SYURGA YANG KUINGINKAN
Gerah itu masih terasa, meski aku
sudah meneguk dua gelas air dingin. Gerah yang tercipta karena matahari yang
bersinar lebih garang dari sebelumnya. Aku masih ditemani segelas air dingin
duduk di taman kecil yang kau buat. Taman yang kau hadiahkan padaku tepat
setelah kelahiran putra pertama kita. Tiba-tiba dihela nafas, semilir angin
yang tiba-tiba sejuk-membuatku terkenang atas pertanyaan sederhana yang kau
ajukan dahulu. “syurga yang seperti apa yang kamu butuhkan?” pertanyaan yang
sampai hari ini belum mampu kujawab, meski usia Saka sudah tujuh tahun. Delapan
tahun kau menanti jawaban itu, delapan tahun pula aku mencoba menemukan
jawabannya. Jawaban sederhana tapi cukup membuatmu lega.
“Bunda sudah datang?” ah suaramu
tiba-tiba membuatku berpaling. Melemparkan senyum yang juga spontan terbentuk
untukmu.
Kau duduk disampingku, menggengam erat
tanganku. Sejenak aku memutar arah mataku, terpaku pada gemintang matamu yang
tetap sama seperti hari pertama matamu bertemu pandang dengan mataku.
“Abi ingat pertanyaan abi dulu
untukku?” aku tiba-tiba ingin sekali mengenang pertanyaan itu kembali menepi-kau
suarakan untukku. Kau mengernyitkan dahimu. Matamu berputar mencoba
menemukannya.
“Pertanyaan yang mana? Bukannya
pertanyaan Abi selalu berubah-ubah?”
“Yah, pertanyaan serupa setiap
harinya. “bunda, dimana kunci mobil? Bunda, handuk Ayah mana? Bunda, dasi ayah
mana? Bunda, lihat polpen ayah, tidak?” aku mengulang semua pertanyaanmu, kau
tertawa kecil.
“Itu pertanyaan yang nggak harus
dikenang, bunda. Itu jenis pertanyaan Abi yang ingin selalu mendengar suara
bunda..” kau mulai membuat hidungku kempas-kempis malu, lalu mataku
berkedip-kau selalu pintar menciptakan ruang yang mampu membuatmu merasa
dicintai selalu dan tentunya istimewa.
“Abi ingat dan selalu menanti
jawaban itu, kalau memang sudah ditemukan” kau melirikku lengkap dengan
senyummu.
Inilah pernikahan kita-selalu
memberikan kesempatan untuk berbicara santai ditemani minuman dingin tanpa Saka
yang kebetulan di “ambil” oleh neneknya yang begitu berlebihan dalam
menumpahkan cinta pada cucunya yang comel.
Aku menghela nafas-gerah itu sudah
pergi. Aku tak tahu pasti, kapan aku melupakan gerah yang tercipta cukup lama.
Yang kutahu, gerah itu sepertinya pergi sendiri sejak kau hadir, duduk
bersamaku-mengengam tanganku erat. Gerah yang mungkin cemburu pada kita yang
selalu punya cinta bahkan memilikinya setiap hari kita.
“Pernikahan itu bukan seperti drama.
Pernikahan bisa melebihi drama jika memang niatnya seperti itu. Saya tak
meminta cinta yang lebih. Saya hanya meminta jeda atas setiap hari kita.”
rasanya baru beberapa jam lalu kau menyampaikan kalimat ini-kalimat yang
membuat ayahmu terbius-aku menitikkan airmata haru. Kau memintaku pada ayahku
bukan karena berharap pernikahan itu seindah drama yang dipenuhi gelembung
cinta. Kau hanya butuh waktu “me time” berdua, yang menurutku mampu memberikan
cinta yang lebih bagiku dan bagimu.
“Kita jemput Saka..” kau tiba-tiba
berdiri. Aku menghela nafas-bukan tak suka. Aku hanya tak suka saat aku
mengenang masa itu kau mengalihkan semuanya.
