(Novel) Gw Bilang Cinta - (4)
EMPAT
“Serius?”
Mata Zora mendelik sangat lebar mendengar
apa yang Ashila katakan, tentang insiden di lapangan basket tadi yang membuat
Rizq menahan marahnya. Dalam pikiran Zora terbayang gunung yang siap meledak,
memuntahkan magmanya, mempersiapkan waktunya untuk itu…dan Zora yakin seorang
Rizq nggak akan kehilangan ide untuk
yang satu itu. Ya!
“Truz, ada yang lain nggak?” antusias Zora, menatap mata
bening Ashila. Ashila melirik Zihan, tersenyum!.
“Nggak ada yang lain kok selain itu…” jawab Ashila, menyembunyikan
identitasnya sebagai mantan basketer sejati
“Menurut Gue, Rizq nggak akan diam ama ucapan Lo, Gue yakin!” cetusnya dengan analisis yang Ashila
juga Zihan benarkan. Pada benak Ashila, wajah kearab-araban itu pasti tengah
memikirkan semua itu, untuk balasannya. Dan Ashila menunggu saat itu!
“Itu haq dia fren, sekarang kan
Indonesia menjadi Negara Demokrasi, Gue menghargai dia sepenuhnya untuk
berexspresi.”
“Yee…kamu liat dulu dunk! Demokrasi sih iya, tapi tetap ada
rambu-rambunya khan? Emang sih Negara neh
udah mencetuskan itu, yang memberikan hak warganya untuk mengutarakan apa pun,
tapi tetap aja aku nggak setuju dengan
ini. Bayangin atas nama demokrasi, semua
yang nggak pantas diexspos…gila nggak sih, padahal ini kan Negara yang
Penghuni muslim terbesar…” Zihan angkat suara dengan gaya orator ulung yang
memiliki semangat juang 45, membalas ucapan Ashila. Ashila menarik senyumnya!
“Aku tau… ntar kalau dia membalas, Aku akan siapkan hal yang mendidik kok,
tenang aja dech!” ashila mengedipkan matanya ke arah Zora juga Zihan yang masih
ingin membuka mulutnya.
“Tapi ingat, Aku nggak setuju kamu berdua
atas nama demokrasi, jauh dari rambu-rambu akhlaq islami! Oke, kita hargai
Indonesia yang bangga dengan sebutan itu!”
“Oke boz!” ucap Zora meletakkan
tangannya dikening, memberi hormat. Ada geli yang ia sembunyikan dari sana.
Tapi…
“Iya sih, seharusnya atas nama demokrasi, Indonesia tambah baik
dengan menerima segala kritik…, nggak melakukan
exspansi besar-besaran dalam hal yang ngebuat
mumet…!” pikir Ashila mangut-mangut. Zora menautkan alis melirik Zihan yang
tersenyum. Mungkin dalam fikir Zora tentang Ashila “wah nih orang mulai
serius neh!” wajar jika fikir itu hadir. Semua juga tahu, Ashila jarang
mengutarakan pikirannya untuk hal-hal yang berbau serius, dan sekarang?
“Ck…ck…Indonesia-indonesia, tambah
mumet Gue!” hembus nafasnya berat. Zihan menahan geli melihat gelagatnya,
begitu pula Zora. Ashila begitu beda hari ini!
“Napa Lo berdua ketawa-ketiwi?” alis cantik Ashila bertaut menatap
Zora juga Zihan.
“Aneh aja seh, Lo kan nggak biasanya begini.”
“Korban demokrasi neh?” ucap Zora.
“Yap! Aku mau menggagas demokrasi
bersih dari unsur-unsur SARA! Nggak
ada ucapan yang menyakitkan kaum yang pailit! Nggak mengorbitkan generasi dengan pornografi dan pornoaksi! Nggak membiarkan input output bacaan
“nyeleneh” untuk generasi dan orang lain! Nggak
membiarkan uang Negara diboxing KKN, nggak
dan semua jenis nggak!. Aku ingin
mengungkapkan cinta buat generasi Indonesia!” semangat Ashila, membuat kerut
dahi Zora bertambah.
“Solusinya?”
“Kita ngadain brain storming dengan pisau sunnah dan al-Qur`an!” usul
yang benar-benar membuat senyum Zihan berkembang.
“Caranya?” pancing Zora
bersemangat mendengar ide bening Ashila. Ashila pun bersemangat mengeluarkan
semua yang ada pada benaknya.
“Kita buka blog untuk mengumpulkan
generasi yang ingin bercermin pada kebenaran yang sempurna, menyapa indahnya
hidayah Allah….menjaga lisan untuk nggak
sembarang berbicara!”
“Nama blognya?”
“Yee….” Lidah Zora menjulur lucu.
Zihan terkikik geli.
“Canda fren! Nih mimpi aku, yang
akan aku realisasikan nanti.”
“Kok?” mata Zihan memicing menatap
Ashila atas reaksi omongannya.”
“Aku mo merevisi diri dulu,
mendelete yang jelek dan merefresh semua sebelum akhirnya aku goalkan keluar, termasuk ke kalian berdua!”
“Bahasa Lo tuh!”
“Yap! Gue bilang cinta….He..he…”
tawa itu pun terdengar mewarnai langkah tiga gadis ini menuju gerbang sekolah
yang tinggal beberapa langkah. Ketiga gadis remaja yang kelak menjadi
pribadi-pribadi mengagumkan yang berfilsafat pada hati dan berevolusi dengan
realisasi al-Qur`an!
