar lembar soal itu,
sang jubir dengan rambut ekor kudanya melangkah meninggalkan ketiganya, tanpa
lupa untuk mengunci kantor OSIS itu kembali.
“Huf…nggak kalah ama Hitler!”
“Bukan Hitler fren, Fir`aun modern
kalle.” Sambut Zora, mengeluarkan bolpoinnya, mulai mencari tempat untuk
mengerjakan soal-soal itu.
Tidak butuh waktu lama bagi
ketiganya menyelesaikan 30 soal itu, dikarenakan ketiganya adalah orang-orang
berpotensi dalam ketiga mata pelajaran yang diberikan. Mereka hanya butuh waktu
satu jam untuk menuntaskan semua setuntas-tuntasnya.
“Memangnya hanya orang yahudi
doang yang bisa cerdas otaknya? okelah orang Yahudi boleh cerdas otaknya, tapi
kita khan super double..cerdas intelektual, emosional, dan spiritual..” Kicau
Zora menutup lembaran soalnya dari awal, meletakkannya di atas meja, disusul
Zihan dan Shila.
“Yap, walau lom sempurna, tapi
kita punya usaha agar semua seimbang..” Sambut Shila kemudian. Belajar
menyimpulkan semua dengan bijaksana.
“Oke! dan tentunya prinsip tawazun[1]
itu dapat kita usahakan step by step…”
Tutup Zihan menatap keduanya dengan senyum manis.
Mereka memang bukan orang jenius, tapi mereka
adalah orang-orang yang dititipkan oleh Allah potensi berbeda dengan yang lain.
Einsten? Mereka masih di bawah ilmuwan ini, namun mereka ingin mencoba menjadi
yang terbaik.
“Alhamdulillah!” seru puas Zihan
kemudian, mengangkat kedua tangannya tinggi, membiarkan kaku kedua tangannya
kembali normal.
“Yes! Selesai Allah!” pekik Zora
memutar kepalanya kiri ke kanan, hingga bunyinya terdengar keluar. Lega!
“Alhamdulillah Rabb…Aku bisa!”
seru Ashila berdiri, memperbaiki letak jilbabnya. Melangkah menuju jendela
OSIS, mengedarkan pandangannya kesekitar penjuru area sekolah yang terjangkau
pandangan matanya.
Tepat ketika kepalanya mendongak
keluar, menatap sekeliling yang asing dimatanya, Zaldy ketua ROHIS Real
Generation itu lewat, membawa tiga botol air mineral dingin lengkap dengan tiga
sedotan berwarna warni. Wajah teduhnya yang bersih begitu amazing dengan kontras hidungnya yang rada mancung.
Ashila terus mengikuti langkah
itu, yang ternyata berhenti tepat di depan pintu OSIS. “Maaf, Saya bawain air untuk kalian.” Santun
ia berucap, menyodorkan tiga botol itu pada Zihan yang berdiri tepat didekat pintu
masuk.
“Eh maaf juga, tolong sampaikan
kertas-kertas ini pada sang ketua ya…” sodor Ashila padanya dengan senyum
mengembang. Zihan juga Zora mengacungkan tangan peace disertai senyum tak kalah cerah. Pada hati ketiganya berucap “Kami bukan orang idiot yang harus dites
dengan soal-soal ini bro!”
“InsyaAllah.” Zaldy mengambilnya,
lalu segera meninggalkan ketiganya kembali, tanpa lupa mengunci pintu itu
pastinya. Penjara? Persis!
BENGONG!
Itulah
ekspresi wajah Ashila, Zora, dan Zihan.
Ketiganya pikir dengan diantarnya tiga botol air mineral ini, itu berarti
ketiganya sudah diperbolehkan untuk menghirup udara bebas. Ternyata??
“Huah…bosen!” Zihan membentangkan
tangan, mencoba mengusir rasa bosan yang menjelma.
“Bete!” Sentak Ashila,
menghempaskan tubuhnya di atas kursi yang keras, jauh dari kenyamanan.
