Apa kabar generasi?
Bukan pemandangan biasa kukira,
saat aku menyaksikan wajah polos dengan seragam sekolah menghampiri setiap
pejalan kaki, pengguna jalan kendaraan roda dua atau empat saat lampu merah
dengan membawa botol minuman meminta uang/sumbangan, menjaja Koran, atau malah
duduk di jembatan penyeberangan duduk memelas dengan tangan menengadah. Bukan hal
biasa.
Sore ini aku menemukan
generasi-generasi ini berkeliling meminta uang pada orang-orang yang terjebak
lampu merah. Tiga anak kecil usia SD yang seharusnya tidak berfikir keras
mencari biaya hidup, atau mereka bukan usia yang layak untuk dipekerjakan. Mereka
seharusnya duduk belajar-membekali diri untuk masa depan. Tapi, bagaimana kalau
hidup mengharuskan mereka ada disepanjang jalan?. Aku percaya segala sesuatu pasti
ada solusinya, termasuk tentang generasi kita ini.
Olehnya aku sangat mengapresiasi
usaha seorang teman dan mereka yang peduli akan nasib generasi dengan
mempersiapkan rumah singgah, membekali mereka dengan nilai
agama-akademik-bahkan berwirausaha. Salah satunya dengan berjualan Koran atau
makanan ringan. Mereka diajarkan untuk berusaha bukan malah justru mengandalkan
kemampuan-kesehatannya hanya untuk meminta belas kasih orang-orang yang lewat
disana. Rumah singgah ini memberikan mereka banyak hal, termasuk bagaimana
mengajarkan mereka untuk hidup sehat dan teratur dalam hidup. Dan ini adalah
bagian solusi, diantara solusi-solusi lainnya yang harus dipersiapkan. Bukan hanya
dari mereka yang terpanggil, tapi juga pemerintah kita, agar kelak angka
pengangguran dapat diselesaikan dengan bijak.
Suatu
ketika aku iseng bertanya pada dua saudara kecil di jembatan penyeberangan di
dekat Mall, Bertanya saat sang adik kecil menyodorkan tangan meminta sesuatu
dariku.
“Adiknya
sekolah?”
“Iya…”
Ia mengangguk malu, melirik abangnya di tangga sebelah. Aku mengikuti arah
matanya.
“Jadi
setelah sekolah, langsung kesini?”
“Iya….”
Jawabnya lagi. Jujur!
“Disuruh?”
“Iya…”
Mengangguk cepat
Awalnya aku tak ingin
berprasangka dengan orangtuanya, tapi next dari obrolan itu berlanjut, yang
membuatku mengurut dada. Dua bersaudara itu ternyata ada karena disuruh harus
berada disana oleh orang tuanya.
Salahkah?
Salah…menurut saya, sebab
tanggungjawab orang tua bukan untuk menjadikan anak/generasinya sebagai barang
komoditinya dalam mencari nafkah. Emang rezeki setiap anak sudah digariskan,
tapi bukan ini caranya dengan menanamkan belaskasih orang lain sejak dini. Salah!
Pernah dilain kesempatan, saat
melewati jembatan penyebrangan kembali, aku menemukan anak usia tanggung dengan
wajah cemong, kaki seperti (maaf) cacat duduk meminta uang. Satu persatu orang
yang lewat memberikan dalam bentuk kertas atau koin. Aku ikut memberikan karena
kondisi sang anak yang memang harus dibantu kukira(saat itu).
Ajaibnya sorenya saat aku berada
diterminal, aku bertemu dengan wajahnya yang sumringah membawa kantung plastic hitam,
lalu berlari lincah naik ke atas angkot yang kutumpangi. (saat itu aku belum
memiliki kendaraan)
Otakku cepat mengingat.
“Anak ini? Oh ya! Jembatan!”
Angkot melaju meninggalkan
terminal, lalu saat berhenti di penyebrangan jembatan penyebrangan ia melompat
turun, siap beraksi!
Tinggallah aku yang
menggeleng-gelengkan kepala.
Jika begini, bolehkah aku
bertanya? Pertanyaan sederhana buat diriku “Apa kabar generasi?”
Kedepan,
bukan generasi ini yang kita
harapkan tumbuh bukan? Yang kita harapkan adalah generasi yang mau berkerja
keras, tanpa harus meminta belaskasih orang lain.
Bukan generasi yang hidup dari
hasil meminta, tapi dari hasil kerjanya
Bukan generasi yang bisanya
memberikan kesan negative, tapi positif
Bukan generasi yang kehadirannya
menjadi sampah masyarakat tapi mereka yang berguna dimasyarakat.
Terlepas darimana latar belakangnya,
bisa karena hiduplah yang mengharuskan mereka untuk bertahan dengan cara
seperti itu, atau karena alasan lainnya. Terlepas dari semua alasan itu, aku
hanya berharap next generasi yang tumbuh dinegeri ini adalah generasi emas yang
mampu membawa Indonesia lebih berwibawa dimata dunia.
Kostbirulangit27sept2015
Komentar
Posting Komentar