Karena Cinta tak Melupakanmu (5)
LIMA
Aku
sampai di rumah dengan langsung menemui ibu yang sudah sedari tadi menungguku
bersama ayah yang sudah begitu senja usianya. Beliau tetap gagah dengan
karakternya yang tegas sejak dulu dan kini. Lain ayah, lain pula ibu. Ibu yang
selalu menuntut, bahkan terlalu protek
atas anak-anaknya tetaplah ibuku.
“Itu
yang kamu harapkan, Yu?” Selidik Ibu sesaat setelah kukecup punggung tangannya.
Aku pikir berlalunya waktu, ibu mampu menerima Nirwana menjadi menantunya.
Tapi, teryata ibu banyak diamnya saat bertemu Nirwana dulu, semasa sehatnya
karena ayah yang memintanya bersikap baik pada Nirwana.
“Bu,
Bayu tidak pernah berharap Nirwana akan seperti ini. Semuanya ujian bu..”
“Ujian
karena kamu tidak menerima calon yang ibu berikan. Coba lihat, Diandra bahkan
sudah menjadi dokter terkenal…” ibu mulai membanding-bandingkan Nirwana dengan
calon ibu dulu yang akhirnya kuketahui bernama Diandra.
“Bayu
tidak memerlukan istri yang terkenal, lalu dikenal semua orang. Sibuk untuk
orang lain, bukan untuk keluarganya. Cukuplah Nirwana dikenal sebagai wanita
sholihah yang insyaAllah terkenal di syurga bu. Tidak dikenal oleh dunia, tapi
dikenal oleh langit..” Aku mulai memberikan penegasan pada ibu lewat bahasaku.
Kulihat Ayah melirikku, memintaku mengalah dari sosok ibu.
“Kamu
itu ya…sama orang tua…”
“Bu,
Bayu minta maaf. Sebaiknya ibu istirahat dulu ya..” Aku membimbing ibu
melangkah menuju kamar tamu yang bersebelahan dengan ruang dimana Cinta sedang
istirahat. Ibu mengikuti meski bibirnya manyun karena aku yang keras kepala tetap
memegang pendirianku, untuk tetap menjaga Cintaku.
Selepas
mengantar ibu dan ayah untuk beristirahat, aku mampir ke kamar Cinta.
Menjenguknya yang ternyata sudah terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap saat aku
menepi kesisi pembaringannya. Duduk disana, melemparkan senyum untuknya.
Menyapanya.
“Assalamu
`alaikum, Cinta…”
“Cin…ta..”
“Yah,
panggilanku untukmu…”
Cinta
menarik senyumnya. Senyum pelangi yang berpendar disana seolah membawa pergi
letihku, takutku akan penyakit ini. Penyakit yang luar biasa menyita pikiranku.
“Ka-mu?”
Aku
mengambil post it kuning yang
diletakkan suster Rita di dekat meja. Disana ada beberapa tulisan tangan suster
Rita yang menuliskan pesan untuk Cinta.
“Ba-yu”
Cinta
mengeja namaku, bergantian ia menatap kertas bertulis namaku dan menatap
wajahku lama. Tepatnya meneliti baik-baik. Tiba-tiba Cinta menarik senyumnya
kembali. Tawa kecilnya pun berderai merdu. Suster Rita yang melihat tawa Cinta
saat melangkah masuk membawa air minum berbisik padaku.
“Ini
kemajuan Mas Bayu..”
“Maksudnya?”
“Tetap
berikan cinta kenangan selama berapa tahun kebersamaan mas. Pelan-pelan saja.
InsyaAllah, Allah akan memberikan jalan saat kesabaran kita menjadi pondasinya,
ditopang dengan shalat kita sebagai akarnya..” Suster Rita mulai berfilosofi.
“Ba-yu…”
“Ya…”
aku mengalihkan pandanganku. Focus kembali pada mata gemintang Cinta yang
mengerjap cantik.
“Ki-ta
sha-lat magh-rib?”
“Ya!”
Aku mengangguk. Ada bias airmata dipelupuk mataku. Sedikit lagi dia akan jatuh.
Namun cepat kuhalau segera, sebelum Cinta menemukan tetesnya. Aku merasa
bahagia karena cintaku masih mengingat TuhanNya. Ternyata Alzhemeir tidak
mengambil ingatannya akan TuhanNya.
“Yaa,
Allah aku ridho ia tak mengingatku, asal ia mengingatMu..” entah mengapa
lisanku, hatiku, pikirku bergumam seperti ini. Ada gelombang ikhlas yang
tiba-tiba deras mengalir pada hatiku, hingga lega itu menggantikan sesak yang
ada sejak vonis dokter mengatakan cintaku menderita alzhemeir. Sesak yang
menjadi temanku selama beberapa tahun, tiba-tiba hilang…
“Aku
akan bacakan surah cinta buatmu…” ucapku, menggengam tangannya. Membantunya
melangkah menuju tempat wudhu. Saat langkahku sampai dipintu. Ibu secara
bersamaan keluar dari kamarnya. Ibu menatap cinta dalam. Aku berharap ibu tidak
berkata apapun pada cinta.
“Mau
kemana?” Tanya ibu. Cinta memberikan reaksinya. Ia berhenti secara reflex di
depan ibu. Menarik senyumnya. Mengambil tangan ibu, menciumnya.
