(Novel) Gw Bilang Cinta - (5)
LIMA
Ashila menghalau sengatan matahari
yang menabrak wajahnya tanpa ampun, hingga wajah itu berubah pink dengan embun
yang keluar dari pori-pori wajahnya. Mungkin ini juga bisa dikatakan membuang
karbon dioksida dari wajahnya.
Sebenarnya tadi ia pulang ikut dengan kendaraan Zora, berhubung Bunda
memintanya untuk membeli barang-barang yang menjadi pendukung butiknya,
akhirnya Ashila memilih naik bus setelah sejenak rehat di masjid dekat skull. Yah sekali-kali nggak pake gratis dengan sahabat
tercinta, yang selalu setia menjadi “pengawal” untuknya dan Zihan.
Mungkin inilah salah satu dari
ciri sahabat sejati…berat sama dipikul, ringan sama dijinjing! Ashila keluar
dari toko “Ikhtiar” membawa barang bawaannya, menuju pemberhentian bus, dengan
wajah riangnya, melantunkan nasyid satu tekad milik Unic, ketika sebuah motor
besar dengan pengendaranya yang memakai helm standar hitam persis anggota power
rangers itu melihatnya menaiki bus. Wajah kearab-araban itu menarik senyum
kecilnya. Entah apa yang ada dalam fikirnya!
Toko ikhtiar menjual semua
perlengkapan jahit-menjahit plus segala merk kain, mulai hasil impor hingga
exspor…ada kain khas korea, india, etc.
semua tersedia disini, dengan gedungnya yang bertingkat 3. Awalnya Ashila
penasaran dengan nama ikhtiar. Setelah ia tahu maksudnya, ia pun bertambah suka
dengan toko ini. Ada manifestasi menuju akhirat di sini…karyawannya full senyum
dengan kostum yang menentramkan, dengan jilbab yang menutup mahkotanya….alunan
instrumennya pun asik yang didesain serba hijau.
Ashila kini telah tiba didepan
gerbang rumahnya, yang berdampingan dengan butik “Ainnazwa” yang diambil dari
namanya sendiri. Jika melihatnya Ashila selalu tersenyum. Bunda sejak lulus
dari kuliah desainer bersama ayah, langsung membuka butik untuk tak menyia-nyiakan ilmu yang Allah titipkan
padanya. Kini kabar tentang ayah sejak usianya tiga tahun belum pernah
terdengar kembali. Kata Bunda, Opa dan Oma dari pihak ayah tak menyetujui
pernikahan Bunda dengan ayah. Cerita ini Ashila dapat ketika ia masuk kelas 3
SMP, disaat greget rindu pada sosok ini mengeliat kuat pada hati juga fikirnya.
“Ma, Papa kemana sih? Kenapa Ashila nggak pernah liat sejak dulu.
Ashilakan pengen dianter Papa, seperti teman-teman..” Protesnya masih
dengan seragam putih-birunya, lengkap dengan raport yang mendekap pada dadanya
kala itu.
“Ayah kembali kepada Opa dan
Oma….14 tahun lalu. Ayah sosok yang bertanggung jawab sayang, ketika masa
bahagia itu ada melingkupi kita, keluarga ini diuji dengan ujian yang berat
untuk ayah. Antar orang tua yang memintanya untuk kembali, dengan Bunda yang
dinikahinya tanpa restu orang tua ayah. Berat memang bunda dan Ayah rasakan,
tapi Bunda tak ingin hidup Ayah dibayangi dengan kemarahan opa dan oma…bunda
tak ingin Ayah seperti sahabat Rasul kelak, tak mendapat ridho dari ayah dan
ibunya….maafkan Bunda sayang...”
Kata-kata Bunda pun terngiang dan
akan selamanya Ashila ingat. Ashila akan menjelma menjadi jembatan untuk ayah
dan bunda! Ya jembatan dengan energy positif yang akan mempertemukan positif
bunda dengan energy positif opa dan oma….memang magnet itu masih saling jauh
tak bergeser, dan saat bergesernya nanti, Ashilalah yang bertekad untuk
menggesernya! Ya!
