(Novel) Gw Bilang Cinta - 7
TUJUH
Bunda,
sosok terkasih Ashila terus melihat jam yang tergantung besar di depan ruang
makan, menunggu Ashila yang tengah memperjuangkan haqnya untuk menjaga
amanahnya. Bunda sedari uring-uringan, khawatir itu tergambar pada wajahnya. Begitu deru lembut mobil Zora
berhenti di depan rumah, sosok ini menyusul menyambut. Namun begitu melihat
wajah sumringah sang buah hati, khawatir itu berlangsung hilang, menguap entah
kemana.
“Don’t worry tante…Ashila kita tetap dalam keadaan baik kok, nggak kurang apa pun!” sambut Zora, yang
diaminkan Zihan. Bersamaan ketiganya turun, masuk ke dalam pekarangan rumah
Ashila.
“Alhamdulillah Bun, semua
berlangsung dingin dan segar. Nggak
ada korban kok.” Canda Ashila disambut senyum bunda yang beberapa jam lalu
absen dari sana karena desakan khawatir. Khawatir jangan-jangan cidera itu
kambuh kembali.
“Tante, Shila boleh gabung ama
club kita ya….” Jurus gombal ini pun keluar dari bibir Zora. Ashila yang
menuang minuman segar dibantu Zihan melototkan matanya. Zora kembali terkikik.
“Nggak bun! Shila nggak
minta dia ngomong gitu….” Protes Ashila kuat. Dan lagi-lagi tawa riang
membahana keluar dari mulut Zora dan Zihan, yang dilengkapi senyum bunda yang
merekah.
Tawa itu lepas tanpa beban….tawa
yang menyakitkan untuk seorang manusia yang tengah berdialog sengit demi
jatuhnya sebuah nama….
(GBC)
Ashila melangkah riang masuk ke
gerbang sekolah, dengan lantunan nasyid assalamu `alaikum ar-Royyan, tanpa
melihat tatapan semua kepadanya. Tatapan yang beda dari sebelumnya. Ashila baru
menyadari itu, ketika ia sampai di depan kelas dengan lengkingan suara Zora
yang hampir mencapai angka maxsimum.
“Hei…Lo napa say? Ada yang ngisengin
Lo lagi?” sapa Ashila seperti biasa dengan senyum yang selalu on disana, pada
tempatnya. Demi mendengar suara ini, Zora berbalik, menatap Ashila yang bengong
sulit menangkap apa arti tatapan itu. Ada luka yang begitu dalam pada bening
matanya. Ashila melirik Zihan yang diam dengan nafas tak beraturan. Pada sudut
matanya ada sisa air mata yang belum mengering.
“What`s wrong honey?” tatap Ashila berganti sepenuhnya pada Zihan.
“Lo nggak lihat di papan pengumuman Shil?” Tanya Azura teman sebangku
Ashila yang matanya sudah membengkak. Ashila menggeleng sigap, tanda ia tak
melihatnya.
“Lo diskors dua pekan…entah ide
sintingnya siapa, Gue belum tahu.” Jawab Zora mendengus kesal.
“Diskors? Emang salah Gue apa?”
Tanya Ashila berfikir.
“Ana juga sudah cari tahu,
termasuk ke Rizq, dan Rizq nggak tau
apa pun, bahkan dia tersentak dengan kabar itu.” Sambung Zihan menghela nafas.
“Hm…. Gue akan menuruti apa mau
“dia”, so don’t afraid to me…Gue
nggak apa-apa kok. Nyantai aja kale.
Diskors, berarti ada waktu Gue bareng bunda.”
“Tapi…”
“Gue yakin “dia” nggak bakal tahan dengan kecurangannya,
so tunggu aja!” senyum Ashila, melangkah mendekati Zora, Zihan dan Azura.
Menepuk bahu ketiganya dan kembali menarik tasnya yang baru saja ia letakkan.
Santai langkah itu keluar dari kelas.
Kepergian Ashila membuat Zora
bertambah muak, dan dengan segala kekesalannya menuju kelas 2 IPA.
“Lo cari Gue?” Keisya dengan
tangan bersidekap muncul dengan gaya angkuh, menyambut Zora yang menatapnya tak
berkedip.
“Lo manusia kan? Lo punya hati ga?”
“Ini urusan Gue… bukan Lo!”
“Oh jadi ini ide konyol Lo? Gile
juga nih sekolah mau denger kata manusia seperti Lo. Emang sekolah Lo suap
berapa?”
“Lo….”
“Apa Keisya Raisya… putri donatur
sekolah terkaya? Lo puas dengan kerja gila Lo? Asal Lo tau ya, nggak semua bisa di beli dengan uang
apalagi jabatan! Nggak semua! Dan Gue
nggak akan tinggal diam melihat ini.
