CERPEN: I proud to you
Asya tersentak bangun dengan
butiran-butiran keringat yang muncul dari keningnya. Dengan kedua telapak
tangannya, ia menyeka keringat itu pelan dengan mata terpejam. Slide mimpi yang
seolah nyata itu kembali terbayang. Adik bungsu lelakinya meninggal dunia! Kini
mata itu terbuka lebar, menatap sekeliling kamar yang sepi dan gelap. Malam
masih tersisa beberapa jam hingga shubuh datang.
03.00
dini hari. Liriknya pada pergelangan tangannya, tempat jam tangan mungil quartz melingkar manis.
Allah, pertanda apa ini…
bisik hatinya, menatap lurus keluar jendela. Setelah beberapa saat duduk
menekuk kaki, menenangkan diri, Asya akhirnya bangkit melangkah menuju kamar
mandi. Melewati kamar Mba Nis, Mba Rima dan Chicha yang masih gelap. Dengan
mengucapkan Bismillah Asya mengambil wudhu, berniat menyegerakan shalat
disepertiga malam sambil menunggu shubuh menjelang. Sesekali terdengar kokok
ayam saling bersahut-sahutan dari sekitar kost. Allah, malaikatMU telah turun, dan kutahu, Engkaupun turun menyaksikan
hamba-hambaMU yang berdoa penuh harap padaMU. Hilangkahkan rasa khawatir ini
dari tempatnya… Do`a Asya terlantun begitu langkahnya keluar kamar mandi.
Selepas melakukan segala rutinitas
pada Tuhannya, Asya segera melajutkan niatnya untuk menelfon ke rumah.
Menanyakan kabar adiknya yang dalam beberapa pekan “terlupakan” karena
kesibukan.
“Assalamu `alaikum, Ma”. Mama
memberikan jawaban dengan cepat yang kemudian disusul dengan pertanyaan beliau
yang tak pernah berubah “Apa kabar, nak?” aku memberikan jawaban pun selalu
sama “Alhamdulillah, baik Ma..” setelahnya bisa ditebak aneka jenis obrolan
basa-basi penuh makna antar anak dan orang tua pun bergulir.
“Ma, Abdullah, ada?”
“Tuh lagi sakit demam!” Mama
memberikan jawaban. Maka otak visualku bergerak cepat, membayangkan kepala Mama
yang bergerak menoleh pada adikku yang terbaring dalam kondisi lemah disebabkan
demamnya.
“Asya mau ngomong, Ma..” sambungku.
Tak perlu lama menunggu akhirnya Mama memberikan HP pada adik Asya. Terdengar
sapaan serak nan manja. Duh!
“Kak Asya, Abdullah demam..”
“Iya, cepat sembuh ya. Pekan depan
kak Asya pulang”.
“Iya..” Abdullah menjawab. Untuk
beberapa menit yang Asya dengar hanya hembusan angin tanpa suara. Kerut pada
dahi Asya pun terlihat begitu jelas.
“Hallo…”
“Hallo…”
Tak ada jawaban. Begitu HP berniat
dimatikan, suara Mama kembali terdengar menyapa. Menutup pertanyan tentang kapan
Asya akan pulang.
“InsyaAllah sabtu, Ma..” Asya
menjawab pertanyaan Mama sebelum akhirnya HP ditutup. Lega kini mulai berkumpul
menjadi satu, tapi entah mengapa masih ada satu yang seratnya masih enggan
melekat. Serat khawatir akan kehilangan itulah yang tak bisa melekat menjadi
satu pada barisan lega. Uh, ada apa ini?!
Ketika
aku pergi, apakah ada yang berduka?
Mata Asya menelusuri kata-demi kata
yang ditulis Fathan pada status facebooknya. Matanya menyipit, fikirnya
bekerja. Neh, anak kenapa pakai status
begini?
Menelusuri
setiap komentar akhirnya mata Asya mendapati beberapa komentar tentang status
Fathan yang rada “horror”. Asya memilih untuk tidak memberikan komentar apapun
pada status Fathan kali ini. Tapi pada bathinnya Asya bergumam “Ketika orang baik pergi, dia bukan hanya
sekedar ditangisi, namun juga dido`akan dan tak akan dilupakan.” Asya
memilih melanjutkan proyeknya. Namun semakin Asya menelisik pikiran akan status
itu , status itu ternyata cukup membuat hancur konsentrasinya. Asya
menghembuskan nafasnya, meninggalkan sejenak proyeknya yang hampir selesai
sesuai deadline.
Allah, ada apa dengan feeling ini?
…..
Pagi jelang dini hari, Asya
terbangun. Bangun karena alrm surah Al-Ikhlas yang begitu kencang.