“Hela apa itu?” kau bertanya-seperti
biasa tak tahu apa-apa tentang helaku.
“Kapan abi terakhir marah sama aku?”
aku memicingkan mata-mengejar langkahnya. Aku penasaran kapan aku terakhir
marah padamu atau kau marah padaku. Karena kita selalu belajar bagaimana
caranya agar “marah” tak ada dalam sejarah hidup kita. Kau berhenti! Memutar
tubuhmu yang tingginya membuatku sedikit mendongakkan kepala. Kau memberikan
respon padaku atas pertanyaan spontanku.
“Saat bunda menunda shalat karena
pekerjaan bunda. Ingat?” aku tertawa. Yah itulah kau yang marah jika urusanku dengan
Tuhan dinomor duakan. Kau imam sekaligus reminder buatku untuk menempatkan
Tuhan pada posisi pertama dalam hidup. Bukan kau bukan pula Saka. TUHAN!
“Yuk, keburu sore sampai di rumah
ibu...” kau lebih dulu melangkah dengan lebar menuju mobil. Aku sampai mengejar
langkahmu tertatih. Kau hanya tersenyum dibalik kemudi saat aku duduk
disampingmu. Bahkan senyummu membuatku jatuh cinta setiap harinya.
****
Aku sedang menikmati peranku sebagai istri sekaligus
ibu. Mempersiapkan makan siangmu di weekend
ini. Aku senang dengan peranku yang satu ini, Menghadirkan senyum pada bibirmu
dan tawa pada wajah Saka yang menggemaskan. Entah mengapa kau duduk di balik
meja, sedang aku membelakangimu tanpa sengaja karena aku sedang mengolah makan
siang kita. Kau seperti biasa membacakanku artikel pendidikan terbaru dan
artikel lain yang semuanya berisi pengetahuan penting bagiku. Sebagai seorang
ibu, istri, juga sebagai hamba. Ini sarana belajar bagiku-bagimu.
“Jangan
pernah berhenti untuk belajar, meskipun sibuk memasak.” Itulah katamu saat aku
protes tentang kebiasaanmu disaat weekend bersama. Jawaban yang tak akan pernah
kutanyakan lagi sampai nanti. Aku selalu menemukan cintamu meski sesederhana
hari ini, diweekend ini. Menemaniku memasak sambil menjadi `guru` bagiku.
“Bunda,
temenin Saka ya . . .”
Saka
muncul dengan langkahnya yang tak terdengar. Diselaku dan kamu yang masih
membaca untukku. Saka memintaku menemaninya.
“Temenin
kemana?” Jawabku tanpa menoleh pada Saka. Kau berdehem. Deheman pertama aku tak
memberikan tanggapan, selain sibuk mengaduk makanan. “Saka punya tugas gambar, Bunda . .”
“Oke,
setelah makan siang, Ya…” Jawabku, jawaban yang melahirkan deheman kedua. Aku
menoleh padamu. Kulihat raut wajahmu sudah berubah dari sebelumnya. Majalah
yang kau baca sudah berpindah tempat. Aku menautkan alisku, berfikir, menemukan
apa salahku yang membuat raut wajahmy berubah. Saka sudah pergi sambil membawa
crayon pada tangannya yang mungil.
“Kamu
tahu, apa salahmu?” Suaramu yang tadinya ringan kini berubah intonasinya. Kau
melangkah mendekatiku.
“Eh?”
“Saka
butuh cinta.”
“Ya,
aku tahu..” Anggukku memberikan jawaban.
“Saat
Saka berbicara denganmu, dengan kita tolong luangkan waktu untuknya. Tatap dia
bukan membelakanginya seperti tadi. Itulah cinta.” Kau menyampaikan itu sambil
membuka celemekku. Menarik lenganku perlahan, lalu mendudukkanku di kursi yang
telah kau duduki tadi.
Aku
mengerti kini, mengapa suaramu berubah, raut wajahmu berubah. Kau memikirkan
kelangsungan buah hati kita. Saka.