Ingat!” tatap Zora berpaling, kembali menuju kelas. Munculnya Zora membuat
Zihan dan Azura berdiri serempak.
“Darimana Ra?’ Kejar Azura,
ditatap Zihan yang masih tetap diam, berfikir bagaimana cara memecahkan masalah
njelimet yang mengorbankan sahabat sejatinya.
“Gue bener-bener nggak ikhlas,
pengen marah!”
“Say, setiap sesuatu yang
diputuskan karena emosi, nggak bakalan baik akhirnya. Gini aja deh, untuk
sementara kita redam dulu emosi kita. Ana juga sama seperti Anti, sedih
ngebayangin apa yang menimpa Shila…”
“Tapi, Keisya benar-benar ngebuat
otak Gue panas…. Apa salah Shila? Gue akan temui kepala sekolah hari ini juga.”
Putusnya, yang didukung penuh oleh seisi kelas 1 IPA.
“Hanya karena Ashila lebih unggul
dalam basket melawan Rizq? Terus bapak acc permintaannya tanpa mempertimbangkan
semua? Ya ampun pak… apa jadinya dunia, terkhusus Negara, kalau semua orang
pribadinya seperti bapak…. Mudah disogok dengan segepok uang…ck..ck… wajar
Indonesia berperingkat kedua Negara yang KKN. Wong segala yang salah bisa di beli kok!” singgung Zora dihadapan
kepala sekolah yang wajahnya memerah bak tomat yang mendekati busuk.
“Kasihan banget nih sekolah…
generasinya malah diajarin KKN! Thank`s infonya pak…” senyum Zora sinis, keluar
menemui yang lain. Setelah Zora keluar, Rizq masuk dengan wajah datar tanpa
exspresi, yang membuat wajahnya serem persis hitler. Zora yang berpapasan pun
heran dibuatnya.
“Saya sudah dengar semua pak., dan
atas nama teman-teman kelas 3 IPA, kami pun nggak
akan masuk sekolah, sampai masalah Ashila dicabut!” tegas Rizq kuat. Kepala
sekolah meradang.
“Ujian Nasional memang tinggal dua
pekan… dan demi kebenaran saya tak akan diam!” ucap Rizq kembali, lantas
meninggalkan ruang itu. Keputusannya final!.
(GBC)
Ashila melangkah masuk kehalaman
rumah dengan dendangan khasnya. Tidak ada kecewa pada wajah juga hatinya. Toh
Ashila merasa tingkahnya nggak ada
yang membuat pusing tujuh keliling di sekolah. Pikirannya santai, ketika Bunda
menanyakan, kenapa ia begitu cepat pulang dari sekolah “Biasalah bun, ada orang
iseng yang nggak suka Shila masuk
sekolah selama 2 pekan.” Dan mata bunda pun membeliak lebar…. Ashila geli
melihatnya.
“Udah deh Bun… semua akan beres
kok… Shila nggak lakuin apa-apa! Nggak lompat pagar sekolah, nggak ngumpet di WC, nggak tawuran, nggak nyabu, Cuma nyapu doang kok.” Canda Ashila, duduk di kursi
rotan beranda rumah, tepat disamping bunda yang masih menyisakan kerut pada
dahinya.
“Sebabnya apa sayang?”
“Diskriminasi siswa aja Bun,
biasa! nggak suka liat orang happy
aja kali…” senyum Ashila merekah.
“Yang lain?”
“Only Ashila Bunda… alnya resenya hanya ama Shila. Tenang
aja deh Bun… Shila mah nggak anggap
ini suatu hal yang patut disayangkan. Yang disayangkan menurut kamus Ashila,
kalau Shila dilarang ketemu bunda. Nah itu baru masalah besar!” ucap Ashila
menarik senyumnya kembali. kerut itu pun hilang dari sana. Dari wajah cantik
bunda, yang berubah menjadi senyum cantik laksana purnama.
Hari yang seharusnya dilalui
Ashila dengan menatap bu Tika dengan rumus kimianya, Bu susan dengan
englishnya, plus Pak Danu dengan rumus matematikanya, kini Ashila lewati dengan
bunda. Canda, juga tawa berpendar ceria melingkupi pasangan anak dan bunda ini.
Teh Shafa yang menjadi karyawan bunda menarik senyum melihat semua.
Inilah yang membuat dirinya betah
bekerja pada bunda. Ada Shila yang kadang jahil hanya sekedar pengen mendengar
tawanya, yang juga terkadang datang dengan segala kehebohannya.
“Teh! ada titipan salam..”
“Dari
siapa?”
“Rosa…”
“Rosa?”
“Yah,
mau tau siapa?” Tanya Shila duduk didepan the Shafa yang tengah asyik membuat
nota belanjaan bulanan.