Sampai-sampai kepalanya seolah-olah dipenuhi kata-kata “qul huwallahu ahad,
allahushamad, lam yalid walam yuuulad, walam yaqullahu qufuwan ahad.”
Bergegas
rutinitas seperti hari-hari sebelumnya dilewati. Shalat tahajjud, witir,
tadarrus, mengulang hafalan hingga mendirikan shalat shubuh. Dan Pagi seperti
kebiasaan-kebiasaannya, Asya akan membuka facebook untuk menyapa ataupun
menulis beberapa kata. Namun matanya kembali membaca status baru Fathan.
I
will out of this world
Yah…siapapun
itu, setiap jiwa yang bernyawa akan pergi dik..pasti! ucap Asya, kali
inipun hanya sebatas membathin. Asya adalah tipe manusia yang sangat benci akan
kehilangan teman, sahabat, adik, bahkan saudara. Maka ketika kata-kata seperti
ini terungkap, maka otak visualnya akan bekerja cepat. Kehilangan? Yaa Allah, akankah?
Pada
akhirnya aku akan pergi dari dunia ini
Tulisan ini kembali melekat pada
status Fathan. Entahlah mengapa ia berfikir untuk menuliskan kata-kata ini,
seolah-olah dia benar-benar ingin segera pergi. Yang ada difikir Asya hanya
satu “Iseng banget, sih!” .
Disadari
sepenuhnya oleh Asya, semakin ia sering membaca status Fathan maka desakan
khawatir itupun semakin tinggi. Dan..puncak dari semua rasa itu akhirnya
menjadi nyata, menutup kisah itu selamanya.
Ahad malam, selepas berbenah dengan
aktifitas harian lainnya, mempersiapkan bekal materi untuk esok, Asya membuka
facebook, ingin tahu kabar dan postingan ilmu yang bertebaran disana dari grup
ataupun wall-wall orang yang ia sanggupi menjadi teman, sahabat, saudara,
menambah list saudara seiman-seislam itu semakin banyak.
Saat
UN menjelang, harus kehilangan sahabat.
Selamat
jalan sahabat, sampai berjumpa di jannahNya
Degh! Membaca status syuhada malam
itu membuat insting Asya semakin tajam. Ada
apa ini? Kok kesannya ada yang pergi? Apa ia? Kemana? Gaza?
Slide mimpi tentang kematian yang
Asya dapatkan beberapa hari lalu seolah menjadi nyata kini, benar-benar
terjadi! Kehilangan sosok adik yang luar biasa. Mungkinkah?
“sakit? Atau?” Asya membalas cepat
pada status syuhada. Disana tak ada muncul status Fathan yang renyah hampir
setiap harinya, menyapa dengan santun “assalamu
alaikum, qaqa..” yang ada hanya status syuhada sahabat terbaik Fathan yang
memenuhi layar IPAD mungil Asya. Fathan?
Ada apa dengan dia?” desakan pertanyaan itupun semakin tinggi.
“Sesuatu
telah terjadi pada orang ini, Kak..”
What? Apa yang terjadi pada adikku ini?
Sentak memori Asya kembali bekerja. Butiran kristal putih mulai nampak rapuh
ingin keluar dari tempatnya.
“Kapan?”
“Jam
10.00 pagi, Kak, di jam Istirahat sekolah.”
“Kenapa?” pertanyaan yang memuat
unsur 5 W dan 1 H pun terformat begitu saja pada biokomputer kepalaku.
“Dia
sering ngeluh dadanya sakit, Kak..”
“Keluarganya, gimana?”
“Sepertinya
keluarganya juga kurang tahu tentang sakitnya. Dia memang tipe anak yang tak
ingin menyusahkan orang lain Kak..”
Allahu Rabby,
detik itupula kristal bening itu meluncur turun bebas hambatan, diikuti
sesaknya dada. Terbentang kini obrolan bersama Fathan beberapa hari jelang ia
diberi firasat akan pegi lebih dahulu. Obrolan tentang Gaza, keinginan untuk
menjadi anggota izuddin al qassam, menuntut ilmu di tanah Gaza, university of
Gaza, dan begitu banyak impian mulianya. Sungguh tangis itu jatuh karena rasa
kehilangan sosok yang smart, sosok yang menghabiskan sisa kehidupannya dengan
kebaikan dijalanNya. Masih kuat berpuasa di jelang 7 hari kepergiannya, selalu
menjadi alrm pengingat diwaktu-waktu shalat dan seterusnya.
“Yaa
Allah…satu lagi orang baik yang kau Ambil dengan caraMu…” bisik Asya basah,
membiarkan butiran Kristal itu turun leluasa. Tangannya pun terbimbing membuka
percakapan tentang Gaza antara dirinya dan Fathan. Kristal itu semakin banyak
tumpah. Sedih, bahagia, kehilangan, tak rela menjadi satu kesatuan yang
bercampur.
“Allah, kami mencintainya,
menyanyanginya karenaMu, namun kami tahu cinta dan sayangMu padanya lebih dari
apa yang kami rasakan. Menangisinya bukan sebuah solusi yang dapat
mengembalikannya pada kami, namun cukuplah kepergiannya menjadi sentilan besar
padaku dan bagi sahabat-sahabatnya yang lain, bahwa kematian , tak pernah
mengenal tempat, usia, batas Negara, ras, dan agama. Kematian akan tetap
mengintai dan sewaktu-waktu kami pun akan menyusulnya..”
“InsyaAllah Fathan syahid. Sebab dia
pergi ketika dia tengah menuntut ilmu.” Tulis Asya pada status Syuhada. Asya
yakin selain dirinya, sudah pasti banyak yang menyayangi dan mencintai Fathan
dengan cara yang berbeda. ummi, abi, kakak, adik, hingga lingkungannya yang
lain merasakan kehilangan itu, sakit!
“InsyaAllah,
Kak”. Syuhada memberikan balasan. Asya menutup layar IPADnya, merenung akan
rahasia Allah yang ada dalam proses kematian.
Sebesar apapun kita mencintai dan
menyayangi masih ada yang memiliki semuanya lebih dari yang kita punya.
Cemburunya lebih besar dibandingkan apa yang ia titipkan pada hamba-hambaNya.
Satu renungan akhir yang membuat lekat simpul lega itu setiap harinya adalah
sebuah pemahaman bahwa hakikat kematian adalah sebuah kepastian, dan kepergian
Fathan adalah sentuhan yang mengembalikan Asya pada sebuah perenungan panjang.
Bahwa ia pun tak mampu menjamin dirinya dapat terus hidup hingga esok.
“Selamat
Jalan, Dik. Kepergianmu bukan untuk ditangisi. Kepergianmu bukan untuk
disesali. Kakak bangga pernah mengenalmu dengan baik, terimakasih dengan sapaan
hangatmu yang menyadarkan kakak bahwa ukhuwah itu memang indah, sangat indah.
Diskusi dan motivasimu yang begitu baik hingga membuat kepala ini teranggguk
untuk mengatakan “Ya” atas segala kebaikan-kebaikan yang ada, dan berazzam akan
dilaksanakan semampu kakak. Kau benar Ilmu Allah itu luas bukan hanya berada
dilingkup terkecil lingkungan kita. Jika mampu sentuhkan ilmu Allah yang
lainnya.”
“Jangan
benci dunia ini..”
“Inilah kata-katamu yang pada akhirnya
membuat kakak harus menerima bahwa
kepergianmu adalah sebuah keharusan. Kakak tahu lelahmu karena ujian penyakit
yang kau derita sudah cukup dengan keihlasan yang kau tunjukkan pada bumi, pada
dunia ini. Bagaimana dengan caramu yang indah kau pamit pada kami… namun inilah
kami tak mampu membaca secara baik maksud katamu diakhir-akhir masa usiamu.
Selamat jalan dik, semoga Allah membentangkan indahnya hamparan syurga pada
peristirahatan terakhirmu.” Do`a Asya panjang diakhir tahajjudnya
malam ini. Malam ke-2 Fathan pergi untuk selama-lamanya dengan jejak yang
begitu jelas pada setiap hati yang mengenalnya. Sosok yang berjiwa social
tinggi merindu syahid dijalanNya.
“InsyaAllah
kau mencapai impian tertinggi itu dik…” Tangis Asya mengusap wajah dengan
mukena hijaunya. Memberikan jeda kerelaaan itu pergi dengan Azzam bahwa dirinya
harus melakukan apa yang diinginkan Fathan jelang kepergiannya.
“Kak,
novelnya kutunggu, ya…”
Ucapan
yang kelak akan terus mengingatkan Asya pada sosok Fathan, adik, sahabat,
saudara, teman terbaik yang pernah ia temui.
Asya
tersungkur, bersujud lama pada Allah, mengirimkan harapan akan kelapangan untuk
generasi muda yang mencintai kebaikan.
“Maaf tak memahami firasat yang kau
rasakan, yang kau coba bagi pada kami. Satu yang harus kau ketahui, kami
menyayangi dan mencintaimu dik. I`m proud to you….” Basah lisan itu hingga
membuat bahu Asya terguncang. Inilah kehilangan dan ia harus dilepas dengan
kekuatan cinta berasaskan do`a.
I`m
proud to you…
I`m
proud to you…
Inspirasi dari keisengan sesorang atas
seseorang
Komentar
Posting Komentar