“Assalamu `alaikum bunda….” Suara
lengkingan khas Ashila bergelombang masuk ke dalam rumah, mengirimkan signal pada Bunda untuk segera dijawab.
Setelah signal itu telah nampak
dengan jawab lembut bunda keluar menyambutnya dengan senyum syurganya dalam
balutan jilbab coklat manis yang membingkai wajah cantiknya dengan lesung pipi
pada kiri juga kanannya, ashila baru melangkah masuk kerumah.
“Gimana sayang? Afwan ya Bunda
nggak sempat kesana, jadi….”
“Plis deh Bun….Ashila nggak
apa-apa!” tekan ashila, menatap wajah itu kembali. Wajah yang menurun padanya
dengan mata bulat juga alis tebal ayah yang melengkapi. Kontras wajah Ashila
begitu sempurna!
Bunda menarik senyum, mengusap
kepala Ashila yang hari ini mengenakan jilbab coklat senada dengannya. Ada haru
pada dada bunda, melihat wajah Ashila yang padanya Bunda menemukan kekuatan
untuk terus melakukan yang terbaik untuk putrinya, Ashila Ainnazwa!. Bunda
ingin Ashila bangga menjadi bagian dalam kehidupannya, dan baik dalam
madrasahnya.
“Yuk bun.” Tatap Ashila pada wajah
bunda yang masih menatapnya.
“Bunda, Shila nggak apa-apa, nggak
capek apalagi lelah….” Ucap Ashila dengan binar mata beningnya. Bunda menarik
napas, mencium kening Ashila. Ashila memeluk bunda erat. Pada hatinya terucap
kuat “I luv Bunda!”
“Afwan ya sayang….” Ucap bunda
lagi, berbisik. Ada embun pada mata beningnya.
Duh
bunda, berapa kali sih, Ashila harus bilang Ashila nggak apa-apa?. Sampai kapan
pun jika bunda yang pinta, Ashila akan melakukannya dengan senang hati, nggak
pake keluhan apalagi yang lain….apakah hati bunda begitu perasa? Sampai harus
mengutarakan maaf berapa kali?
Bunda..., Ashila sayang bunda, dan jangan ragukan itu!
Jangan pernah!, karena bunda berhak untuk mendapatkan itu, dari Ashila…, juga
karena Ashila mengejar syurga lewat pintu ridho bunda, Ashila akan menjadi
putri yang seperti bunda pinta dalam do`a bunda, tatapan bening bunda! Shila
akan berusaha!
Bisik
hati Ashila dalam, dalam pelukan hangat penuh cinta milik bunda, pelangi
hatinya….
(GBC)
Pagi, ketika langkah Ashila sudah
masuk kewilayah gerbang sekolah, ketika ia tenggah menunggu Zihan seperti biasa,
SMS Zora masuk.
“Girls…Lo langsung kekantor
OSIS ya, ada rapat jantungan.” SMSnya dengan bahasa “jantungan” jika ada
rapat dadakan yang diumumkan langsung dari kantor OSIS.
“Oke! Gue semaput neh dengernya!”
SMS Ashila cepat, lalu memutar langkah menuju kantor OSIS, tempat mereka dulu.
Ashila nggak suka menyebutnya sebagai
kantor OSIS. Ia lebih happy dengan sebutan camp
konsentrasi, karena disanalah untuk pertama kalinya dia dan dua shohibnya
mendapatkan soal yang “ampun-ampunan”. Soal olimpiade pun nggak sebanyak itu dalam sekali duduk. Rizq benar-benar jenius,
dalam memberikan hukuman. Jenius tapi nggak
relevan!