“Ke-ma-na?”
saat cinta mengangkat wajahnya, ia berbalik menatapku. Bertanya mau kemana. Ia
sudah lupa tujuan kemana kami akan melangkah.
“Wud-hu..”
Kepala
cinta menggeleng pendek.
Aku
tetap menggengam tangannya, melangkah mengambil wudhu. Selepas membimbingnya
untuk berwudhu, aku segera membantunya mengenakan mukena shalatnya, meski ia
bisa melakukannya. Kulihat ibu terus memperhatikanku dan cinta. Ada ayah disana
yang lebih banyak menarik senyumnya, juga memperhatikanku.
“Bu,
seharusnya ibu bangga punya anak yang begitu menjaga cintanya..” kudengar ayah
meledek ibu. Ibu tak memberikan responnya, selain lirikan kecilnya yang
“mematikan” setidaknya bagiku dan kakak-kakakku.
Aku
mendekati ayah-dan ibu, meminta mereka ikut bersamaku melakukan shalat
berjama`ah. Ayah menyetujui. Lain ayah, lain pula ibu seperti yang kukatakan tadi, pasti ada balasan
kalimat yang akan ibu lontarkan.
“Bukannya
kamu wajib shalat di masjid, berjama`ah?” ledek ibu. Aku membenarkan ucapan
ibu. Namun kali ini pembenaran kata ibu sekalian menyampaikan pada ibu tentang
kondisi Cinta yang membutuhkanku menjadi imamnya.
“Bu,
seorang laki-laki adalah imam bagi istrinya. Saat ini aku ingin meng-imami
Nirwana karena Nirwana membutuhkanku ada disini, saat ini..”
Ibu melangkah pergi.
Aku menghela nafas, kembali menuju
tempat dimana cinta menungguku sambil duduk di atas sajadahnya. Suster Rita
ternyata sudah siap disampingnya. Mengajak cintaku berdiri segera, karena ayah
sudah mengumandangkan iqamahnya.
Dengan bismillah kuangkat takbirku
tinggi dengan penuh harap padaNya. Kusampaikan bahasa cintaku padaNya lewat
Ar-Rahman. MemintaNya untuk tetap menyimpan memory hafalan Cinta meski
alzhemeir memangkas seluruh ingatnya. Karena dengan wasilah surah inilah cinta
terkadang mengingatku dengan baik, meski hanya hitungan beberapa menit. Menit
berharga yang kuartikan sebagai bonus dariNya.
“Assalamu alaikum warahmatullah…”
“Assalamu alaikum warahmatullah
wabarakaatuh…”
AKU memutar kepalaku, mengucapkan
salam. Selepas itu aku membalikkan badanku, menyodorkan tanganku pada cinta. Sejenak
cinta terlihat bingung. Suster Rita mengambil tangan cinta, lalu menciumnya. Mengajarkannya
dengan sabar sekali. Setelah melihat dan merasakan apa yang barusan suster Rita
peragakan, Cinta mengambil tanganku, mencium tepat dipunggung tanganku. Ada haru
yang menyelinap masuk pada hatiku. Aku ingin merengkuh cinta, tapi…
“Cinta
butuh waktu. Mengingatkannya pun butuh kesabaran, meski sentuhan fisik seperti
memeluknya atau mencium keningnya semua harus dilakukan perlahan tanpa
meninggalkan rasa takut baginya.”
Pesan dokter Ehsan membuatku
menahannya. Aku hanya mampu mengelus kepalanya lalu memberikannya senyuman. Saat
aku memalingkan wajahku, kulihat ibu menatapku tajam.
“Apa gunanya kalau dia sakit, Yu?”
ucap ibu cukup membuatku tersentak. Dengan intruksi perlahan kupinta suster
Rita membawa Cinta kekamar. Aku harus bicara dengan ibu, sekarang!
“Bu, Nirwana istriku. Tolong hargai
perasaannya…”
“Emangnya dia tahu apa itu perasaan
sekarang? Kenal kamu aja nggak!” Jawab ibu tanpa memikirkan perasaanku yang
terluka. Ibuku tetaplah ibuku. Hanya helaan nafas yang keluar beradu. Ayah seperti
biasa mengambil posisi menengahi.
“Sudahlah bu..sesekali biarkan Bayu
mengurus sendiri perjalanan rumah tangganya. Bukan tugas kita lagi untuk
mengurusnya…”
“Maafkan Bayu bu…”
“Daripada sulit tidak ada yang
mengurus kamu, kenapa tidak menikah aja sama suster Rita…” Sambung ibu lagi.
“Ibu!!!!” Suara ayah meninggi.
Ibu berlalu dengan wajah angkuh
Aku beristigfar lama. Ayah mengelus
pundakku, lalu menyusul ibu. Saat aku menoleh kudapati suster Rita berdiri di
pintu dengan wajah santai, seperti tak ada apa-apa.
“Mas, saya pulang…”
“Ya…iya…” Anggukku diterpa bingung.
Perkataan ibu membuatku takut, takut menghianati
cintaku atas Cinta.
“Nikah? Lagi?”
Aku menggeleng cepat, melangkah menuju
kamar-giliranku menjaga Cinta malam ini.
Komentar
Posting Komentar