Allah cinta padaku (Part 2)
Menuliskan pengalaman
adalah bentuk dedikasi bahwa aku mencintai potensi yang Allah berikan padaku. Kali
ini aku menemukan bahwa memang aku membutuhkan Allah lebih dari sekedar dari apa
yang aku pikiran.
Hari ini aku menjadi
ojek buat adikku yang sedang hamil 5 bulan. Usia yang riskan untuk segala
kemungkinan yang ada. Olehnya kehati-hatianku atasnya sangatlah luar biasa. Aku
harus berhati-hati memacu si Hadid untuk sang calon baby/calon generasi.
Selain berhati-hati
menjaganya, aku pun harus professional masuk kerja sesuai dengan jam yang sudah
ditentukan. Dengan bismillah, selepas shubuhku, akupun berharap Allah Swt
memudahkan jalanku pagi ini untuk pekerjaanku, dan juga untuk keamanan dua
orang yang ikut denganku.
Awal keluar dari zona
aman good-them, aku menemukan pertolongan Allah langsung terbuka untukku. Sepanjang
jalan Allah Swt bukakan kelapangan untukku. Bukan hanya kelapangan jalan, aku
pun tak terhambat dengan lampu merah untuk berhenti berikut kemacetan yang
biasanya terjadi disetiap ruas jalan.
Sepanjang jalan hanya
desis syukurku bahwa Allah Swt memberikanku banyak kemudahan, disaat dimana aku
selalu memberikan pembelaan atas apa yang aku lakukan atas perintahNya. Lalaiku
akhirnya menjadi kisah renunganku saat kupacu Hadid dengan cepat. Allah Swt
sudah begitu banyak memberikan aku kemudahan-jalan keluar-hadiah- tapi lihatlah
aku. Aku masih menemukan diriku selalu menghitung apa yang aku kerjakan untuk
agamaNya, yang seharusnya disaat yang sama aku harus lebih menyampaikan
syukurku. Sejenak aku terlempar pada kisah tauladanku. Tentangnya yang tetap
mengejar pahala meski jaminan syurga jelas dimatanya, garansi atasnya. Jawaban
pada shiroh yang pernah disampaikan padaku adalah jawaban terbaik yang pernah
aku dengarkan. Apa yang beliau lakukan adalah bentuk kesyukuran. Salahkah? Tidak!
Mengapa? Karena memang
seharusnya itulah yang harus kita miliki. Hamba yang jelas-jelas dijamin syurga
aja masih melakukan kewajiban-kewajibannya dengan santai-penuh
pengabdian-penuh kesyukuran, lalu kita yang sudah jelas jaminannya tak ada, apa
masih merasa cukup dengan shalat kita yang tergesa? Tadarrus kita yang hanya
sebulan sekali? Kebaikan yang dihitung?.
Inilah potret diri
kita, diri saya, diri kalian…
Kita yang terlampau
sibuk untuk membaca pesan Allah Swt, pesan cintaNya meski sederhana. Maka dari
catatan ini aku ingin berbagi bahwa Allah benar-benar cinta pada HambaNya,
cinta padaku, pada kalian semua.
Lalu, apa yang dapat
kita berikan sebagai bukti cinta padaNya, jika shalat tepat waktupun lalainya
luar biasa?
Catatanharianku,
sumber belajarku
Kamp-Thim 15sept2015
Komentar
Posting Komentar