Langkah Ashila tiba di depan camp
konsentrasi, begitu palu ketua diketuk, tanda sepakat. Ashila menautkan
alisnya. “Gue kan belum ngomong apa-apa…”
batinnya mengucapkan salam, mengambil tempat di samping Zora yang berbisik.
“Rapat penentuan untuk acara talk
show jurnalistik Girls.”
“Oh!” angguk Ashila, menatap lurus
pada peseta sidang dari berbagai departement.
“Kesimpulannya, talk show diadakan
di aula sekolah dengan barisan cowok di depan, cewek di belakang, dan untuk panitia yang
meng….bla…bla….” kesimpulan itu dibacakan dengan dengungan yang lambat, persis
pembacaan teks proklamasi kemerdekaan RI.
“Sepertinya ada yang punya usul….”
Lirik Zaldy pada Ashila yang menggigit bibirnya tanda ada yang nggak nyambung dalam pikirannya.
Zora menyikut Ashila, memintanya
untuk berbicara. “Zaldy tau tuh, Lo mau protes!” bisiknya geli. Bersamaan
dengan itu, mata Ashila mengarah pada ketua OSIS yang juga menatap lurus
kearahnya.
“Lo punya usul?”
“Ya! Ini prinsip menurut Gue, yang
sudah harus dilaksanakan di sekolah ini. Masalah tempat untuk cowok dan cewek,
seharusnya nggak pake seperti tadi,
cowok di depan, cewek di belakang….”
“Langsung aja!.” Perintah sang
ketua dengan tegas.
“Oke!, Gue pengen cowok dan cewek dipisah, pake hijab! Jadi, posisinya sama.”
“Lo mau menuntut gender?”
“Ini bukan masalah gender nona.”
Ucap Ashila tajam pada ketua OSIS yang
terkenal bersebrangan orientasi dengannya. Ashila sih cuek baibeh dengan nona ini, nona yang di
awal masuknya Ashila kedalam tubuh OSIS sudah menampakkan sinyal gawat darurat.
“Ini masalah sunnah yang harus
ditegakkan….step by step! Bukan
gender!. Dalam Islam nggak ada gender
nona!” tajam, menukik dalam hati sang ketua OSIS yang panggilannya berubah nona
dihadapan Ashila.
“Keputusan ini di….”
“Gue setuju! Walau Gue belum
berjilbab, Gue mendukung usul ini, lagian ada positifnya juga kok!” suara Zora
terdengar memotong suara ketua OSIS.
“Ana atas nama pengurus ROHIS sekolah setuju dengan usul Ashila.”
Zaldy angkat suara. Sang nona menghembuskan nafasnya, melirik tajam pada
Ashila.
“Oke, keputusan, cowok dan cewek pake hijab!” penuh penekanan, sang nona
memutuskan. Ada semburat lega pada wajah Ashila….mendengar keputusan itu. Deal!
semua berdasarkan pengambilan suara yang lebih banyak menyetujui usul Ashila.
Ashila bukan pengurus ROHIS RG,
tapi ia berhak mengeluarkan keluh kesah, kritik atau pun sejenisnya untuk sekolah,
karena ia juga adalah bagian dari komunitas sekolah. Lagian, dalam fikirnya, ngapaian ada ROHIS, kalau programnya
stagnan, yang dari dulu sifatnya keturunan dari kepemimpinan sebelumnya. “Sama
aja boong!” seru Ashila saat itu, didepan Zaldy. “Kalau mau ROHIS maju,
buat dong inovasi, yang mampu merubah sedikit demi sedikit wajah ROHIS RG. Jika
kemarin-kemarin lebih pada program-program social, saatnya berubah dalam
tindakan nyata. Kerjakan sunnah! Gitu aja kok repot!” cerocos Ashila,
membuat Zaldy perlahan tapi pasti mulai menawarkan wajah baru pada ROHIS RG.
Lebih kreatif juga inovatif. Karena memang itulah seharusnya ciri seorang
muslim. Selalu memiliki hal-hal yang baru dan tak pernah berhenti untuk terus
memberikan inovasi yang terbaik. Setuju?