“Nyebellin tawwa!” Zora memilih berdiri, berteriak ke luar jendela.
Ketiganya kembali menunggu!
Sepuluh menit menunggu, akhirnya,
langkah-langkah kaki itu terdengar menuju ke ruang OSIS. Dentumannya seperti
tentara Indonesia yang sedang berlatih di camp militer. Ketiganya saling tatap.
Ada senyum disana!. Namun senyum itu kembali layu ketika….
KREK..pintu terbuka. Dan tanpa
salam atau ucapan basa-basi, sebuah titah baru kembali diberikan.
“Kalian masih punya tugas untuk
membersihkan halaman sekolah!”
GUBRAK!
Ketiganya nyaris semaput mendengar
ucapan tak bertanggung jawab sang fira`un, hitler, dan semua gelar buruk yang
telah disebutkan Zora. Benar-benar gila! Apa nggak cukup 30 soal yang membuat
kerja ketiganya exstra? Hu…uh…! Jika ketiganya adalah singa, mungkin auman itu
sudah membuat semua pingsan!
“Sebbel!!!” Koor ketiganya.
“Ashila, gimana? Lo keberatan?” Ketua
bulletin RG menatap Ashila yang bengong. Ashila menarik napas dari kenangan MOS
yang masih kuat melekat, membuatnya juga kedua sahabatnya nggak akur dengan
makhluq satu itu, hingga hari ini.
“Nggak keberatan sih, Cuma kalau
ada yang lebih bisa, kenapa nggak?”
“Sarah yang biasa menjadi reporter
sakit. Jika menunggu dia, bulletin bakal
telat terbitnya, jika pekan ini kita gagal mencari hasil wawancara itu, kita
akan kehilangan berita dan itu pertanda jika berita ini keluar ketika Sarah
sembuh, ia bukan lagi berita yang up to
date, soalnya bulan depan Rizq udah Ujian Sekolah. Itu berarti…,”
“Oke! Aku coba!”. Angguk Ashila
akhirnya, menoleh pada Zihan yang menarik senyum manis yang selalu ada untuk memberi dukungan
untuknya. “Kamu harus coba dulu baru nolak, itu baru pribadi yang optimis
dan ciri seorang muslimah sejati” inilah arti senyum itu. Ashila hafal luar
kepala, begitu pula Zora. Motivasi yang selalu keluar ketika bibit pesimis itu
hadir menggerogoti percaya.
“That`s right!” senyum itu mengukir dari bibir Rivanka mendengar jawaban Ashila.
Dengan jawaban itu, otomatis rapat pekanan bulletin RG ditutup.
(GBC)
Ashila menatap jam tangan pink
dengan baground menara Eiffel yang melingkari tangannya. Jarum jam tepat menunjukkan pukul 11:00. Dengan tarikan napas
kecil, Ashila segera menuju mushola untuk dhuhanya yang tadi sempat terlewatkan
karena rapat redaksi dadakan. Kakinya melangkah menuju musholla yang terletak
di tengah sekolah yang berbentuk persegi panjang itu. Langkahnya cepat, takut
waktu itu hilang dan pergi. Ketika kakinya sudah menyentuh pelataran musholla,
Zihan muncul dengan senyumnya yang mengukir cantik.
“Maaf, aku telat…” Ucapnya dengan
nada penyesalan yang tergambar begitu jelas.
“Yuk…ntar waktunya habis!” ajak
Ashila mengenakan mukena shalatnya.
Dhuha, waktu yang ditekankan bunda
untuk dijaga, disana ada sedekah yang harus ditunaikan. Ketika Ashila
menanyakan itu kepada Bunda, bunda hanya bilang, “sedekah untuk setiap ruas tubuh…” hm…Ashila akhirnya faham, ada
suatu kejaiban pada shalat ini, selain
merupakan pintu keberkahan rizky-Nya.
“Kamu masih keberatan berhadapan
dengan Rizq?” Tanya Zihan membuka wacana percakapan begitu dhuha telah
ditunaikan. Ashila menarik senyum kecil, melipat mukenanya dengan posisi
bersandar pada tembok mushola dan kedua kaki terjulur. Sebelum menjawab, Ashila
terlihat mengatur nafasnya.
“Bukan berat Han, entah kenapa aku
enggan berurusan dengannya.” Jawab Ashila apa adanya, kembali mengingat
kemasa-masa MOS yang menyebalkan. Membuat Shila berfikir kembali tentang
kelakuan Rizq, seolah ialah pemilik tunggal sekolah Real Generation ini.
Padahal menurut pemahaman Shila, sombong sedikit pun nggak ada baiknya. Bukan
hanya dihadapan manusia, tapi juga Allah. Memangnya
apa keuntungannya coba?
Rizq? apakah ia masuk ketegori ini
(Baca: sombong) dimata Shila?
jawabannya banget!’
“Robby… terik gini harus
membersihkan halaman sekolah? Yang bener aja!” keluh Zihan menatap sinar
matahari yang memancar kuat melebihi teriknya beberapa jam lalu. Melihat
keadaan ini, Shila jadi membenarkan jika memang lapisan ozon telah bocor Karena
ulah keserakahan manusia, dan pastinya, taqdir tentang kejadian-kejadian alam
akhir-akhir ini semua pasti berpusat pada ulah manusia itu sendiri. Shila
yakin…
“Kalau begini, semut pun memilih
berlindung, apalagi kita…”. Tarik napas Zora memandang area halaman sekolah
yang luasnya hampir sama dengan lapangan sepak bola.
“Kalau halaman ini seluas dan
selebar 3x4, Gue nggak akan ngeluh, tapi ini? Lebih sadis!”. Gerutu Zora
membayangkan apa jadinya ia di bawah terik matahari. Huah….
“Ada caping[2] nggak ya?”. Longok Zihan mengitari sudut
ruang OSIS tanpa ada yang terlewatkan. Zihan memilih untuk menghadapi dengan gentle women. “Emang Aku nggak bisa!?” Bathinnya cuek. Ashila yang melihat
aktifitas kedua temannya terdiam sejenak memutar otak, sampai akhirnya ia
pamit.
“Kalian berdua tunggu disini, Aku
ada perlu sepuluh menit dari sekarang”. Ucap Ashila, melangkah meninggalkan
keduanya yang memasang wajah bertanya dengan tanda tanya besar pada setiap
jidat. Keduanya ingin protes, namun Ashila sudah hilang tanpa bekas, seolah tak
ingin keduanya melemparkan pertanyaan.
“Tuh anak kenapa sih? baru juga
berteman berapa jam dah pake ilmu jin…” Asal Zora berucap. Zihan menanggapi
dengan bibir mencibir.
Kemana Ashila?
Ashila melangkah menyusuri setiap
kelas dengan membaca setiap papan yang bergantung di samping setiap pintu
kelas, mencari dimana letak ruang kelas 3 IPA. Ashila yakin disanalah Rizq
bersama rekan-rekannya duduk istirahat, menikmati waktu sejenak dengan pongah
tanpa melihat keadaan sekitarnya.
Ups! Tuh dia!
Senyum Ashila, melangkah lurus ke arah
kelas 3 IPA yang terdengar riuh dengan suara tawa dan obrolan-obrolan santai.
Dengan langah tegap tanpa ciut sedikit pun, Ashila mengetuk pintu tersebut,
sehingga semua kepala menoleh tanpa komando ke arahnya. Kata bunda, selama itu
benar, nggak perlu ragu apalagi takut. Inilah pegangan Shila saat ini,
menghadapi Rizq.
Rizq memicingkan mata, berhenti
dari tawa yang sempat keluar dari pita suaranya. Memandang Ashila yang menarik
napas kecil sebelum berucap. Berusaha menstabilkan emosi yang nyaris mengepul
laksana asap.
“Maaf, Gue kesini…”. Mengimbangi
Rizq akhirnya Ashila ber~gue~lo tanpa kaku.
“Yang meminta Lo ngomong siapa?”