(GBC)
Lelaki itu turun dari motor besarnya dengan gerakan gesit, menuju teras
rumah, seusai mengucapkan salamnya, iapun masuk kedalam rumah besar
berarsitektur gabungan modern dan tradisional.
“Rizq,
kamu sudah datang?” Mama dengan jilbab parisnya yang sepi dengan berbagai macam
hiasan itu muncul. Lelaki yang ternyata Rizq itu melempar senyumnya untuk sang
mama.
“Ma,
Rizq kesal Rizq ingin marah..”
“Memangnya
yang buat kamu seperti ini siapa?” Tatap mata mama kearah Rizq yang masih sibuk
membuka kancing bajunya.
“Rizq
sudah berusaha memberikan contoh yang baik, tapi kenapa masih ada yang rese
ma..”
“Berarti
kamu belum maksimal mengusahakan itu…, oh ya, ini apa?” tunjuk mama pada
walkman dan kertas berisi pertanyaan yang diserahkan Ashila tadi.
“Akhwat
itu ma yang buat Rizq emosi, itu yang dia pinta dari Rizq…”
“Apa
yang buat kamu emosi? Kamu emosi atau karena memendam sesuatu, kagum misalnya
atau kamu la..”
“Ma
Rizq juga nggak tahu, kenapa ia bisa menjadi akhwat yang begitu berani ma,
bahkan pernah mengkritik system yang telah Rizq buat..” Ucap Rizq mulai
melunak, kembali mengingat masa-masa MOS dulu.
“Oke, hukuman kalian selesai, tapi ini semua
Gue lakukan untuk kebaikan masa kepemimpinan Gue, nggak lebih..”
“Terserah Lo, mau ada apa dibalik
semua, yang jelas kami nggak punya urusan lagi sama Lo..” Jawab Zora menatap
Rizq.
“Syukron ya, ininih pemimpin yang
berjiwa besar..” Acung jempol Zihan dengan senyum kecil yang Nampak pada wajah
cantiknya.
“Thanks kapten, Gue ada
ditengah-tengah keduanya, nggak urus dan terimakasih, tapi Gue berharap Lo
selalu seperti ini, gentleman dalam segala hal, memutuskan tanpa ada tendensi
apapun, biar nggak ada pihak yang dirugikan dan terzolimi…”
“Melamun
Rizq? Ingat apa?” Tanya mama mengibaskan tangannya tepat didepan muka Rizq,
Rizq terlonjak kaget.
“Ingat
sedikit ma tentang masa MOS dulu…”
“Oke,
kamu makan siang dulu gih..” Ucap mama, berdiri melangkah menuju ruang tamu
yang merupakan pintu utama menuju dapur yang eksotis dengan dinding kayu
coklatnya. Rizq melangkah mengikuti langkah mama, sebelum terus menuju dapur,
ia sejenak menuju istananya, meletakkan tasnya dan kembali menuju dapur, mama
tengah menunggunya bersama papa pastinya yang hari ini resaint dari kantor.
Sedikit tidak enak badan katanya.
“Hei
Assalamu `alaikum bro..” Sapa papa akrab, menutup korannya, menatap wajah Rizq
yang sedikit aneh, efek dari kesalnya tadi.
“Urusan
sekolah, seharusnya nggak dibawa pulang sayang, professional mengolah semua,
apalagi urusan hati..”
“Papa…”
“Papa
pernah muda, dan papa mengalami saat-saat itu sayang saat mama membuat emosi
papa melonjak..” Tebak papa, melirik mama yang hanya tersenyum kecil. Rizq
hanya geleng-geleng kepala. Ashila Ainnazwa…..? bahunyapun terangkat, ogah
membahas semuanya, apalagi berhubungan dengan Ashila, dengan tampangnya yang
berani.
“Sebenarnya sih nggak masalah buat Gue, dia
juga benar, karena memang Gue sudah kelewatan. Huf..” Pikir Rizq dengan
hembusan nafas kuat. Zaara membenarkan Shila.
“Kenapa
Rizq?”
“Kenapa
pa?” Rizq balik bertanya dengan kerut pada dahinya, heran dengan pertanyaan
papa.
“Kamu
persis pemimpin yang bingung, seperti itutuh di TV, pasa sidang paripurna MPR
karena banyak dari mereka yang ngantuk. Bagaimana mau mengurus rakyat kalau
seperti itu, membuat rakyat bingung…” Ucap Papa, mengeluarkan opininya sendiri.
Rizq hanya menarik senyum, melirik Mama yang juga faham kebiasaan papa.
“Pemimpin
itu seharusnya ti…”
“Tidurnya
sedikit, karena memikirkan yang terbaik untuk masyarakatnya, seperti mereka
dizaman Rasulullah dan sahabat…” Potong Rizq, hapal dengan sindiran Papa, untuk
pemerintah versinya sendiri. Mama tergelak, dengan tawanya yang pecah seketika,
dan Papa tetap cuek bebek meneruskan korannya, asyik dengan bacaannya tanpa
menyadari kepulan asap minumnya yang sudah menipis. Kalaupun Papa menyadarinya,
pasti Papa akan memintanya atau mama untuk menggantinya dengan yang baru.
“Jadi, beliiin pesanan papa Rizq?”
Tanya Papa memiringkan korannya sejenak, memperhatikan wajah Rizq.
“Setelah
shalat ya pa…” Jawab Rizq, menghabiskan menu makan siangnya ala Mama, sop kimlo
dengan jamurnya yang banyak berikut asparagusnya yang lezat, ditemani dengan
potongan daging segar. Mama, Chef terbaik untuknya juga Papa.
“Oke…”
Komentar
Posting Komentar