“By the Way, Talk shownya kapan?” celetuk peserta rapat yang lain,
membuat sang nona kembali mengeluarkan suara.
“Pekan depan, bersamaan dengan
terbitnya bulletin RG.” Ucap sang nona yang memiliki nama asli Kaesya Raisya
itu. Demi mendengar jawaban itu, mata bullet Ashila bertambah bullet. Ia pun
melirik Zora yang mulai bad mood dengan
suasana rapat.
“Serius neh? Gue kan belum ngambil
hasil wawancara Gue ama Rizq”
“Ntar Lo ambil, paling juga dia udah
selesai ngejawabnya, tapi itu kalau
Lo nggak balas dendam dengan 50
pertanyaan….”
“Gue mah nggak kejam non!”
greget Ashila. Zora terkikik geli.
Begitu
rapat usai, tanpa menyempatkan berbicara dengan Zora yang kelihatan lega dengan
berakhirnya rapat, Ashila segera menuju lapangan basket untuk mencari sosok
Rizq, ingin mengambil hasil wawancaranya. Setibanya ia dilapangan basket yang
memang disana lah Rizq and the gank latihan, Ashila langsung menuju titik
koordinatnya. Rizq Fahreza al-Faqih!
“Lo butuh Gue?” sapanya dengan
embun diwajah juga badannya. Membawa bola pada tangan kirinya. Wajah
kearab-araban yang dikucuri keringat itu pun terlihat amazing tertimpa sinar
matahari yang masuk dari celah dedaunan.
“Terpaksa sih…”
“Hm, mengenai hasil dari wawancara
itu, jawabannya ada pada Lo. Jika Lo menolak tantangan Gue, hasil wawancaranya nggak akan keluar, namun jika Lo setuju,
Gue akan berikan, itu pun jika Lo menang
dari Gue.”
“Hah? Tantangan? Emang apa hubungannya dengan hasil
wawancara tu?” sentak Ashila.
“Hubungannya jelas! Bulletin RG nggak akan terbit kalau hasil wawancara
Gue belum keluar bukan?” senyumnya lebar. Ashila mengigit bibirnya keras. “ Nih orang benar-benar deh! Pake analisis
yang benar lagi!” ngedumel Ashila, berfikir sejenak. Akhirnya….
“Apa? Soal lagi?” Tantang Ashila.
Rizq tersenyum sebelum menjawab. “
Basket!” jawabnya sportif.
GLEGH!
Ashila tersentak kuat. “Benar-benar
apes Gue” bisiknya. Ashila terdiam sejenak, berfikir segala kemungkinannya,
sampai pada akhirnya ia mengangguk
yakin.
“Oke! Kapan pertandingannya?”
“Rabu, di jam olahraga!”
“Oke!”
“Lo nggak butuh saksi?”
“Cukup Allah yang menjadi saksi
Gue!” yakin Ashila, mulai meninggalkan lapangan, berfikir trik apa yang bisa
mengalahkan makhluq langka itu. Mengingat basket, sentak Ashila terlempar pada
masa SMP, dimana dirinya menjadi kapten basket sekolah, yang dari sana lah, ia
terpaksa istirahat dari dunia basket seutuhnya.
Lomba basket antar SMP negeri
dilakukan di sekolah khatulistiwa. Maka dengan enam anggotanya, Ashila
mempersiapkan semua dengan persiapan yang matang. Tiada hari tanpa latihan dan
breafing, hingga Ashila tak lagi memerhatikan kondisi fisiknya. Ia drop dengan cidera pada pergelangan kakinya.
Ashila keluar dari tim basket sekolah karenanya, juga karena Ashila tak ingin
Bunda bersedih kembali dengan apa yang bisa menimpanya. Dan sekarang, apa itu
bisa kembali ia pertahankan? Wajah bunda pun terbayang jelas….
Komentar
Posting Komentar