Minggu, 31 Maret 2013

CERPEN: Semua Karena Cinta



Senin, 060409 Perempatan jalan Gatot Subroto balikpapan, 09:00 pm
Untuk yang kesekian kalinya, mataku kembali menangkap wajah lelaki itu. Wajah yang selalu tersenyum dibalik wajahnya yang terkena sinar lampu jalan dari segala penjuru. Wajah yang tersenyum didepan pelanggannya yang datang juga pergi, dibalik gerobak dorongnya dengan kesibukannya, melayani mereka.
Disana, dibalik gerobak dorongnya sebuah kompor menyala dengan nyala api yang kecil berwarna biru. Nyala yang semula kecil itu pun terlihat hilang sama sekali, ketika hembusan angin menyapanya dengan hembusannya yang kecil namun cukup untuk membuat nyala itu hilang untuk sekejap. Diatasnya, ada penggorengan mini dengan potongan tahu yang tersusun rapi, berenang dalam minyak yang masih terlihat bening. Tak jauh dari sana, telah tersusun tiga pembungkus yang sudah terisi potongan lontong, beberapa mentimun, kecambah, sedang  menunggu campuran berikutnya yang sementara diolah.
            Tangan kanannya bergantian membalik potongan tahu yang mulai menguning. Bolak kanan bolak kiri. Selepas itu, tangan itu berpindah pada cobekan yang berisi kacang tanah, garam juga campuran lainnya, dan lincah ulekan batu itu pun bergoyang persis penari rancak, menghancurkan kacang hingga halus dengan bantuan air yang ia tumpah hati-hati dari sebuah botol air mineral berwarna hijau, walau tak halus seperti sutra, tapi hasilnya cukup enak untuk dipandang dan nikmat untuk dinikmati.
            Aku menarik nafasku dari balik kaca mobil, terus memperhatikannya, sampai tahu itu diangkat dan dipotong dadu sebagai pelengkap terakhir, dan dicampur dengan bumbu kacang pada atasnya.  Selepas itu, cekatan tangannya membungkus ketiganya dan mengikatnya dengan karet gelang berwarna, lalu menyerahkannya pada pelanggannya dengan wajah cerah dihiasi senyum yang tak pernah dioffkan
            “Terimakasih pak.” Ucapnya lembut dengan senyumnya yang tersungging manis tanpa paksaan. Tak ada malu atau pun bahasa lain yang membuat dirinya minder berdiri disana dengan gerobaknya yang juga terlihat sudah seharusnya diganti.
            “Sama-sama mas.” Ramah pelanggannya membalas, lantas meninggalkan sang lelaki yang kembali disibukkan dengan pelanggan lain yang memesan hal serupa. Tak ada lelah disana, apalagi keluhan yang panjang seperti rel kereta api dengan bunyinya yang memekakkan telinga. Dan  aku menyimpan kagumku padanya.
 Setengah jam disana, menyaksikan kesibukannya itu, mobilku pun perlahan meninggalkannya menuju pulang. Lelahku telah bersuara untuk membawanya istirahat, lelah yang membuatku ngedumel dalam hati. Lelah yang membuat bibirku enggan untuk menarik urat-urat pendukung senyumku yang kuakui ingin berexspresi seperti yang lain, seperti lelaki itu. Ya!
            “Zivo…how are you? Are you oke?” Tanya tetangga apartementku yang juga baru pulang dari kantor seperti halnya aku. Aku membalas dengan tarikan nafasku. Aku lelah dan aku tak ingin membalas tanyanya, karena aku tahu, jika aku membalasnya, maka dijamin aku akan kehilangan waktuku untuk melepas lelahku juga letihku setelah seharian duduk dibalik meja kerja dengan setumpuk pekerjaan yang non stop datangnya.
            “Zivo….”
            “Please….” Tatapku dengan enggan, membuka pintu apartemenku. Bibirnya manyun, lantas bersegera membuka pintu apartementnya pula.
            Aku melempar tubuhku ke atas spring bed, melepas lelahku. Sungguh, aku merasa tulangku semua berbunyi, bunyi Karena melepas ketegangannya. Tapi biarlah, aku tahu mereka punya haq untuk itu.
