Kamis, 28 Maret 2013

CERPEN: I proud to you



            Asya tersentak bangun dengan butiran-butiran keringat yang muncul dari keningnya. Dengan kedua telapak tangannya, ia menyeka keringat itu pelan dengan mata terpejam. Slide mimpi yang seolah nyata itu kembali terbayang. Adik bungsu lelakinya meninggal dunia! Kini mata itu terbuka lebar, menatap sekeliling kamar yang sepi dan gelap. Malam masih tersisa beberapa jam hingga shubuh datang.
 03.00 dini hari. Liriknya pada pergelangan tangannya, tempat jam tangan mungil quartz melingkar manis.
Allah, pertanda apa ini… bisik hatinya, menatap lurus keluar jendela. Setelah beberapa saat duduk menekuk kaki, menenangkan diri, Asya akhirnya bangkit melangkah menuju kamar mandi. Melewati kamar Mba Nis, Mba Rima dan Chicha yang masih gelap. Dengan mengucapkan Bismillah Asya mengambil wudhu, berniat menyegerakan shalat disepertiga malam sambil menunggu shubuh menjelang. Sesekali terdengar kokok ayam saling bersahut-sahutan dari sekitar kost. Allah, malaikatMU telah turun, dan kutahu, Engkaupun turun menyaksikan hamba-hambaMU yang berdoa penuh harap padaMU. Hilangkahkan rasa khawatir ini dari tempatnya… Do`a Asya terlantun begitu langkahnya keluar kamar mandi.
            Selepas melakukan segala rutinitas pada Tuhannya, Asya segera melajutkan niatnya untuk menelfon ke rumah. Menanyakan kabar adiknya yang dalam beberapa pekan “terlupakan” karena kesibukan.
            “Assalamu `alaikum, Ma”. Mama memberikan jawaban dengan cepat yang kemudian disusul dengan pertanyaan beliau yang tak pernah berubah “Apa kabar, nak?” aku memberikan jawaban pun selalu sama “Alhamdulillah, baik Ma..” setelahnya bisa ditebak aneka jenis obrolan basa-basi penuh makna antar anak dan orang tua pun bergulir.
            “Ma, Abdullah, ada?”
            “Tuh lagi sakit demam!” Mama memberikan jawaban. Maka otak visualku bergerak cepat, membayangkan kepala Mama yang bergerak menoleh pada adikku yang terbaring dalam kondisi lemah disebabkan demamnya.
            “Asya mau ngomong, Ma..” sambungku. Tak perlu lama menunggu akhirnya Mama memberikan HP pada adik Asya. Terdengar sapaan serak nan manja. Duh!
            “Kak Asya, Abdullah demam..”
            “Iya, cepat sembuh ya. Pekan depan kak Asya pulang”.
            “Iya..” Abdullah menjawab. Untuk beberapa menit yang Asya dengar hanya hembusan angin tanpa suara. Kerut pada dahi Asya pun terlihat begitu jelas.
            “Hallo…”
            “Hallo…”
            Tak ada jawaban. Begitu HP berniat dimatikan, suara Mama kembali terdengar menyapa. Menutup pertanyan tentang kapan Asya akan pulang.
            “InsyaAllah sabtu, Ma..” Asya menjawab pertanyaan Mama sebelum akhirnya HP ditutup. Lega kini mulai berkumpul menjadi satu, tapi entah mengapa masih ada satu yang seratnya masih enggan melekat. Serat khawatir akan kehilangan itulah yang tak bisa melekat menjadi satu pada barisan lega. Uh, ada apa ini?!
            Ketika aku pergi, apakah ada yang berduka?
            Mata Asya menelusuri kata-demi kata yang ditulis Fathan pada status facebooknya. Matanya menyipit, fikirnya bekerja. Neh, anak kenapa pakai status begini?
Menelusuri setiap komentar akhirnya mata Asya mendapati beberapa komentar tentang status Fathan yang rada “horror”. Asya memilih untuk tidak memberikan komentar apapun pada status Fathan kali ini. Tapi pada bathinnya Asya bergumam “Ketika orang baik pergi, dia bukan hanya sekedar ditangisi, namun juga dido`akan dan tak akan dilupakan.” Asya memilih melanjutkan proyeknya. Namun semakin Asya menelisik pikiran akan status itu , status itu ternyata cukup membuat hancur konsentrasinya. Asya menghembuskan nafasnya, meninggalkan sejenak proyeknya yang hampir selesai sesuai deadline.
Allah, ada apa dengan feeling ini?
…..