Celetuk Rizq santai. Ngebosy banget!
Ashila tersenyum kecil. “Lo bukan
president yang punya undang-undang paten larangan berbicara, jadi nggak ada haq
Lo untuk melarang Gue!”
“Lo…”. Rizq menoleh ke kiri dan
kanannya, pada semua teman-temannya yang masuk dalam panitia MOS. Tak ada yang
memberikannya pembelaan selain menatapnya kembali.
“Maaf leader bosy…”
“Lo….”. Pandangan Rizq kini
beralih kepada Ashila.
“Maaf…Gue hanya ingin bilang, jika
Lo mempunyai hati, Lo pikir kembali apa yang Lo minta atas hukuman kami yang
tidak berprikemanusiaan. Gue yakin ini bukan keputusan semua. Apa belum puas
dengan soal njelimet tadi?. Yang nyaris mengalahkan olimpiade matematika sekali
pun!? Lihat…”. Ucap Ashila mengangkat lembaran soal yang terongok pasrah nyaris
tak bermakna di atas meja.
“Apa Lo sudah memeriksa soal ini?
Kalau Lo tidak bisa menyelesaikan kewajiban Lo satu persatu, jangan pernah
berpindah pada kewajiban selanjutnya, itu kalau Lo mau durasi waktu Lo
bermanfaat. Bukannya Rasulullah juga demikian menganjurkan kita Mr. Zaldy?”.
Sindir Ashila melirik pada wajah ketua ROHIS. Zaldy menunduk. Rizq menatap tak
berkedip, begitu pula yang lainnya, yang ada di kiri juga kanannya.
“Bukan karena kami tak mentaati
hingga Gue datang, tapi Gue hanya bilang kewibawaan kalian semua sebagai
pemilik kebijakan merupakan perpanjangan tangan kepala sekolah yang harus Lo
jaga. Ini penting untuk nafas kalian selanjutnya!. Lagian apa ini pantas? lupa
sama sila pancasila ya, tentang keadilan? Atau Lo semua
mengharap lahirnya do`a dari lisan kami yang merasa terzolimi yang bisa
membuat Allah mendengar do`a kami? Maaf!”.
Senyum Ashila kembali mengutarakan
maafnya, lalu meninggalkan kelas yang senyap sesaat. Terhipnotis dengan lisan
calon orator besar. Selepas dari aksinya menjambangi markas Rizq, Ashila
kembali menemui kedua sahabatnya yang sudah bergerak ke tengah lapangan.
Shila berhenti sejenak, melihat Zora juga
Zihan yang sudah berada di tengah lapangan. Ada tangan sedang menyeka kening,
ada tangan tengah menghalau matahari, dan ada tangan yang mengibas di wajah.
Ashila menarik napas kembali, sejenak sebelum memutuskan melangkah ketengah lapangan, bergabung dengan
keduanya.
“Darimana?”. Tanya Zihan dengan
wajahnya yang sudah berubah warna.
“Protes akan pelanggaran HAM!”
asal Ashila. Zora mencibirkan bibir, penasaran dengan ucapan Shila barusan.
Akibat rasa itu, kepala Zora kini memutar arah ke depan Shila, menatap mata
Shila untuk keterangan selanjutnya tentang kepergiannya tadi.
“Nggak usah dilanjutkan…!” sambung
Ashila tegas.
“Kenapa?”
“Bukan tugas kita”. Pendek Ashila
menjawab. Ashila tahu di atas sana, dari balik jendela “pembesar-pembesar” itu
tengah menyaksikan aksinya. Maka dengan PD~nya Shila menarik tangan Zihan juga
Zora menyingkir ke tempat yang tertutupi oleh matahari. “Maaf…ada saatnya pemimpin butuh ditegur…” bisik hati Ashila.
Menggidikkan bahu, mencibirkan bibir.
Diterima atau tidak, tak masalah,
yang jelas seorang pemimpin butuh untuk selalu diingatkan akan kewajibannya,
kapan pun itu. Tul ga?
Komentar
Posting Komentar