            “Huf….” Tarik nafasku, menatap langit-langit kamar. Dilangit-langitnya itulah aku terbayang wajah tersenyum lelaki itu. Senyum tanpa lelah menyambut pelanggannya dengan berdiri tegak tanpa berhenti, dengan gaya khasnya, persis koki-koki restoran dengan lengan baju yang dibiarkan tergulung hingga pergelangan tangan, untuk melayani pelanggan yang kuyakini tak berhenti berdatangan. Satu pergi, maka akan datang yang berikutnya. Begitu seterusnya. Dan pada fikirku aku bertanya apa lelah itu enggan menyapanya? Apa tulang pungungnya tak meminta haqnya? Apa bedanya ia denganku? Kenapa aku lelah dengan semua? Padahal aku duduk dikursi empuk dengan segala fasilitas lengkap. Kenapa lelah itu datang padaku? Aku terus bertanya sampai aku terlelap akhirnya, dengan Tanya yang belum terjawab.
            “Zivo…ntar kamu pulang jam berapa?” sapa tetanggaku itu kembali, ketika pagi itu aku kembali dari jogingku.
            “Seperti biasa.”
“What? Seperti tadi malam?”
“Ya.”
“Wow…rupanya kamu workaholick ya.”
“Terserah deh, yang penting aku nggak punya waktu untuk ngobrol…key?”
“Oke…aku tahu.” Senyumnya, menuju mobilnya. Masih terlalu pagi kukira, untuk menuju kantor. Ya, masih terlalu pagi.
Jam 06:30 menurutku masih begitu pagi untuk memulai aktifitas kantor.
Semua Karena Cinta
Selasa, masih tempat yang sama, jam yang sama
Senyum itu kembali kulihat, terukir cantik seperti matahari jika siang dan seperti bulan jika malam. Senyum yang membuat aku bertanya dengan Tanya yang serupa. Apa lelah itu enggan menyapanya?
Lelaki itu dengan gerobak dorongnya berdiri tepat diantara tiga sisi jalan. Tepat disamping kirinya, 4 m dari gerobaknya ada jalan luas yang dari sana banyak bermunculan mobil dengan aneka merk keluar masuk, juga motor yang jika dihitung akan memakan waktu. Disebelah kirinya terdapat rumah makan yang juga selalu dipadati pengunjung dengan mobil yang berjejer ditepi jalannya. Sedang dari depan, aneka kendaraan melintas cepat dengan laju yang tak diperhitungkan. Adakalanya lajunya seperti jet couster, dan adakalanya juga seperti putaran roda delman, pelan dan pelan. Dan untuk yang kedua inilah yang jarang terlihat, justru yang pertamalah yang mengerikan untuknya juga rekan-rekan seprofesinya yang melakukan hal yang sama, setia dengan gerobak juga kompornya yang menyala kecil.
Ada desah khawatir pada kepalaku. Sungguh aku mengakui, senyum itu sangat berarti bagiku akhir-akhir ini dengan keletihanku yang tinggi. Aku ingin sepertinya dengan senyum yang selalu mengembang, memberi kedamaian bagi semua, bagi diriku sendiri. Aku butuh relaxsasi dengan senyum yang terasa berat hadir pada wajahku
Aku pekerja kantoran yang punya jam super sibuk dengan surat-surat yang keluar masuk, juga dengan kesibukan melayani dering telfon yang selalu berbunyi, hingga selepasnya aku akan kehilangan semangat karena lelahku. Tak ada senyum pada wajahku karenanya, tak ada canda yang mewarnai, tak ada tawa yang berderai. Karena ending dari pekerjaanku itu adalah ending yang melelahkan! Lelah lahir juga bathin….
Dan aku menyimpan rasa penasaran pada wajah lelaki yang sentiasa tersenyum itu. Ia sama denganku, sama-sama punya jam sibuk. Tapi, kenapa ia punya senyum tanpa lelah yang tak terlihat disana? Kenapa? Dan aku rasa aku harus menanyakannya segera. Aku butuh jawab sumber dari senyum itu
Kakiku kini telah menyentuh aspal, ingin menyapanya, namun mataku menangkap wajah yang tak asing lagi pada ingatanku. Wajah tetanggan apartementku yang selalu mengnagguku dengan tanyanya jika aku pulang dari pekerjaannku, dan karena lelahku  yang menuntut untuk  istirahat, aku mengacuhkan tanyanya. Ragu, kakiku pun kembali naik.
Aku memperhatikannya dari kaca mobilku kembali. Ada tawa berderai disana….dan Tanya itu pun kembali datang. “kemana lelah kalian pergi? Kemana? Beritahu aku” teriak hatiku dengan dentingnya yang terus bergerak riuh, hingga aku muak, dan melarikan mobilku segera, jauh dari pemandangan itu. Jauh !
Dan aku pun merasa lelahku bertambah!
Semua Karena Cinta
“Zivo…how are you? Are you ok?” ketuk pintu itu terdengar, dengan sapaan yang selalu sama.
“Emangnya kenapa?” sahutku dari dalam kamarku, lantas segera menuju kedepan, membukakannya pintu.