“Kamu
mengerti sekarang?”
Aku
mengangguk.
Kau
kini menarik senyummu. Raut wajahmu kembali berubah. Marahmu selalu berupa
teguran bagiku. Marah yang membuat detak jantungku semakin tinggi, karena takut
pada perubahanmu.
“Kita
makan…” Ajakmu sambil menata meja. Kau kembali mengambil peranku sempurna di
akhir. Menata meja makan dengan cepat. Tanpa memintaku kaupun menjemput Saka di
luar, tidak meneriakinya sama sekali. Ketika kau datang bersama Saka, kulihat
Saka berada dalam gendonganmu. Ia merasa aman dan nyaman bersamamu.
“Saka,
bunda minta maaf, Ya…” ucapku spontan. Kau menoleh, lalu menarik senyummu
hingga lengkung pada pipimu terlihat. Saka dengan binar matanya hanya mengerjap
melihatku. Sepertinya aku menemukan jawaban dari apa yang pernah kau tanyakan
padaku beberapa tahun lalu. Jawaban yang kutemukan disela senyummu dan kerjap
mata Saka.
Ada
airmata yang siap tumpah-dan tangan mungil Saka yang menyodorkanku tisu. Saka
tertawa hingga giginya terlihat.
“Bunda
pedas..” ucapnya.
Langkah
kita baru saja tiba di kamar, selepas mengantar Saka terlelap dalam dongeng
yang kita bacakan. Seperti kebiasaan sebelumnya, selepas lelap kita maka kau
mengajakku mengikhlaskan semua kejadian yang terjadi hari ini. Aku melakukannya
seperti apa yang kau ajarkan. Ada efek positif yang kutemukan saat aku
melakukannya.
“Sepertinya
aku menemukan syurga yang kuinginkan…” aku berucap hati-hati, ucapan penutup
kukira untuk malam ini. Kau yang tadinya ingin melepas kacamatamu menahannya.
Menatapku dengan serius. Aku tahu kenapa reaksimu seperti ini, sebab jawaban
ini sudah kau nantikan sekian waktu.
“Lalu
syurga seperti apa?” Kau bertanya penasaran.
“Syurga
itu sederhana-sesederhana kau mengajakku bermuhasabah, mengajakku menidurkan
Saka, dan yang terpenting selalu mengajariku-membacakan aku pengetahuan saat
aku memasak…” Balasku. Kau mendelikkan matamu yang lumayan sipit itu. Terlihat
lucu dimataku.
“Itulah
syurga yang kuinginkan. Karena sejatinya cara sederhana kita dalam menjalani
hari dengan kebersamaan dan cinta sedang mengarahkanku pada ketaataan padaNya
semakin tinggi. Kau telah membangunnya. Aku baru menyadarinya…” sambungku. Kau
terdiam cukup lama. Aku menatap wajahmu. Kali ini kacamata itu sudah berpindah
ke bufet.
“Syurgaku
adalah ketaatanku padamu. Terimakasih.” Ucapku lagi. Ada lega saat aku
mengucapkan ini, meski sisi melankolisku akhirnya bekerja malam ini. Aku
menangis dan kau merengkuhku dalam pelukmu yang hangat-menentramkanku.
“Untuk
syurga yang kau inginkan, aku akan menyempurnakannya…” bisikmu. Aku menarik lengkung
senyumku, disela rembesan airmata yang tetap mengalir. Pada akhirnya aku
belajar banyak hal setelah melaluinya bersamamu-duka kita adalah kisah yang
selalu bahagia. Bahagia kita adalah ungkapan paling Indah dari syukur kita
untuk menjalani amanah hari yang semakin berat.
Aku
mencintaimu karena Allah
Maka
cukuplah hati kami yang mengaungkan kalimat ini, menyempurnakan setiap lelah
kami untuk terlelap. Untukmu, syurga seperti apa yang kau inginkan?
Komentar
Posting Komentar