            Pagi jelang dini hari, Asya terbangun. Bangun karena alrm surah Al-Ikhlas yang begitu kencang. Sampai-sampai kepalanya seolah-olah dipenuhi kata-kata “qul huwallahu ahad, allahushamad, lam yalid walam yuuulad, walam yaqullahu qufuwan ahad.”
Bergegas rutinitas seperti hari-hari sebelumnya dilewati. Shalat tahajjud, witir, tadarrus, mengulang hafalan hingga mendirikan shalat shubuh. Dan Pagi seperti kebiasaan-kebiasaannya, Asya akan membuka facebook untuk menyapa ataupun menulis beberapa kata. Namun matanya kembali membaca status baru Fathan.
            I will out of this world
            Yah…siapapun itu, setiap jiwa yang bernyawa akan pergi dik..pasti! ucap Asya, kali inipun hanya sebatas membathin. Asya adalah tipe manusia yang sangat benci akan kehilangan teman, sahabat, adik, bahkan saudara. Maka ketika kata-kata seperti ini terungkap, maka otak visualnya akan bekerja cepat. Kehilangan? Yaa Allah, akankah?
            Pada akhirnya aku akan pergi dari dunia ini
            Tulisan ini kembali melekat pada status Fathan. Entahlah mengapa ia berfikir untuk menuliskan kata-kata ini, seolah-olah dia benar-benar ingin segera pergi. Yang ada difikir Asya hanya satu “Iseng banget, sih!” .
Disadari sepenuhnya oleh Asya, semakin ia sering membaca status Fathan maka desakan khawatir itupun semakin tinggi. Dan..puncak dari semua rasa itu akhirnya menjadi nyata, menutup kisah itu selamanya.
            Ahad malam, selepas berbenah dengan aktifitas harian lainnya, mempersiapkan bekal materi untuk esok, Asya membuka facebook, ingin tahu kabar dan postingan ilmu yang bertebaran disana dari grup ataupun wall-wall orang yang ia sanggupi menjadi teman, sahabat, saudara, menambah list saudara seiman-seislam itu semakin banyak.
            Saat UN menjelang, harus kehilangan sahabat.
            Selamat jalan sahabat, sampai berjumpa di jannahNya
            Degh! Membaca status syuhada malam itu membuat insting Asya semakin tajam. Ada apa ini? Kok kesannya ada yang pergi? Apa ia? Kemana? Gaza?
            Slide mimpi tentang kematian yang Asya dapatkan beberapa hari lalu seolah menjadi nyata kini, benar-benar terjadi! Kehilangan sosok adik yang luar biasa. Mungkinkah?
            “sakit? Atau?” Asya membalas cepat pada status syuhada. Disana tak ada muncul status Fathan yang renyah hampir setiap harinya, menyapa dengan santun “assalamu alaikum, qaqa..” yang ada hanya status syuhada sahabat terbaik Fathan yang memenuhi layar IPAD mungil Asya. Fathan? Ada apa dengan dia?” desakan pertanyaan itupun semakin tinggi.
            “Sesuatu telah terjadi pada orang ini, Kak..”
What? Apa yang terjadi pada adikku ini? Sentak memori Asya kembali bekerja. Butiran kristal putih mulai nampak rapuh ingin keluar dari tempatnya.
            “Kapan?”
            “Jam 10.00 pagi, Kak, di jam Istirahat sekolah.”
            “Kenapa?” pertanyaan yang memuat unsur 5 W dan 1 H pun terformat begitu saja pada biokomputer kepalaku.
            “Dia sering ngeluh dadanya sakit, Kak..”
            “Keluarganya, gimana?”
            “Sepertinya keluarganya juga kurang tahu tentang sakitnya. Dia memang tipe anak yang tak ingin menyusahkan orang lain Kak..”
Allahu Rabby, detik itupula kristal bening itu meluncur turun bebas hambatan, diikuti sesaknya dada. Terbentang kini obrolan bersama Fathan beberapa hari jelang ia diberi firasat akan pegi lebih dahulu. Obrolan tentang Gaza, keinginan untuk menjadi anggota izuddin al qassam, menuntut ilmu di tanah Gaza, university of Gaza, dan begitu banyak impian mulianya. Sungguh tangis itu jatuh karena rasa kehilangan sosok yang smart, sosok yang menghabiskan sisa kehidupannya dengan kebaikan dijalanNya. Masih kuat berpuasa di jelang 7 hari kepergiannya, selalu menjadi alrm pengingat diwaktu-waktu shalat dan seterusnya.
            “Yaa Allah…satu lagi orang baik yang kau Ambil dengan caraMu…” bisik Asya basah, membiarkan butiran Kristal itu turun leluasa. Tangannya pun terbimbing membuka percakapan tentang Gaza antara dirinya dan Fathan. Kristal itu semakin banyak tumpah. Sedih, bahagia, kehilangan, tak rela menjadi satu kesatuan yang bercampur.