“Boleh…”
“Tuh,
Rombongan sapi pak Abin!” Tunjuk Shila, tersenyum jahil pada rombongan sapi
disudut lapangan nun jauh disana.
Shila telah menempati hati teh Shafa,
seperti Shila yang menempati hati bunda, juga hati Zora, Zihan dan juga mereka,
termasuk kamu. (he.. he..)
“Bun, ada butik baru buka dijalan
sahabat, namanya butik “sporty” tau apa maknanya.”
“Shila lihatnya kapan?”
“Baru juga tadi…. Desainnya manis
bun. Serba pingky. Shila pengen jalan kesana ngajak Zora n Zihan. Sekedar
jalan, sapa tau aja ada inspirasi….”
“Nggak boleh ngejiplak karya orang
lain sayang itu Sama aja kita mencuri keorisinalan mereka.” Putus Bunda cepat.
Ashila menatap bunda dengan antusias yang tinggi.
“Bun, Shila bukan salah satu dari
rakyat Indonesia yang curang seperti itu, yang ngejiplak karya orang tanpa pernah menyadari. Sudah membohongi
orang lain, dosa pula! Bahkan yang ngebuat
Shila sering geleng-geleng kepala, masalah buku-buku bajakan yang dijual murah.
Padahal kan udah ada aturan untuk wilayah ini. Manusia sekarang aja kali yang
kehilangan nurani”
“Trus yang tadi Shila bilang?”
Tanya teh Shafa mengkerutkan dahi.
“Ya, inspirasinya, bukan untuk
kita teh, tapi untuk mereka.”
“Kirain….”
Senyum
Ashila pun mengembang, meneruskan bacaannya. Ashila baru berhenti, ketika deru
lembut mobil Zora berhenti didepan rumah. Terlonjak, Ashila menuju beranda,
menyambut dua shohibnya yang telah ia tunggu.
“Gila Girls! Ternyata tuh ide
murninya Keisya, karena Lo ngalahin Rizq. Dan yang bikin Gue terharu, Rizq
bersuara lantang atas nama Lo dan dia membeberkan kalau Lo bertanding ama dia
bukan karena apa-apa, tapi hanya permainan biasa. Dan dia…” sampai disini, mata
Zora mengerling nakal.
“Apa?”
“Atas nama Lo, dia bersama
teman-temannya, kelas 3 IPA nggak
akan masuk sampai masalah Lo didelete secepatnya.”
“Kok?”
“Atas nama ukhuwah sesama muslim
say.” Zihan angkat suara. Memotong ucapan Zora yang mulai memasuki jalur iseng
tanpa hentinya. Zora melirik Zihan pasrah. Ashila terkikik geli, merangkul
keduanya masuk menemui bunda.
“Serius neh. Rizq turun
mengerahkan teman-temannya untuk menuntut haq Gue atas nama kebenaran? Kalau
begini nih potret remaja Indonesia, Gue jamin nih Negara bakal jauh dari yang
namanya cap-cap negative. Nggak ada lagi haq perorangan yang tertindas, apalagi
haq golongan, karena semua saling bahu membahu dalam membela satu dan yang
lainnya.” Hembus nafas Ashila dengan senyum manis yang tersungging disana.
Ada lega atas suara kebenaran yang tengah diperjuangkan teman-temannya. Dan
Ashila yakin atas nama cinta mereka bergerak untuk itu. ( Setuju guys?)
“Thank`s Allah, Thank`s fren and
thank`s Rizq Fahreza al-Faqih!” batinnya lagi.
Tak menunggu lama, akhirnya
pengumuman skors atas nama Ashila dicabut. Dan Ashila kembali masuk sekolah
dengan full senyumnya yang manis, yang menandakan bahwa ia akan selalu seperti
ini walau gencatan apapun menimpanya. Semua yang berpapasan dengannya sepanjang
koridor sekolah, semua mengucapkan say
hei hello untuknya, tak terkecuali adik-adik kelas. Ternyata perihal
mengenai itu telah menyebar, dan secara tak langsung, Ashila menjadi “idola”
disana-sini.
“Ternyata masalah ini ada sisi
negativenya juga buat Gue… kemana Gue melangkah disekitar sekolah pasti semua
pada ngasi say hello, yang ngebuat mulut Gue kaku dengan senyum.” Ucapnya
begitu bertemu Zora dan Zihan ditangga yang akan mengantar keduanya menuju
lantai bawah, kekelas Bahasa.
“Ye…itukan do`a say…” senyum
Zihan, mengajaknya untuk bergabung.
“Gue mah tau itu do`a cin, tapi kalau setiap hari gini, Gue bisa di
infuse.” Canda Ashila, yang mendapat cibiran dari Zora. Ashila menanggapi
dengan leletan lidahnya. Tertawa!
Komentar
Posting Komentar