“Nggak pergi kerja?”
“Aku lelah….”
“Huf…kamu lelah? Karena pekerjaan kamu?”
“Ya….”
“Karena lelah itu, kamu nggak pernah tersenyum bukan?” senyumnya padaku. Lagi-lagi senyum! Senyum yang kusadari tak pernah hadir dalam hidupku, pada kedua belah bibirku akhir-akhir ini.
“Please deh Dit…jangan tersenyum padaku, seolah kamu senang  dengan kondisiku.”
“Ho…Aku tersenyum karena kamu benar-benar aneh Ziv, dan aku tersenyum bukan karena kondisi kamu, tapi aku tersenyum karena prihatin denganmu.”
“Prihatin?”
“Ya!”
“Kenapa?”
“Bukannya kamu selalu hadir menyaksikan seorang lelaki dipinggir jalan dengan gerobaknya, dengan senyum tulusnya?”
“Kamu?”
“Afwan Ziv, aku tahu itu kamu, karena aku pun ada disana, untuk belajar dari lelaki itu, tentang senyumnya yang selalu on pada bibirnya, setiap malam, sejak ia muncul disana dengan dagangannya.”
“Kamu?”
“Dulu aku pun sepertimu Ziv, jika lelahku datang, maka akhir dari lelah itu adalah istirahat yang pada akhirnya membuatku putus asa dengan rutinitas itu, dan yang lebih membuatku prustasi, aku tak pernah senyum karena lelah itu. Dan aku menemukan aku yang dulu padamu.”
“senyum itu?”
“Senyum ini dapat santai lepasnya, karena satu hal yang kudapatkan darinya, lelaki itu.”
“Apa itu?”
“Cinta?”
Mendengar ucapannya ini, aku menggigit bibirku bingung. Apa hubungannya lelahku dengan cinta? Pekerjaanku dengan cinta?. Aku menatap mata Dita menvari jawabannya pada mata beningnya yang kini selalu cerah, ya cerah dimana pun ia kini berada. Pada bibirnya yang selalu dipoles senyum manis, bukan lagi Dita yang dulu seperti jelmaan patung Fir`aun dimataku.
“Dit….”
“Cepatlah sehat, dan temui lelaki itu sendiri, jangan jadi pengecut dan benci dengan mereka yang selalu tersenyum hingga kamu akan terus dalam mobilmu, menyaksikan senyum itu. Keluarlah, sapa lelaki itu…”
“Aku….”
“Zivo…please.” Pinta Dita kembali tersenyum, keluar dari apartementku. Aku menghela nafasku kuat mengiringi langkahnya.
“Cinta?”
“Oh ya Zov…cinta bukan hanya bahasa orang yang lagi falling in love, tapi bahasa untuk semua keadaaan.” Senyumnya muncul kembali dari balik pintu. Aku kembali menggigit bibirku.
“Cinta???” alisku seakan berlipat lebih dari yang kubayangkan memikirkan ini. Ya hanya memikirkan satu kata ini.
 Cinta!
Semua Karena Cinta
Maghrib, setelah aku menyelesaikan shalatku dimusolla tepi jalan, aku segera menuju mobil, dan bergerak menuju tempat dimana lelaki dengan senyum itu berada. Mataku memperhatikan jalan itu, namun aku tak menemukan lelaki itu disana. Tempat itu telah diganti dengan sebuah gerobak berbeda dengan orang yang berbeda pula.
“Kemana lelaki itu?” tanyaku, segera melangkahkan kakiku menyapa lelaki yang menggantikan posisinya.
“Maaf, kemarin malam dia ditima musibah ketika keluar dari gang rumahnya. Sekarang dirumah sakit…..” lelaki itu menunjukkan padaku sebuah rumah sakit ternama di kota ini. Tanpa menunggu, kakiku melangkah reflex menuju mobil, dan berbalik menuju rumah sakit, untuk mencari lelaki dengan senyumnya yang selalu terbayang pada mataku.
Ada keteduhan….
Ada sebuah keikhlasan….
Ada ketulusan disana….
Apakah itu yang namanya cinta? Dan ini akan terus terbayang pada fikirku, dan aku yakin jawabnya hanya bisa kutemukan ketika aku bertemu dengannya. Ya!
“Pasien ini akan dioperasi hari ini, kami sedang menunggu keluarganya untuk menandatangani berkasnya.” Ucap dokter paruh baya itu padaku, ketika aku menanyakan pasien lelaki itu di ruang administrasi rumah sakit.
“Sudah menghubungi mereka?”
“Tak ada alamat terang tentang keluarganya.”
“Dia tidak punya kartu asuransi atau sejenisnya?” tanyaku lagi. Dokter yang bertugas menanganinya menggelengkan kepala.
“Maaf, kami tidak menemukan itu.”
“Huf….” Hela nafasku, merogoh kantung jaketku, menyodorkan kartu asuransi milikku, untuk jaminan agar operasinya segera dilakukan, tanpa ditunda.
“Ini?”
“Ini jaminan untuknya, karena saya tidak membawa uang cukup.” Ucapku, melangkah meninggalkan ruang administrasi menuju ruang  dimana lelaki itu tinggal.
“Bumi Putera?”
“Ya! Oke, lakukan operasi sekarang!” riuh suara dibelakangku berucap untuk menyegerakan operasi lelaki dengan senyum yang kurindukan itu.
RS Healty,120409, 08:00 pm
            Lelaki itu tenggah tersenyum memandang matahari yang memantulkan sinar keemasannya menyapa pagi, dengan cerah. Cerah dengan awan putih campur biru yang mengelilingi langit. Aku menujunya dengan langkah pasti. Aku ingin jawab itu segera.
            “Assalamu`alaikum anak muda….” Sapanya ramah padaku, ketika ia menoleh mendengar langkahku. Ada senyum disana, senyum yang berkembang sempurna, seperti biasa, dan begitu cerah, secerah matahari yang kudapatkan pagi ini.
            “Anda?”
            “Adit sudah memberitahukan saya tentang kamu.”
            “Adit?”
            “Temanmu yang menjadi langganan tetap dagangan saya.”
            “Ya.”
            “Bagaimana? Kamu ingin menanyakan sesuatu? Saya menunggumu.” Senyumnya dengan wajah bijaknya, sebijak bestari.
            “Saya…”
            “Anak muda, kamu tahu, kenapa saya bisa tersenyum dengan keadaan saya? Dengan pekerjaan sebagai pedagang?” tanyanya. Aku menggeleng sigap. Lelaki itu melangkah menuju jendela dengan langkah tertatih-tatih. Sigap aku membantunya menangkap tubuhnya, menyangganya menuju jendela. Kini sinar matahari menabrak wajah kami. Ia kembali tersenyum.
            “Semua karena cinta, anak muda.”
            “Cinta?”
            “Ya, ketika kamu mencintai sesuatu, apakah kamu akan berkorban untuknya?” tanyannya. Sejenak aku terdiam, bertanya pada hati juga fikirku.
            “Sebisa mungkin.”
            “Saya juga punya lelah juga letih yang sama denganmu anak muda, jika saya tak punya lelah juga letih, tentu saya bukan manusia. Yang menggerakan saya untuk melawan lelah juga letih yang ada hanya satu. Cinta!. Cinta pada keluarga yang menunggu saya, karena mereka amanah yang harus disejahterakan dan akan dipinta pertanggung jawabannya kelak. Cinta pada yang punya alam, yang telah memberikan saya kesempatan untuk mencari rizki-Nya yang bertebaran dimuka bumi. Seperti halnya binatang lain, apa kamu yakin mereka punya cinta?” tanyannya lagi, yang membuat aku kembali terdiam.
            “Ya!”
            “Perhatikanlah apa yang kamu lihat dimanapun anak muda. Perhatikan matahari yang bersinar karena wujud kecintaan yang punya Alam pada Manusia, mengganti malam kepada siang, sebagai bentuk cinta-Nya, dimana dua waktu ini kamu bisa mencari rizki juga istirahat. Dan tahukah kamu anak muda, karena apa seorang hamba Allah tergerak untuk membantu saya disini?” kembali aku menggeleng sigap. Bukan karena aku bodoh, hingga hanya itu yang bisa kulakukan. Itu karena otakku blank dengan semua. Ya, Blank!
            “Semua karena cinta Allah pada hamba-Nya, yang ia gerakkan hatinya untuk menolong sesama makhluq Allah. Ada cinta disana anak muda. Dan jika kamu tak bisa memerankan amanah yang Allah beri padamu hari ini dengan sebaik-baik penjagaan amanah itu, kamu akan merasa itu beban yang berat, contohnya tak ada senyum pada raut wajahmu. Cobalah cintai pekerjaanmu dengan baik, maka kamu akan menganggap itu adalah anugrah yang luar biasa. Satu lagi, yang mungkin kamu lupakan, jika kamu benar-benar ingin melepas lelahmu, ambillah wudhumu yang jarang kamu sentuh. Semua terbukti dari wajahmu yang kering, dan bawalah ia bertemu Allah, mencurahkan semua pada-Nya ”
            “Saya….”
            “Semua karena cinta anak muda, dan terimakasih atas bantuanmu untuk saya.” Senyumnya kembali, menutup dengan ucapan terimakasih atas bantuanku.
            “Itu...”
            “Kenapa?”
            “Anda punya haq disana.” Lelaki itu menarik senyum kembali, lalu menatapku lama dengan tarikan nafas kecilnya yang berhembus teratur.
            “Ada cinta pada ucapanmu anak muda….” Ucapnya yang membuat aku terperangah.
            “Cinta?” tanyaku, mengingat apa yang aku katakan barusan padanya.
            “Cinta pada sesama. Bukankah Rasul telah mengatakan bahwa akhalq sesama muslim adalah membantu kesulitan saudaranya? Seperti yang dilakukan sahabat dulu?” ucapnya kembali, yang membuat aku mengernyitkan dahi. Dan pada kernyitan itu, perlahan sebuah senyum terbentuk pada bibirku. Senyum yang kuarasa keluar tanpa beban, tanpa paksaaan!
Akhir bulan mei 09
            Genap dua pecan sejak lelaki itu keluar dari rumah sakit, ia kini mulai kembali menjajakan dagangannya disana, diantara tiga ruas jalan dengan gerobaknya, juga senyum ketulusannya yang selalu on tanpa henti. Lelaki yang mengajarkankanku sebuah hikmah dari perjalanan waktuku. Kini aku telah keluar dari kantorku, menuju pulang. Ada senyum pada tarikan nafasku, ketika aku melihat lelaki itu. Aku berniat untuk menyapanya malam ini.
Mobilku kubiarkan terparkir tak jauh dari tempat dimana lelaki itu tenggah menjajakan dagangannya. Memperhatikannya sejenak, lalu aku pun segera turun dari sana menujunya. Di belakang gerobaknya kini diletakkan sebuah bangku kayu, tempat sebagain pelanggannya duduk menunggu. Ketika aku menuju kesana, disana telah duduk seorang nenek tua dengan tas dekilnya. Ketika melihatku, ia menegadahkan tangannya meminta sedekah padaku. Aku melirik lelaki itu sejenak, lantas merogoh kantungku, mengambil satu lembar uang untuknya. Ia menyambut dengan ucapan terimakasih yang begitu pelan terlahir dari bibirnya. Tak sampai disitu, ia kembali mendatangiku, meminta bantuan untuk menyebrangkannya keseberang jalan. Maka dengan ucapan bismillah, aku memegang tangan keriput itu, keriput karena dimakan usia, dan membawanya menyeberangi jalan menuju seberang. Selepas itu, aku segera kembali menuju ketempat lelaki itu. Melihatku ia tersenyum.
            “Ada dua kejadian yang kamu temukan malam ini anak muda.”
            “Anda benar….”
            “Dan keduanya, apa menghadirkan kelegaan pada hatimu?”
            “Itu….”
            “Darimu, Allah menitip rizki nenek tadi, dan kamu telah menyampaikannya. Dan darimu, Allah menitipkan amanah untuk menolongnya menyebrangi jalan. Dari keduanya, semua berkumpul pada satu kata.”
            “Cinta?”
            “Ya, karena cinta Allah yang dititipkan padamu, hatimu tergerak untuk itu, maka bersyukurlah, karena hatimu tak mati dari kepekaan pada sesama.” Senyumnya pasti, menepuk pundakku, seraya menyodorkan padaku dagangannya.
            “Pada tahu tek-tek ini pun ada besaran cinta didalamnya, kamu tahu?”
            “Ya….” Senyum itu pun terukir pada bibirnya, menatap langit malam yang terlihat gelap, tanpa bintang yang bertebaran. Langit mala mini telah mengukir mendung dengan kilatan yang jelas terlihat seperti nyala obor yang menerangi.
            “Apakah senyum ini karena cinta?” aku tak ingin memberi jawaban, biarlah mereka menyimpulan apa makna semua. Biarlah anda yang menyimpulkannya.
            Sebuah perjalanan telah menyadarkanku bahwa begitu besar sebuah cinta untuk sesama, Karena cinta seekor binatang mampu melakukan segalanya untuk anak-anaknya. Karena cinta pula hatiku tergerak untuk memaknai setiap waktu juga pekerjaannku. Kini karena cinta itu, adrenalinku terpacu untuk lebih baik menghargai pekerjaanku. Menghargai orang disekelilingku, menghargai setiap manusia hingga aku selalu tersenyum pada setiap waktuku tanpa paksaan. Semua tulus terlahir dari hatiku, untuk semua, juga untuk anda.
                                               
                                                                       























Tidak ada komentar:

Posting Komentar