            “Allah, kami mencintainya, menyanyanginya karenaMu, namun kami tahu cinta dan sayangMu padanya lebih dari apa yang kami rasakan. Menangisinya bukan sebuah solusi yang dapat mengembalikannya pada kami, namun cukuplah kepergiannya menjadi sentilan besar padaku dan bagi sahabat-sahabatnya yang lain, bahwa kematian , tak pernah mengenal tempat, usia, batas Negara, ras, dan agama. Kematian akan tetap mengintai dan sewaktu-waktu kami pun akan menyusulnya..”
            “InsyaAllah Fathan syahid. Sebab dia pergi ketika dia tengah menuntut ilmu.” Tulis Asya pada status Syuhada. Asya yakin selain dirinya, sudah pasti banyak yang menyayangi dan mencintai Fathan dengan cara yang berbeda. ummi, abi, kakak, adik, hingga lingkungannya yang lain merasakan kehilangan itu, sakit!
            “InsyaAllah, Kak”. Syuhada memberikan balasan. Asya menutup layar IPADnya, merenung akan rahasia Allah yang ada dalam proses kematian.
            Sebesar apapun kita mencintai dan menyayangi masih ada yang memiliki semuanya lebih dari yang kita punya. Cemburunya lebih besar dibandingkan apa yang ia titipkan pada hamba-hambaNya. Satu renungan akhir yang membuat lekat simpul lega itu setiap harinya adalah sebuah pemahaman bahwa hakikat kematian adalah sebuah kepastian, dan kepergian Fathan adalah sentuhan yang mengembalikan Asya pada sebuah perenungan panjang. Bahwa ia pun tak mampu menjamin dirinya dapat terus hidup hingga esok.
            “Selamat Jalan, Dik. Kepergianmu bukan untuk ditangisi. Kepergianmu bukan untuk disesali. Kakak bangga pernah mengenalmu dengan baik, terimakasih dengan sapaan hangatmu yang menyadarkan kakak bahwa ukhuwah itu memang indah, sangat indah. Diskusi dan motivasimu yang begitu baik hingga membuat kepala ini teranggguk untuk mengatakan “Ya” atas segala kebaikan-kebaikan yang ada, dan berazzam akan dilaksanakan semampu kakak. Kau benar Ilmu Allah itu luas bukan hanya berada dilingkup terkecil lingkungan kita. Jika mampu sentuhkan ilmu Allah yang lainnya.”
            “Jangan benci dunia ini..”
“Inilah kata-katamu yang pada akhirnya membuat kakak  harus menerima bahwa kepergianmu adalah sebuah keharusan. Kakak tahu lelahmu karena ujian penyakit yang kau derita sudah cukup dengan keihlasan yang kau tunjukkan pada bumi, pada dunia ini. Bagaimana dengan caramu yang indah kau pamit pada kami… namun inilah kami tak mampu membaca secara baik maksud katamu diakhir-akhir masa usiamu. Selamat jalan dik, semoga Allah membentangkan indahnya hamparan syurga pada peristirahatan terakhirmu.” Do`a Asya panjang diakhir tahajjudnya malam ini. Malam ke-2 Fathan pergi untuk selama-lamanya dengan jejak yang begitu jelas pada setiap hati yang mengenalnya. Sosok yang berjiwa social tinggi merindu syahid dijalanNya.
            “InsyaAllah kau mencapai impian tertinggi itu dik…” Tangis Asya mengusap wajah dengan mukena hijaunya. Memberikan jeda kerelaaan itu pergi dengan Azzam bahwa dirinya harus melakukan apa yang diinginkan Fathan jelang kepergiannya.
            “Kak, novelnya kutunggu, ya…”
Ucapan yang kelak akan terus mengingatkan Asya pada sosok Fathan, adik, sahabat, saudara, teman terbaik yang pernah ia temui.
Asya tersungkur, bersujud lama pada Allah, mengirimkan harapan akan kelapangan untuk generasi muda yang mencintai kebaikan.
            “Maaf tak memahami firasat yang kau rasakan, yang kau coba bagi pada kami. Satu yang harus kau ketahui, kami menyayangi dan mencintaimu dik. I`m proud to you….” Basah lisan itu hingga membuat bahu Asya terguncang. Inilah kehilangan dan ia harus dilepas dengan kekuatan cinta berasaskan do`a.
I`m proud to you…
I`m proud to you…
Inspirasi dari keisengan sesorang atas seseorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar