CERPEN: Semua Karena Cinta
Senin,
060409 Perempatan jalan Gatot Subroto balikpapan, 09:00 pm
Untuk
yang kesekian kalinya, mataku kembali menangkap wajah lelaki itu. Wajah yang
selalu tersenyum dibalik wajahnya yang terkena sinar lampu jalan dari segala
penjuru. Wajah yang tersenyum didepan pelanggannya yang datang juga pergi, dibalik
gerobak dorongnya dengan kesibukannya, melayani mereka.
Disana,
dibalik gerobak dorongnya sebuah kompor menyala dengan nyala api yang kecil
berwarna biru. Nyala yang semula kecil itu pun terlihat hilang sama sekali,
ketika hembusan angin menyapanya dengan hembusannya yang kecil namun cukup untuk
membuat nyala itu hilang untuk sekejap. Diatasnya, ada penggorengan mini dengan
potongan tahu yang tersusun rapi, berenang dalam minyak yang masih terlihat
bening. Tak jauh dari sana, telah tersusun tiga pembungkus yang sudah terisi
potongan lontong, beberapa mentimun, kecambah, sedang menunggu campuran berikutnya yang sementara
diolah.
Tangan kanannya bergantian membalik
potongan tahu yang mulai menguning. Bolak kanan bolak kiri. Selepas itu, tangan
itu berpindah pada cobekan yang berisi kacang tanah, garam juga campuran
lainnya, dan lincah ulekan batu itu pun bergoyang persis penari rancak,
menghancurkan kacang hingga halus dengan bantuan air yang ia tumpah hati-hati
dari sebuah botol air mineral berwarna hijau, walau tak halus seperti sutra,
tapi hasilnya cukup enak untuk dipandang dan nikmat untuk dinikmati.
Aku menarik nafasku dari balik kaca
mobil, terus memperhatikannya, sampai tahu itu diangkat dan dipotong dadu sebagai
pelengkap terakhir, dan dicampur dengan bumbu kacang pada atasnya. Selepas itu, cekatan tangannya membungkus
ketiganya dan mengikatnya dengan karet gelang berwarna, lalu menyerahkannya
pada pelanggannya dengan wajah cerah dihiasi senyum yang tak pernah dioffkan
“Terimakasih pak.” Ucapnya lembut
dengan senyumnya yang tersungging manis tanpa paksaan. Tak ada malu atau pun
bahasa lain yang membuat dirinya minder berdiri disana dengan gerobaknya yang
juga terlihat sudah seharusnya diganti.
“Sama-sama mas.” Ramah pelanggannya
membalas, lantas meninggalkan sang lelaki yang kembali disibukkan dengan
pelanggan lain yang memesan hal serupa. Tak ada lelah disana, apalagi keluhan
yang panjang seperti rel kereta api dengan bunyinya yang memekakkan telinga.
Dan aku menyimpan kagumku padanya.
Setengah jam disana, menyaksikan kesibukannya itu,
mobilku pun perlahan meninggalkannya menuju pulang. Lelahku telah bersuara
untuk membawanya istirahat, lelah yang membuatku ngedumel dalam hati.
Lelah yang membuat bibirku enggan untuk menarik urat-urat pendukung senyumku
yang kuakui ingin berexspresi seperti yang lain, seperti lelaki itu. Ya!
“Zivo…how are you? Are you oke?”
Tanya tetangga apartementku yang juga baru pulang dari kantor seperti halnya
aku. Aku membalas dengan tarikan nafasku. Aku lelah dan aku tak ingin membalas
tanyanya, karena aku tahu, jika aku membalasnya, maka dijamin aku akan
kehilangan waktuku untuk melepas lelahku juga letihku setelah seharian duduk
dibalik meja kerja dengan setumpuk pekerjaan yang non stop datangnya.
“Zivo….”
“Please….” Tatapku dengan enggan,
membuka pintu apartemenku. Bibirnya manyun, lantas bersegera membuka pintu
apartementnya pula.
Aku melempar tubuhku ke atas spring
bed, melepas lelahku. Sungguh, aku merasa tulangku semua berbunyi, bunyi Karena
melepas ketegangannya. Tapi biarlah, aku tahu mereka punya haq untuk itu.
“Huf….” Tarik nafasku, menatap
langit-langit kamar. Dilangit-langitnya itulah aku terbayang wajah tersenyum
lelaki itu. Senyum tanpa lelah menyambut pelanggannya dengan berdiri tegak
tanpa berhenti, dengan gaya khasnya, persis koki-koki restoran dengan lengan
baju yang dibiarkan tergulung hingga pergelangan tangan, untuk melayani pelanggan
yang kuyakini tak berhenti berdatangan. Satu pergi, maka akan datang yang
berikutnya. Begitu seterusnya. Dan pada fikirku aku bertanya apa lelah itu
enggan menyapanya? Apa tulang pungungnya tak meminta haqnya? Apa bedanya ia
denganku? Kenapa aku lelah dengan semua? Padahal aku duduk dikursi empuk dengan
segala fasilitas lengkap. Kenapa lelah itu datang padaku? Aku terus bertanya
sampai aku terlelap akhirnya, dengan Tanya yang belum terjawab.
“Zivo…ntar kamu pulang jam berapa?”
sapa tetanggaku itu kembali, ketika pagi itu aku kembali dari jogingku.
“Seperti biasa.”
“What?
Seperti tadi malam?”
“Ya.”
“Wow…rupanya
kamu workaholick ya.”
“Terserah
deh, yang penting aku nggak punya waktu untuk ngobrol…key?”
“Oke…aku
tahu.” Senyumnya, menuju mobilnya. Masih terlalu pagi kukira, untuk menuju
kantor. Ya, masih terlalu pagi.
Jam 06:30 menurutku masih begitu pagi untuk memulai
aktifitas kantor.
Semua Karena Cinta
Selasa,
masih tempat yang sama, jam yang sama
Senyum
itu kembali kulihat, terukir cantik seperti matahari jika siang dan seperti
bulan jika malam. Senyum yang membuat aku bertanya dengan Tanya yang serupa.
Apa lelah itu enggan menyapanya?
Lelaki
itu dengan gerobak dorongnya berdiri tepat diantara tiga sisi jalan. Tepat
disamping kirinya, 4 m dari gerobaknya ada jalan luas yang dari sana banyak
bermunculan mobil dengan aneka merk keluar masuk, juga motor yang jika dihitung
akan memakan waktu. Disebelah kirinya terdapat rumah makan yang juga selalu
dipadati pengunjung dengan mobil yang berjejer ditepi jalannya. Sedang dari
depan, aneka kendaraan melintas cepat dengan laju yang tak diperhitungkan.
Adakalanya lajunya seperti jet couster, dan adakalanya juga seperti putaran
roda delman, pelan dan pelan. Dan untuk yang kedua inilah yang jarang terlihat,
justru yang pertamalah yang mengerikan untuknya juga rekan-rekan seprofesinya
yang melakukan hal yang sama, setia dengan gerobak juga kompornya yang menyala
kecil.
Ada
desah khawatir pada kepalaku. Sungguh aku mengakui, senyum itu sangat berarti
bagiku akhir-akhir ini dengan keletihanku yang tinggi. Aku ingin sepertinya
dengan senyum yang selalu mengembang, memberi kedamaian bagi semua, bagi diriku
sendiri. Aku butuh relaxsasi dengan senyum yang terasa berat hadir pada
wajahku
Aku
pekerja kantoran yang punya jam super sibuk dengan surat-surat yang keluar
masuk, juga dengan kesibukan melayani dering telfon yang selalu berbunyi,
hingga selepasnya aku akan kehilangan semangat karena lelahku. Tak ada senyum
pada wajahku karenanya, tak ada canda yang mewarnai, tak ada tawa yang
berderai. Karena ending dari pekerjaanku itu adalah ending yang melelahkan!
Lelah lahir juga bathin….
Dan
aku menyimpan rasa penasaran pada wajah lelaki yang sentiasa tersenyum itu. Ia
sama denganku, sama-sama punya jam sibuk. Tapi, kenapa ia punya senyum tanpa
lelah yang tak terlihat disana? Kenapa? Dan aku rasa aku harus menanyakannya
segera. Aku butuh jawab sumber dari senyum itu
Kakiku
kini telah menyentuh aspal, ingin menyapanya, namun mataku menangkap wajah yang
tak asing lagi pada ingatanku. Wajah tetanggan apartementku yang selalu
mengnagguku dengan tanyanya jika aku pulang dari pekerjaannku, dan karena
lelahku yang menuntut untuk istirahat, aku mengacuhkan tanyanya. Ragu,
kakiku pun kembali naik.
Aku
memperhatikannya dari kaca mobilku kembali. Ada tawa berderai disana….dan Tanya
itu pun kembali datang. “kemana lelah kalian pergi? Kemana? Beritahu aku”
teriak hatiku dengan dentingnya yang terus bergerak riuh, hingga aku muak, dan
melarikan mobilku segera, jauh dari pemandangan itu. Jauh !
Dan
aku pun merasa lelahku bertambah!
Semua Karena Cinta
“Zivo…how
are you? Are you ok?” ketuk pintu itu terdengar, dengan sapaan yang selalu
sama.
“Emangnya
kenapa?” sahutku dari dalam kamarku, lantas segera menuju kedepan,
membukakannya pintu.
“Nggak
pergi kerja?”
“Aku
lelah….”
“Huf…kamu
lelah? Karena pekerjaan kamu?”
“Ya….”
“Karena
lelah itu, kamu nggak pernah tersenyum bukan?” senyumnya padaku. Lagi-lagi
senyum! Senyum yang kusadari tak pernah hadir dalam hidupku, pada kedua belah
bibirku akhir-akhir ini.
“Please
deh Dit…jangan tersenyum padaku, seolah kamu senang dengan kondisiku.”
“Ho…Aku
tersenyum karena kamu benar-benar aneh Ziv, dan aku tersenyum bukan karena kondisi
kamu, tapi aku tersenyum karena prihatin denganmu.”
“Prihatin?”
“Ya!”
“Kenapa?”
“Bukannya
kamu selalu hadir menyaksikan seorang lelaki dipinggir jalan dengan gerobaknya,
dengan senyum tulusnya?”
“Kamu?”
“Afwan
Ziv, aku tahu itu kamu, karena aku pun ada disana, untuk belajar dari lelaki
itu, tentang senyumnya yang selalu on pada bibirnya, setiap malam, sejak ia
muncul disana dengan dagangannya.”
“Kamu?”
“Dulu
aku pun sepertimu Ziv, jika lelahku datang, maka akhir dari lelah itu adalah
istirahat yang pada akhirnya membuatku putus asa dengan rutinitas itu, dan yang
lebih membuatku prustasi, aku tak pernah senyum karena lelah itu. Dan aku
menemukan aku yang dulu padamu.”
“senyum
itu?”
“Senyum
ini dapat santai lepasnya, karena satu hal yang kudapatkan darinya, lelaki
itu.”
“Apa
itu?”
“Cinta?”
Mendengar
ucapannya ini, aku menggigit bibirku bingung. Apa hubungannya lelahku dengan
cinta? Pekerjaanku dengan cinta?. Aku menatap mata Dita menvari jawabannya pada
mata beningnya yang kini selalu cerah, ya cerah dimana pun ia kini berada. Pada
bibirnya yang selalu dipoles senyum manis, bukan lagi Dita yang dulu seperti
jelmaan patung Fir`aun dimataku.
“Dit….”
“Cepatlah
sehat, dan temui lelaki itu sendiri, jangan jadi pengecut dan benci dengan
mereka yang selalu tersenyum hingga kamu akan terus dalam mobilmu, menyaksikan
senyum itu. Keluarlah, sapa lelaki itu…”
“Aku….”
“Zivo…please.”
Pinta Dita kembali tersenyum, keluar dari apartementku. Aku menghela nafasku
kuat mengiringi langkahnya.
“Cinta?”
“Oh
ya Zov…cinta bukan hanya bahasa orang yang lagi falling in love, tapi
bahasa untuk semua keadaaan.” Senyumnya muncul kembali dari balik pintu. Aku
kembali menggigit bibirku.
“Cinta???”
alisku seakan berlipat lebih dari yang kubayangkan memikirkan ini. Ya hanya
memikirkan satu kata ini.
Cinta!
Semua Karena Cinta
Maghrib,
setelah aku menyelesaikan shalatku dimusolla tepi jalan, aku segera menuju
mobil, dan bergerak menuju tempat dimana lelaki dengan senyum itu berada.
Mataku memperhatikan jalan itu, namun aku tak menemukan lelaki itu disana.
Tempat itu telah diganti dengan sebuah gerobak berbeda dengan orang yang
berbeda pula.
“Kemana
lelaki itu?” tanyaku, segera melangkahkan kakiku menyapa lelaki yang menggantikan
posisinya.
“Maaf,
kemarin malam dia ditima musibah ketika keluar dari gang rumahnya. Sekarang
dirumah sakit…..” lelaki itu menunjukkan padaku sebuah rumah sakit ternama di
kota ini. Tanpa menunggu, kakiku melangkah reflex menuju mobil, dan berbalik
menuju rumah sakit, untuk mencari lelaki dengan senyumnya yang selalu terbayang
pada mataku.
Ada
keteduhan….
Ada
sebuah keikhlasan….
Ada
ketulusan disana….
Apakah
itu yang namanya cinta? Dan ini akan terus terbayang pada fikirku, dan aku
yakin jawabnya hanya bisa kutemukan ketika aku bertemu dengannya. Ya!
“Pasien
ini akan dioperasi hari ini, kami sedang menunggu keluarganya untuk
menandatangani berkasnya.” Ucap dokter paruh baya itu padaku, ketika aku menanyakan
pasien lelaki itu di ruang administrasi rumah sakit.
“Sudah
menghubungi mereka?”
“Tak
ada alamat terang tentang keluarganya.”
“Dia
tidak punya kartu asuransi atau sejenisnya?” tanyaku lagi. Dokter yang bertugas
menanganinya menggelengkan kepala.
“Maaf,
kami tidak menemukan itu.”
“Huf….”
Hela nafasku, merogoh kantung jaketku, menyodorkan kartu asuransi milikku,
untuk jaminan agar operasinya segera dilakukan, tanpa ditunda.
“Ini?”
“Ini
jaminan untuknya, karena saya tidak membawa uang cukup.” Ucapku, melangkah
meninggalkan ruang administrasi menuju ruang
dimana lelaki itu tinggal.
“Bumi
Putera?”
“Ya!
Oke, lakukan operasi sekarang!” riuh suara dibelakangku berucap untuk
menyegerakan operasi lelaki dengan senyum yang kurindukan itu.
RS
Healty,120409, 08:00 pm
Lelaki itu tenggah tersenyum
memandang matahari yang memantulkan sinar keemasannya menyapa pagi, dengan
cerah. Cerah dengan awan putih campur biru yang mengelilingi langit. Aku
menujunya dengan langkah pasti. Aku ingin jawab itu segera.
“Assalamu`alaikum anak muda….”
Sapanya ramah padaku, ketika ia menoleh mendengar langkahku. Ada senyum disana,
senyum yang berkembang sempurna, seperti biasa, dan begitu cerah, secerah
matahari yang kudapatkan pagi ini.
“Anda?”
“Adit sudah memberitahukan saya
tentang kamu.”
“Adit?”
“Temanmu yang menjadi langganan
tetap dagangan saya.”
“Ya.”
“Bagaimana? Kamu ingin menanyakan
sesuatu? Saya menunggumu.” Senyumnya dengan wajah bijaknya, sebijak bestari.
“Saya…”
“Anak muda, kamu tahu, kenapa saya
bisa tersenyum dengan keadaan saya? Dengan pekerjaan sebagai pedagang?”
tanyanya. Aku menggeleng sigap. Lelaki itu melangkah menuju jendela dengan
langkah tertatih-tatih. Sigap aku membantunya menangkap tubuhnya, menyangganya
menuju jendela. Kini sinar matahari menabrak wajah kami. Ia kembali tersenyum.
“Semua karena cinta, anak muda.”
“Cinta?”
“Ya, ketika kamu mencintai sesuatu,
apakah kamu akan berkorban untuknya?” tanyannya. Sejenak aku terdiam, bertanya
pada hati juga fikirku.
“Sebisa mungkin.”
“Saya juga punya lelah juga letih
yang sama denganmu anak muda, jika saya tak punya lelah juga letih, tentu saya
bukan manusia. Yang menggerakan saya untuk melawan lelah juga letih yang ada
hanya satu. Cinta!. Cinta pada keluarga yang menunggu saya, karena mereka
amanah yang harus disejahterakan dan akan dipinta pertanggung jawabannya kelak.
Cinta pada yang punya alam, yang telah memberikan saya kesempatan untuk mencari
rizki-Nya yang bertebaran dimuka bumi. Seperti halnya binatang lain, apa kamu
yakin mereka punya cinta?” tanyannya lagi, yang membuat aku kembali terdiam.
“Ya!”
“Perhatikanlah apa yang kamu lihat
dimanapun anak muda. Perhatikan matahari yang bersinar karena wujud kecintaan
yang punya Alam pada Manusia, mengganti malam kepada siang, sebagai bentuk
cinta-Nya, dimana dua waktu ini kamu bisa mencari rizki juga istirahat. Dan tahukah
kamu anak muda, karena apa seorang hamba Allah tergerak untuk membantu saya disini?”
kembali aku menggeleng sigap. Bukan karena aku bodoh, hingga hanya itu yang
bisa kulakukan. Itu karena otakku blank dengan semua. Ya, Blank!
“Semua karena cinta Allah pada
hamba-Nya, yang ia gerakkan hatinya untuk menolong sesama makhluq Allah. Ada cinta
disana anak muda. Dan jika kamu tak bisa memerankan amanah yang Allah beri
padamu hari ini dengan sebaik-baik penjagaan amanah itu, kamu akan merasa itu
beban yang berat, contohnya tak ada senyum pada raut wajahmu. Cobalah cintai
pekerjaanmu dengan baik, maka kamu akan menganggap itu adalah anugrah yang luar
biasa. Satu lagi, yang mungkin kamu lupakan, jika kamu benar-benar ingin
melepas lelahmu, ambillah wudhumu yang jarang kamu sentuh. Semua terbukti dari
wajahmu yang kering, dan bawalah ia bertemu Allah, mencurahkan semua pada-Nya ”
“Saya….”
“Semua karena cinta anak muda, dan
terimakasih atas bantuanmu untuk saya.” Senyumnya kembali, menutup dengan
ucapan terimakasih atas bantuanku.
“Itu...”
“Kenapa?”
“Anda punya haq disana.” Lelaki itu
menarik senyum kembali, lalu menatapku lama dengan tarikan nafas kecilnya yang
berhembus teratur.
“Ada cinta pada ucapanmu anak
muda….” Ucapnya yang membuat aku terperangah.
“Cinta?” tanyaku, mengingat apa yang
aku katakan barusan padanya.
“Cinta pada sesama. Bukankah Rasul
telah mengatakan bahwa akhalq sesama muslim adalah membantu kesulitan
saudaranya? Seperti yang dilakukan sahabat dulu?” ucapnya kembali, yang membuat
aku mengernyitkan dahi. Dan pada kernyitan itu, perlahan sebuah senyum
terbentuk pada bibirku. Senyum yang kuarasa keluar tanpa beban, tanpa paksaaan!
Akhir
bulan mei 09
Genap dua pecan sejak lelaki itu
keluar dari rumah sakit, ia kini mulai kembali menjajakan dagangannya disana,
diantara tiga ruas jalan dengan gerobaknya, juga senyum ketulusannya yang
selalu on tanpa henti. Lelaki yang mengajarkankanku sebuah hikmah dari
perjalanan waktuku. Kini aku telah keluar dari kantorku, menuju pulang. Ada
senyum pada tarikan nafasku, ketika aku melihat lelaki itu. Aku berniat untuk
menyapanya malam ini.
Mobilku
kubiarkan terparkir tak jauh dari tempat dimana lelaki itu tenggah menjajakan
dagangannya. Memperhatikannya sejenak, lalu aku pun segera turun dari sana
menujunya. Di belakang gerobaknya kini diletakkan sebuah bangku kayu, tempat
sebagain pelanggannya duduk menunggu. Ketika aku menuju kesana, disana telah
duduk seorang nenek tua dengan tas dekilnya. Ketika melihatku, ia menegadahkan
tangannya meminta sedekah padaku. Aku melirik lelaki itu sejenak, lantas
merogoh kantungku, mengambil satu lembar uang untuknya. Ia menyambut dengan
ucapan terimakasih yang begitu pelan terlahir dari bibirnya. Tak sampai disitu,
ia kembali mendatangiku, meminta bantuan untuk menyebrangkannya keseberang
jalan. Maka dengan ucapan bismillah, aku memegang tangan keriput itu, keriput
karena dimakan usia, dan membawanya menyeberangi jalan menuju seberang. Selepas
itu, aku segera kembali menuju ketempat lelaki itu. Melihatku ia tersenyum.
“Ada dua kejadian yang kamu temukan
malam ini anak muda.”
“Anda benar….”
“Dan keduanya, apa menghadirkan
kelegaan pada hatimu?”
“Itu….”
“Darimu, Allah menitip rizki nenek
tadi, dan kamu telah menyampaikannya. Dan darimu, Allah menitipkan amanah untuk
menolongnya menyebrangi jalan. Dari keduanya, semua berkumpul pada satu kata.”
“Cinta?”
“Ya, karena cinta Allah yang
dititipkan padamu, hatimu tergerak untuk itu, maka bersyukurlah, karena hatimu
tak mati dari kepekaan pada sesama.” Senyumnya pasti, menepuk pundakku, seraya
menyodorkan padaku dagangannya.
“Pada tahu tek-tek ini pun ada
besaran cinta didalamnya, kamu tahu?”
“Ya….” Senyum itu pun terukir pada
bibirnya, menatap langit malam yang terlihat gelap, tanpa bintang yang
bertebaran. Langit mala mini telah mengukir mendung dengan kilatan yang jelas
terlihat seperti nyala obor yang menerangi.
“Apakah senyum ini karena cinta?”
aku tak ingin memberi jawaban, biarlah mereka menyimpulan apa makna semua.
Biarlah anda yang menyimpulkannya.
Sebuah perjalanan telah
menyadarkanku bahwa begitu besar sebuah cinta untuk sesama, Karena cinta seekor
binatang mampu melakukan segalanya untuk anak-anaknya. Karena cinta pula hatiku
tergerak untuk memaknai setiap waktu juga pekerjaannku. Kini karena cinta itu,
adrenalinku terpacu untuk lebih baik menghargai pekerjaanku. Menghargai orang
disekelilingku, menghargai setiap manusia hingga aku selalu tersenyum pada
setiap waktuku tanpa paksaan. Semua tulus terlahir dari hatiku, untuk semua,
juga untuk anda.
Komentar
Posting Komentar